x

Karya seniman Hendro Suseno dalam pameran tunggal berjudul, Soliter X Solider di Bentara Budaya Yogyakarta, 6 Maret 2015. TEMPO/Shinta Maharani

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Momen Soliter yang Raib

Keriuhan sosial yang silih berganti membuat kita kehilangan momen-momen soliter yang bermanfaat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Keriuhan sosial yang sudah berlangsung berbulan-bulan sepertinya telah menjauhkan kita dari momen-momen soliter—kesendirian yang membuat kita sempat merenung pertama-tama tentang diri kita, lalu tentang yang lain. Sebelumnya kita telah sibuk dengan gawai, tapi keriuhan sosial ini menjadikan kita semakin sibuk. Kita takut ketinggalan berita, kabar, informasi. Kita cemas bila tidak cepat merespon isu. Spontanitas kita semakin mudah terpantik oleh pemicu dari luar.

Baik memilih secara sadar ataupun tidak secara sadar, kita akhirnya terperangkap dalam keriuhan ini. Perhatian kita banyak teralihkan oleh dan tertuju pada persoalan yang ramai secara sosial, walaupun sesungguhnya kita tidak punya cukup peran untuk dimainkan di dalamnya. Kita seperti menemukan keasyikan di dalam keterlibatan atas sesuatu yang kita hanya melihatnya di permukaan dan kita tidak cukup memahami apa yang sebenarnya tengah berlangsung di baliknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Isu demi isu berseliweran dan kita tertatih-tatih berusaha mengikutinya, padahal isu-isu boleh jadi adalah agenda sebagian kecil orang dan kita tidak lebih hanya menjadi penggembira. Kita mungkin tidak suka mendengar sebutan penggembira, tapi pernahkah kita berpikir bahwa apa yang kita saksikan hanyalah bagian dari permainan yang tidak terlihat jelas?

Dengan gawai di tangan, setiap hari kita sibuk mengikuti perkembangan isu demi isu. Bila kita tidak ikut dalam keriuhan itu, kita merasa tertinggal. Lihatlah, kita semakin mencandu kecepatan: kecepatan mendapatkan informasi terbaru, kecepatan berkomentar, kecepatan mengunggah gambar dan video, seakan keterlambatan menjadi situasi yang amat buruk bagi reputasi kita di jagat media.

Dalam masyarakat kapitalistik, ukuran kecepatan meninggalkan banyak orang terseok-seok di belakang—mereka yang memiliki hanya sedikit kapital, yang tidak memiliki teknologi canggih, yang sukar mengakses sumber finansial. Mereka tertinggal dan kalah dalam pacuan. Mereka yang lamban terpaksa berjalan di pedestrian. Orang-orang yang bekerja dengan komputer usang bersiap kehilangan peluang.

Meski begitu, ada kehilangan besar yang dialami nyaris oleh setiap orang yang mencandu kecepatan: lupa cara berjalan perlahan dan kehilangan momen-momen soliter. Ini bukan momen kesepian, melainkan momen kesendirian ketika kita dapat memikirkan dengan jernih siapa diri kita, apa yang kita lakukan, apakah kita salah dan orang lain benar, apakah saya terlampau angkuh, benarkah jalan yang saya lalui.

Gerak perlahan membantu kita menciptakan momen-momen soliter. Di tengah obsesi akan kecepatan tinggi, gerak perlahan adalah aksi revolusioner yang mempertanyakan ketergesaan kita. Momen-momen perlahan memungkinkan kita menikmati matahari pagi tanpa takut terlambat bekerja, menyesap aroma melati, menyirami tanaman di sore hari, dan makan bersama keluarga tanpa terburu-buru, serta mengujunginya dengan menikmati momen soliter menjelang tidur atau ketika terbangun tengah malam.

Kita memerlukan gerak perlahan oleh karena tidak setiap hal mesti bergegas. Kita membutuhkan momen soliter agar kita tidak terperangkap dalam segala jenis keriuhan tanpa mengerti apa yang sedang terjadi. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler