x

Basuki Tjahaja Purnama akhirnya divonis bersalah dan dihukum dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama. Putusan hakim ini melebihi tuntutan jaksa, yang meminta Basuki dihukum satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Hakim juga ”menghidupkanâ€

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Candu

Sebagian orang tercerahkan karena imannya, sebagian lainnya dimabuk olehnya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

”The greates tragedy in mankind’s entire history, maybe hijacking of morality by religion.” 

--Arthur C. Clarke

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kata-kata tersebut dan kondisi politik yang berkembang hari-hari ini mengingatkan saya pada Ta’ayush. Ta’ayush, yang arti harfiahnya hidup berdampingan, adalah sebuah gerakan moral yang terinspirasi oleh pandangan Martin Buber, seorang filsuf Yahudi. Gerakan ini merindukan terciptanya perdamaian di Timur Tengah, terutama di Israel dan Palestina. Konflik, menurut para aktivis Ta’ayush, perlu dikesampingkan karena pada dasarnya mereka masih saudara serumpun, yang semestinya hidup damai berdampingan dan saling menolong.

Tahun ini, sudah 19 tahun berlalu sejak tragedi berdarah Mei 98, saat di mana lengsernya Soeharto dari kursi RI 1 diwarnai dengan peristiwa penjarahan ratusan toko serta pemerkosaan perempuan-perempuan etnis Tionghoa. Hari-hari ini, kekhawatiran akan terulangnya peristiwa itu datang kembali. Keturunan Tionghoa di negeri ini kembali dirundung gamang ketika mantan gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, seorang Tionghoa Kristen yang akrab dipanggil Ahok, menjadi sorotan atas tuduhan penistaan agama.

Bagi saya, musababnya begitu jelas. Di sepanjang proses peradilan Ahok, broadcast berisi ujaran dan ajakan kebencian terhadap warga etnis Tionghoa tersebar secara masif melalui berbagai media sosial. Salah satu yang menjadi sorotan adalah spanduk bertuliskan “Ganyang Cina” juga “Perkosa Para Wanita Kafir Cina”. Ya, kasus yang melibatkan Ahok ini pada akhirnya melebar tidak hanya menyasar minoritas agama saja, tetapi juga minoritas kesukuan—SARA dalam satu paket utuh.

Sejak awal kasus Ahok bergulir, begitu santer pro-kontra yang terjadi di masyarakat. Pro-kontra awalnya terjadi soal digunakannya pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama, sebuah pasal yang sering dianggap pasal karet. Menurut sejarahnya, pasal 156 KUHP bukanlah produk asli pemerintah Indonesia. Pasal ini adalah hukum warisan kolonial Belanda yang resmi diadopsi dalam KUHP melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1965.

Sejarah penegakan hukum di Indonesia sendiri mencatat bahwa pembuktian kebenaran ataupun pencarian keadilan dalam kasus penistaan agama adalah hal yang hampir mustahil. Ahok bukanlah yang pertama tersandung kasus ini. Pada tahun 1990, Arswendo Atmowiloto terjerat pasal yang sama dan harus menjalani vonis limatahun penjara. Dan, seperti pasal karet lainnya, pasal 156 KUHP sangat rentan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan politik.

Kenyataan ini seolah mengamini pendapat Thomas Carothes, seorang ahli terkemuka di bidang demokrasi, mengenai penegakan hukum di Asia yang cenderung tebang pilih. Dia mengatakan, “some Asian politicians focus on the regular, efficient application of law but do not stress the necessity of government subordination to it. In their view, the law exist not to limit the state but to serve its power.” Hukum dipakai untuk melayani nafsu berkuasa, bukan membatasi kekuasaan pemerintah.

Dalam satu bulan terakhir, kasus-kasus terkait penodaan agama juga terjadi di belahan dunia yang lain. Pada 13 April 2017, Mashal Khan, seorang mahasiswa aktivis kemanusiaan, dibunuh di Pakistan oleh sekelompok mahasiswa lain yang merasa agamanya dihina oleh pandangan-pandangan Mashal. Hanya berselang sepekan, giliran Fazal Abbas, pria 45 tahun berkebangsaan Pakistan, meregang nyawa hanya beberapa hari setelah kepulangannya dari Belgia. Pelakunya adalah tiga perempuan bersaudara: Amma, Afshan, dan Razia.

Hal yang menarik terungkap saat ketiga kakak beradik ini diinterogasi. Di hadapan pihak berwajib, si sulung Amma mengaku bahwa mereka menyimpan dendam kepada korban sejak tahun 2004, ketika Fazal Abbas melarikan diri ke Belgia setelah dituduh melakukan penodaan agama. Saat itu, ia dan adik-adiknya berkomitmen untuk membunuh Abbas kelak ketika mereka telah dewasa.

Kejadian-kejadian di atas menegaskan bagaimana kebencian berlatar belakang agama sangat mudah ditumbuhkan dan begitu gampang dimanfaatkan untuk menyingkirkan, bahkan menghabisi, lawan politik ataupun orang yang dianggap menghina.

Saya jadi teringat satu kisah Ajahn Brahm, seorang Bhikku terkenal dari Australia. Seorang wartawan pernah mengajaknya bicara mengenai tentara Amerika yang merobek kitab suci sebuah agama dan membuang ke toilet. Ajahn Brahm ditanya, bagaimana kalau yang dibuang ke toilet adalah sebuah Tripitaka?

Ia hanya tertawa dan menjawab, jika itu terjadi, ia akan memanggil petugas kebersihan untuk mengangkat kitab suci tersebut agar toilet tidak mampet. Ajahn Brahm kemudian menjelaskan ajaran Buddha tentang pengampunan, kedamaian, dan welas asih tidak akan ternoda karena patung Buddha diledakan, Vihara dibakar, Bhiksu dan Bhiksuni dibunuh, ataupun sekadar karena Tripitaka dibuang di toilet. Kita bisa mencetak lebih banyak buku, membangun lebih banyak Vihara dan patung Buddha, melatih lebih banyak Bhikku, tapi ketika kita kehilangan cinta kasih, rasa hormat terhadap sesama, kepada diri sendiri dan menggantinya dengan kebencian, maka pada dasarnya, keseluruhan agama itu telah jatuh ke dalam toilet.

Meskipun sebagian orang tercerahkan karena imannya, pada akhirnya ucapan Karl Marx soal agama menjadi candu masyarakat ada benarnya. Ia menjadi candu ketika keyakinan kita akan satu-satunya ‘kebenaran’ di dunia ini membutakan mata hati dan logika. Ia menjadi candu ketika dalih membela satu-satunya kebenaran terbukti ampuh saat ‘dijual’ untuk memperkuat posisi politik, memperkaya diri, atau sekadar mendapatkan eksistensi.

***

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu