x

Sejumlah pengunjung melihat buku dalam pameran buku The Big Bad Wolf Sale 2017. Dalam acara ini diskon yang ditawarkan mulai dari 60 persen. TEMPO/Fajar Januarta

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Melarang Baca Bukan Jalan Terbaik

Sebagai pembaca, kita sendiri harus membangun kemampuan memahami nilai sebuah buku. Otoritas boleh punya pandangan, tapi bukan melarang baca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sejak berabad-abad yang lampau, sejarah manusia di manapun selalu diwarnai pelarangan terhadap buku (tertentu): dilarang diterbitkan, dilarang dibaca, dilarang diajarkan, hingga dilarang disimpan. Alasan yang dikemukakan begitu beragam, mulai dari meresahkan masyarakat hingga mengganggu keamanan nasional.

Salah satu butir penting dari pelarangan terhadap buku, apapun bentuknya, ialah adanya pihak-pihak yang merasa lebih mengerti mengenai apa yang paling baik bagi masyarakatnya. Lebih khusus lagi, mereka merasa paling memahami tentang buku apa yang harus dibaca dan buku apa yang tidak boleh dibaca.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka yang melarang buku tertentu berusaha menegakkan penguasaan atau hegemoni kebenaran dengan memanfaatkan otoritas yang mereka pegang—otoritas politik, keagamaan, pendidikan, sosial, apapun. Otoritas membuat mereka merasa berwenang untuk menentukan buku apa yang boleh dan tidak boleh dibaca.

Di suatu masa, penguasa Yunani kuno di abad ke-5 Sebelum Masehi melarang peredaran naskah drama Lysistrata karya Aristophanes. Dikisahkan dalam drama ini perjuangan kaum perempuan menentang dominasi kaum pria dalam menentukan arah masyarakat. Kaum isteri menyerukan ‘mogok seks’ untuk memaksa para suami agar mengakhiri Perang Peloponnesia antara Athena dan Sparta.

Penguasa Athen melarang naskah ini karena tidak ingin semangat bertempur tentaranya melemah. Di masa modern, karya Aristophanes ini pernah dilarang beredar di AS di bawah Undang-undang Comstock 1873 dan larangan ini baru dicabut pada 1930an.

Walaupun banyak orang mencuri-curi kesempatan untuk membaca buku yang dilarang beredar, seperti dulu sering terjadi di masa Orde Baru—di antaranya karya David Jenkins dan Pramudya Ananta Toer, toh tidak setiap orang akhirnya puas membaca buku terlarang. Banyak orang tidak akan cukup tahan untuk membaca karya Karl Marx, Das Kapital, yang tebal dan sarat teori ekonomi itu.

Jika sebuah buku dilarang beredar, banyak orang dapat beranggapan bahwa jangan-jangan isi buku itu benar adanya. Sebuah perbincangan terbuka mengenai sebuah buku justru akan membukakan mata banyak orang mengenai apa yang baik dan benar dari sebuah buku dan apa yang tidak baik dan tidak benar dari buku tersebut. Karena buku Jenkins, Suharto and His Generals, tidak pernah dibicarakan secara terbuka dan tidak ada perimbangan pandangan dari pihak lain, banyak orang lantas menduga bahwa apa yang ditulis Jenkis itu semuanya benar adanya; padahal, belum tentu.

Barangkali, akan lebih bijaksana bila sebuah buku dinilai oleh masyarakat luas. Pro dan kontra mungkin saja menimbulkan keriuhan untuk sementara waktu, tapi perdebatan terbuka membuat masyarakat lebih dapat memahami apakah buku tertentu memang layak dibaca, berharga, atau tidak. Otoritas boleh saja menyatakan pendapatnya, tapi bukan dengan melarang.

 Pada akhirnya, kita sendirilah—sebagai pembaca—yang harus terus-menerus mengasah kemampuan membaca, sehingga mampu memutuskan sendiri buku mana yang layak baca, penting untuk dibaca, dan mana yang hanya membuang waktu saja. Banyak tulisan resensi dan pandangan orang yang dapat membantu kita memahami nilai sebuah buku, tapi keputusan ada di tangan kita sendiri. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler