x

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Perlu Amendemen UU Perkawinan ~ Ninik Rahayu

Amendemen Undang-Undang Perkawinan bukan gagasan baru, sudah berulang kali masuk Program Legislasi Nasional, tapi tidak pernah masuk kategori prioritas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ninik Rahayu

Anggota Ombudsman Republik Indonesia

Apa hubungannya mencegah pernikahan anak dengan tes keperawanan? Apalagi menganggap perseteruan dalam keluarga dapat menyebabkan secara turun-menurun keturunan keluarga itu akan melahirkan anak-cucu yang tidak sehat dan kurang bermoral. Itu catatan kritis saya terhadap "Perlunya Amendemen UU Perkawinan", tulisan Binsar Gultom di Koran Tempo edisi 27 April 2017.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada prinsipnya, saya mendukung gagasan amandemen atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Bukan hanya karena usia undang-undang ini yang sudah memasuki 43 tahun, tapi memang sudah saatnya diselaraskan dengan produk undang-undang terkait, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Selain itu, aturan hukum sebagai produk politik seharusnya memberikan makna yang selaras dengan aturan hukum yang ditetapkan oleh negara, seperti konstitusi. UUD1945 Amendemen Kedua memandatkan terintegrasinya pelaksanaan hak asasi manusia dalam semua kebijakan negara. Pasal 27(1) menggariskan bahwa negara mewujudkan dan memastikan setiap warga negara dan setiap orang menikmati hak atas kesejahteraan. Pasal 28B (2) menyatakan, "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi." Pertimbangan lainnya adalah, sebagaimana yang dikemukakan Binsar, soal usia perkawinan, kedewasaan, dan kesiapan sosial-ekonomi pasangan pranikah.

Amendemen Undang-Undang Perkawinan sebenarnya bukan gagasan baru, bahkan sudah berulang kali masuk Program Legislasi Nasional, tapi tidak pernah masuk kategori prioritas. Pada 2014, uji materinya ke Mahkamah Konstitusi dilakukan, tapi tidak dikabulkan.

Undang-undang ini memberi posisi dan kondisi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan pada pranikah dan masa nikah, yaitu soal usia nikah dan relasi suami-istri. Pengaturan ini menjadi penyebab mengapa tujuan dibentuknya hukum perkawinan, yang mampu memberikan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan, tidak dapat terpenuhi. Akibatnya, perkawinan usia anak masih terjadi, kemudian berkorelasi dengan tingginya angka kematian ibu melahirkan. Kesempatan anak mendapat pendidikan dan pendidikan lebih panjang menjadi terbatas. Kesempatan anak untuk mengakses kesehatan fisik dan psikologis yang lebih prima dan matang serta mapan secara ekonomi juga terhenti.

Pendidikan dan kesehatan yang terbatas secara langsung berkontribusi pada menurunnya angka indeks pembangunan manusia (IPM) yang pada 2016 merosot ke posisi 113 dari 188 negara, dari sebelumnya di posisi 110 (lebih rendah dari Malaysia dan lebih tinggi sedikit dari Vietnam). Salah satu indikator penilaian IPM adalah lama bersekolah dan harapan lama bersekolah karena mencerminkan kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan.

Tantangan terbesar kesenjangan ini terjadi antar-kelompok gender dan wilayah. Jika usia perkawinan anak dibiarkan dan tidak dilakukan koreksi, kebijakan perlakuan terbaik bagi anak tidak akan terpenuhi dan menjadi penyebab langsung terjadinya kekerasan terhadap anak dalam perkawinan.

Pembakuan peran, seperti diatur dalam Pasal 31 UU Perkawinan, menyatakan bahwa (1) hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; dan (2) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Namun ia tidak konsisten ketika memberikan status dan peran perempuan dalam keluarga karena (3) suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.

Asumsi relasi tidak setara ini dipertegas dalam pasal 34 bahwa suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga. Asumsi lain bahwa hidup-matinya istri bergantung pada suami adalah asumsi konvensional, tidak didasarkan pada prinsip kemanusiaan. Maka, mengamendemen pengaturan usia perkawinan dan memperbaiki pola relasi suami-istri dalam perkawinan serta melakukan penegakan hukum Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga harus segera dilakukan.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler