x

Sejumlah pendukung terpidana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyalakan lilin saat melakukan aksi di depan Rutan Cipinang, Jakarta, 9 Mei 2017. Aksi tersebut sebagai bentuk dukungan serta simpati untuk Ahok yang ditahan di Rutan Cipinang setelah di

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pasal Penodaan Agama Warisan Bung Karno dan Nasib Indonesia

Tak akan retaklah kapal Indonesia ini gara-gara kasus Ahok itu. Sebagai orang beragama kita bisa menilai derajat manusia dari apanya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkara pidana penodaan agama yang menimpa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menimbulkan reaksi nasional. Bahkan PBB dan Uni Eropa serta pemerintah Belanda pun ikut campur. Memang itu terlalu lebai. Sinetron. Kasus itu bermula dari pernyataan Ahok yang menuduh bahwa Surat Almaidah ayat 51 dipakai sebagai alat untuk membohongi umat Islam Jakarta agar tidak memilih dia. Kalau dia diminta untuk membuktikan tuduhannya itu ya tidak akan mampu. Apakah salah umat Islam memilih pemimpinnya dari kalangan umat Islam sendiri?

Silahkan baca lengkap pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 yang diperingati sebagai lahirnya Pancasila itu. Bung Karno berkata, apabila umat Islam ingin para wakilnya banyak yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat maka orang Islam harus bekerja sekeras-kerasnya untuk itu. Pun orang Kristen jika ingin banyak wakilnya duduk di Badan Perwakilan itu maka silahkan juga bekerja sekeras-kerasnya. Bahkan Bung Karno mengaitkan hal itu dengan pendapatnya bahwa agar ajaran Islam tak hanya di bibir saja maka mestinya ajaran Islam menjadi letter (peraturan) yang dibuat oleh Badan Perwakilan itu. Begitu pula jika orang Kristen ingin ajaran Injil masuk dalam regulasi maka orang Kristen harus berusaha keras untuk itu. Apakah  dengan membaca pidato Bung Karno seperti itu maka Anda akan mengatakan Bung Karno itu bigot, bodoh dan intoleran serta antikebhinekaan?

Terkait nasib yang menimpa Ahok yang heboh itu, yang aksi demo para pendukungnya sampai menyendera pegawai Pengadilan itu, apakah Anda ingat atau tahu nasib Ustadz H. Murtadho alias Tajul Muluk dan para pengikutnya yang terkena Pasal 156 a KUHP dan kini mereka tidak bisa pulang ke kampung halaman mereka di Sampang? Mana reaksi Anda untuk bersolidaritas kepada mereka yang nasibnya jauh lebih buruk itu? Ustadz H. Murtadho dihukum 4 tahun penjara. Tak satupun orang menyalakan lilin untuknya. Ataukah Anda ingat atau tahu Bu Rusgiani yang pemeluk Kristen itu dipenjara  1 tahun 2 bulan gara-gara Bu Rusgiani bilang bahwa Tuhan tidak bisa datang ke rumah Ni Ketut Surati karena canang itu jijik dan kotor? Kasihan benar Bu Rusgiani ini karena tak ada yang demo untuk menuntut pembebasannya hingga melakukan bakar-bakar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun 2007 ada 41 orang di Malang yang divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman 5 tahun penjara dalam kasus penodaan agama. Ya sepi-sepi saja. 

Warisan Bung Karno

Pasal 156 a huruf a KUHP adalah buatan Bung Karno. Pasak itu menentukan, “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”.

Pasal 156 a KUHP merupakan pasal yang disisipkan dalam KUHP berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Pencegahan Penodaan Agama). UU tersebut berasal dari Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tanggal 27 Januari 1965 yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno.

Pada tahun 2009, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), K.H. Maman Imanul Haq  dan beberapa LSM bidang hak asasi manusia (HAM) seperti Imparsial, Elsam, PBHI, YLBHI, dan lain-lainnnya mengajukan uji formil dan materiil terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama alias Pasal 156 a KUHP tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun MK menolak permohonan uji materiil tersebut dengan putusan  Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010.

Pada tahun 2012, seorang muslim Syiah bernama H. Ali Murtadha alias Tajul Muluk dan kawan-kawan juga mengajukan permohonan uji materiil Pasal 156 a KUHP tersebut ke MK. Namun MK juga menolak permohonan uji materiil tersebut dengan putusan Nomor 84/PUU-X/2012   tanggal 19 September 2013.

Alasan Gus Dur dan kawan-kawan dalam meminta agar MK menyatakan UU Pencegahan Penodaan Agama tersebut bertentangan dengan UUD 1945 adalah: (1) UU tersebut dipandang sebagai produk rezim otoriter Demokrasi Terpimpin jaman Sukarno; (2) UU tersebut dikeluarkan pada masa darurat revolusi, yang dengan demikian melanggar hak atas kebebasan beragama.

MK menolak permohonan judicial review terhadap Pasal 156 a KUHP tersebut dengan alasan pada intinya:

-     Perbedaan putusan-putusan pengadilan pidana dalam kasus penodaan agama adalah didasari pada masing-masing bentuk perkara yang tidak sama, sehingga tidak dapat dibuktikan ketidakadilannya.

-   Para Pemohon dan/atau sebagian ahli yang dihadirkan oleh para Pemohon mempertanyakan adanya kekhawatiran bahwa jika tidak ada UU Pencegahan Penodaan Agama  dapat menimbulkan praktik anarki atau main hakim sendiri. Yang menjadi pertanyaan para Pemohon adalah, mengapa jika UU Pencegahan Penodaan Agama tidak ada atau dicabut harus diartikan akan ada anarki atau tindakan main hakim sendiri di antara masyarakat. Atas pertanyaan tersebut MK juga dapat memberikan pertanyaan sebaliknya, apakah jika UU Pencegahan Penodaan Agama tetap dipertahankan dan tidak dicabut, maka akan terjadi tindakan sewenang-wenang karena dilakukannya tidakan represif oleh aparat penegak hukum atas nama UU Pencegahan Penodaan Agama? Dalam hal ini MK menilai bahwa kedua jawaban (baik UU Pencegahan Penodaan Agama dicabut maupun dipertahankan) belum tentu kedua kemungkinan di atas akan terjadi. Kondisi yang belakangan terjadi di Indonesia menunjukkan adanya sekelompok masyarakat yang melakukan tindakan main hakim sendiri disebabkan merasa agama yang dianutnya dinodai. Namun, dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang menyalurkan penyelesaian hukum melalui UU Pencegahan Penodaan Agama  malah dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai tindakan represif. Oleh sebab itu, untuk kepentingan perlindungan umum (general protection) dan antisipasi bagi terjadinya konflik di tengah-tengah masyarakat baik horizontal maupun vertikal, maka adanya UU Pencegahan Penodaan Agama menjadi sangat penting.

-   MK dapat menerima pandangan para ahli, seperti Andi Hamzah, Azyumardi Azra, Edy OS Hiariej, Emha Ainun Nadjib, Siti Zuhro, Jalaludin Rakhmat, Ahmad Fedyani Saifuddin, Taufik Ismail, dan Yusril Ihza Mahendra, yang menyatakan perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik, di mana revisi (perubahan) tersebut menjadi tugas Pembuat Undang-Undang (DPR dan Presiden).

Pendapat (pro-kontra) Organisasi-Organisasi Agama. 

Sebelum memutuskan menolak permohonan uji formil dan materiil UU Pencegahan Penodaan Agama tersebut (Pasal 156 a KUHP), MK juga meminta pendapat Pemerintah, DPR dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.

Pemerintah, DPR, NU, Muhammadiyah dan MUI  menolak eliminasi (penghapusan) Pasal 156 a KUHP tersebut dengan alasan bahwa pada dasarnya kebebasan itu dibatasi oleh kewajiban. UU tersebut dipandang sebagai cara melindungi semua umat beragama (tidak hanya umat Islam saja).

Organisasi Agama Kristen (PGI dan KWI) setuju agar UU No. 1/PNPS/1965 tersebut dihilangkan. Pendapat yang sama disampaikan oleh dua organisasi penganut kepercayaan.

Tetapi organisasi agama Konghuchu, Hindu dan Budha tidak setuju jika  UU No 1/PNPS/1965 (Pasal 156 a KUHP) dihapuskan sebelum ada pengganti aturan yang lebih baik.

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dalam tanggapannya bertanggal 4 Februari 2010 berpendapat agar UU 1/PNPS/1965 itu dikritisi dalam soal fungsi dan isinya karena multitafsir dan cenderung multi tafsir dan dikhawatirkan akan terjadi intervensi negara yang terlalu jauh terhadap kehidupan beragama. PGI juga menyatakan: “Apabila terjadi hal-hal yang dikategorikan atau yang dianggap penodaan atau penyimpangan, maka itu hendaknya disikapi atau diselesaikan dengan pembinaan internal tanpa kekerasan, tanpa intimidasi dan tindakan fisik. Dan itu sudah lama dilakukan di dalam kalangan umat Kristen supaya mereka yang berbeda atau yang juga menista atau menghina ajaran itu dapat kembali secara baik-baik kepada kelompok atau umat atau gereja yang akan ditinggalkannya.”

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dalam tanggapannya bertanggal 10 Februari 2010 menyampaikan pendapat di MK sebagai berikut: “Dapat disimpulkan, bahwa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/1965 ini bertentangan dengan semangat kebebasan beragama dan kebebasan dalam menyuarakan keyakinan, kebebasan berpendapat, yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu,  pertama, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tidak sesuai dengan ketentuan kebebasan beragama dan keyakinan serta menyuarakan keyakinan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan cenderung mengkriminalisasikan ajaran agama yang dianggap menyimpang. Dua, Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan sebuah negara agama yang dengan demikian negara tidak dapat intervensi dalam urusan agama karena terdapat pembedaan antar agama dan dengan agama. Dan nomor tiga, Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Tiga, Undang-Undang Nomor 1/1965 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, karena ketentuan ini dibuat ketika pemerintah masih lemah, sehingga cenderung untuk dengan mudah mempergunakan kekerasan, demikian juga dengan masyarakat warganya. Atas dasar keterangan ini, kami berpendapat bahwa pantaslah Mahkamah Konstitusi memberi perhatian kepada mereka yang mengusulkan agar dilakukan  judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965.”

Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) pada persidangan di MK tanggal  10 Februari 2010 menanggapi sebagai berikut: “Untuk alasan itulah kami menolak pencabutan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 sebelum diterbitkannya undang-undang baru yang melindungi hak-hak sipil umat beragama yang dirasakan lebih adil.” Matakin memandang UU tersebut masih diperlukan guna mencegah tindakan yang bersifat penodaan agama yang dapat memicu perselisihan.

DPP Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi) dalam tanggapannya di MK bertanggal 24 Februari 2010  menyatakan: “Umat Budha Indonesia sangat memahami pentingnya menjaga keutuhan bangsa, dalam konteks Negara Kesatuan RI. Oleh sebab itu toleransi dan kerukunan dalam kehidupan beragama Budha di Indonesia sangat penting dipahami dan diamalkan. Maka payung hukum Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 masih sangat diperlukan.” 

Parisada Hindu Dharma dalam tanggapannya bertanggal 17 Februari 2010 pada persidangan di MK tanggal  17 Februari 2010 berpendapat sebagai berikut: “Bahwa atas dasar pandangan hidup toleransi antar umat beragama kemanusiaan dan kerukunan maka keberadaan Undang-Undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 mengenai Pencegahan Penodaan Agama patut untuk dipertahankan keberadaannya sebagai bagian dari undang-undang atau peraturan yang berlaku di negara Indonesia. Undang-undang ini dibuat dengan keberadaanya untuk memberikan perlindungan bagi agama yang diakui di Indonesia serta bagi seluruh umat beragama di negara Indonesia. Dengan tetap mempertahankan undang-undang ini dapat dianggap (suara tidak terdengar jelas) dengan langkah awal kita sebagai umat beragama untuk mencegah dilakukannya penodaan agama oleh orang atau badan dengan alasannya masing-masing.”

Badan Kerjasama Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (BKOK) pada persidangan di MK tanggal  24 Februari 2010 berpendapat sebagai berikut; “Hal ini juga terbukti pascatragedi G30 S/PKI para penganut berbagai kepercayaan di wilayah Indonesia banyak menjadi korban pembunuhan dan dipenjarakan. Sehingga bagi masyarakat penganut kebatinan atau penganut kepercayaan yang sebetulnya menganut paham kedamaian dan harmonis sesuai ajaran agama dari warisan leluhur bangsanya sendiri malah dapat diistilahkan “tak putus dirundung malang” ……..  “Salah satu contoh bahwa undang-undang ini bisa mendeskriminasikan kami. Banyak ini catatan-catatan yang kami tulis dan mungkin tidak sempat dibacakan, kami sampaikan kepada Majelis yang mulia, contoh-contoh surat-surat peraturan perundangan yang berdampak pendiskriminasian terhadap kami, kalangan penghayat.”

Himpunan Penghayat Kepercayaan pada persidangan di MK tanggal  24 Februari 2010, berpendapat sebagai berikut; “DPP Himpunan Penghayat Kepercayaan tidak akan terlampau banyak mempermasalahkan pasal-pasal atau ayat-ayat dalam UU Nomor 1/PNPS/1965, meskipun kami akan mengajak semua hadirin juga untuk membaca, silakan membaca selintas dan mohon izin untuk terus dibaca ke bawah, sudah kami berikan apa namanya…, secara khusus, warna merah. Kebetulan kami mendapat kesempatan membaca pendapat-pendapat Pemerintah, terutama Yang Terhormat Para Pihak yang tidak setuju pada permohonan ini, silakan baca dan resapi.” Selanjutnya dinyatakan: “Kita tidak ada perlindungan, hanya ada ancaman bagi para Penghayat. Kami tidak ingin berkepanjangan dan melelahkan semua yang hadir, Dan sebagai penutup, berkaitan tentang sila pertama Pancasila adalah jiwa dan sesuatu hal yang sangat luhur di Republik ini dan sialnya masih sering ditertawakan

Mencari Solusi

Sebenarnya MK dalam putusannya tersebut sepakat dengan pendapat para ahli bahwa Pasal 156 a KUHP itu seharusnya diperbaiki baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik.

Seandainya ide eliminasi delik penodaan agama itu dapat dijalankan, lalu apa solusi terhadap sengketa penghinaan atau ujaran kebencian terhadap suatu ajaran agama yang menimbulkan gejolak dan konflik sosial? Kaum terpelajar harus berusaha punya tanggung jawab moral untuk memberikan solusi kepada masyarakat sekaligus mengedukasinya ke arah yang diharapkannya. Ingat bahwa dalam masyarakat itu nilai-nilai yang dianut tidak bisa homogen.

Kalau hanya bisa menolak delik penodaan agama tapi tidak punya ide atau alternatif solusi untuk menyelesaikan sengketa sosial yang biasa timbul dalam masalah-masalah seperti itu yang dapat diterima semua pihak, ya sama saja mereka itu justru menjadi bagian dari masalah tersebut.

Saya sebagai rakyat kecil hanya bisa urun rembug, bahwa Presiden Indonesia harus mengundang Ketua MA, Ketua MK, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua DPR, Ketua MPR, serta seluruh ormas keagamaan dari semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan untuk merumuskan atau membuat Pedoman Bersama dalam bentuk Peraturan Bersama tentang tatacara penyelesaian perkara-perkara perselisihan atau penodaan agama, agar dalam penyelesaiannya ditempuh jalan kekeluargaan, tidak dibawa ke model kriminalisasi, kecuali jika pelaku sudah tak dapat dibina lagi dalam tindakan-tindakan kelembagaan secara bersama-sama. Dengan demikian Pasal 156 a KUHP tidak langsung dapat diterapkan. Ini menjadi terbosoan guna mengatasi kesulitan formil sebelum dilakukan perubahan Pasal 156 a KUHP tersebut.

Kasus Ahok tersebut sebenarnya menjadi heboh dan diopinikan seolah Indonesia darurat toleransi, ya, karena politik saja. Cara pikirnya yang terlalu negatif-imajinatif. Itu kan akibat pertarungan politik perebutan kekuasaan para elit, yang kemudian menyeret-nyeret masyarakat agar melihat itu sebagai suatu kepentingan bersama. Kok enak saja, saat rakyat kecil digusur-gusur, saat warga nelayan dinihilkan eksistensinya karena proyek reklamasi, dan para pendukungnya malah menggoblok-goblokkan rakyat kecil yang digusur dan dinihilkan, kini saat tertimpa masalah lalu menyeret-nyeret masyarakat seolah-olah Indonesia darurat toleransi dan kebhinekaan. Padahal pun saat Ustadz Murtadho dan Bu Rusgiani dipenjara, mereka ya anteng-anteng saja. Saran saya, “Yang sabar ya!” Indonesia punya harapan yang lerbih baik dan harus lebih baik.

Tak akan retaklah kapal Indonesia ini gara-gara kasus Ahok itu. Sebagai orang beragama kita bisa menilai derajat manusia dari apanya? Apa bedanya Ahok dengan Bu Rusgiani, Ustadz Tajul Muluk (H. Murtadho), Lia Eden, serta 41 orang di Malang (Djoko Bhirowo, dkk) yang juga dihukum dengan pasal yang sama (Pasal 156 a KUHP? Mudah-mudahan pertunjukan sinetron ini segera tuntas, agar tidak bikin bising negara. 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB