x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perangkap Ilusi Pengetahuan

Manusia merasa tahu banyak hal, padahal semakin nyata bahwa manusia tahu serba sedikit.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Manusia kerap merasa paling tahu dibanding manusia lainnya. Dengan berbekal data (yang bahkan tidak selalu akurat dikarenakan cara pengambilannya), seseorang sudah berani berkacak pinggang di hadapan orang lain: “Mana datamu, ayo kita adu?” Rasionalitas menjadikan manusia sanggup menyusun argumen apapun atas data yang ia miliki dan mengklaim kebenaran berada di pihaknya.

Rasionalitas pada akhirnya menyimpan persoalan tersendiri. Sedari abad ke-17 hingga abad ke-20, pikiran Barat melukiskan manusia individual sebagai agen rasional yang independen dan, karena itu, Barat menjadikan rasionalitas sebagai basis masyarakat modern. Dalam bukunya yang baru terbit, The Knowledge Illusion: Why We Never Think Alone (Riverhead Books), dua orang profesor, Steven Sloman dan Philip Fernbach, memberi contoh bagaimana demokrasi Barat didirikan di atas gagasan pemilih tahu yang terbaik, kapitalisme pasar bebas meyakini pelanggan selalu benar, dan pendidikan modern mengajari siswa untuk berpikir sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun kemudian, kata Sloman dan Fernbach, pemikiran Barat diserang oleh anak-anaknya sendiri, kaum pascakolonial dan pemikir feminis. Mereka menyebut gagasan inidividu rasional sebagai fantasi Barat yang chauvinistik, memuja-muja otonomi dan kekuasaan orang kulit putih.

Anak manusia yang lahir dan dibesarkan di tengah gelimang pemikiran Barat itu kemudian menyimpang. Para ekonom perilaku dan psikolog evolusioner telah menunjukkan bahwa manusia mengambil keputusan lebih berdasarkan reaksi-reaksi emosional dan jalan pintas ketimbang analisis rasional. Memang terkesan menyedihkan, sebab hal itu berlangsung di tengah kehidupan urban di Zaman Silikon.

Menarik bahwa Sloman dan Fernbach mengusung argumen ini lebih lanjut. Kedua profesor ini mengatakan: bukan hanya rasionalitas, tapi gagasan bahwa manusia itu makhluk berpikir individual pun merupakan mitos belaka. Manusia jarang berpikir sendiri. Manusia berpikir dalam kelompok-kelompok.

Fenomena antropologis menunjukkan hal itu: bagaimana suku membesarkan anak, menemukan alat tertentu, menyelesaikan konflik, atau mengobati penyakit. Tidak ada individu yang tahu setiap hal untuk mampu membangun tempat ibadah, bom atom, atau pesawat terbang. Apa yang membuat manusia lebih unggul dibandingkan hewan dan mengubah kita jadi penguasa planet bukanlah rasionalitas individual, melainkan kemampuan kita berpikir dalam kelompok-kelompok besar.

Sloman dan Fernbach menunjukkan bahwa manusia individual hanya tahu serba sedikit tentang dunia ini, dan seiring berjalannya waktu, semakin sedikit yang diketahui manusia. Di Zaman Batu pemburu tahu bagaimana membuat pakaian sendiri, membuat api dari ranting dan batu, memburu kelinci, dan meloloskan diri dari kejaran binatang buas.

Bagaimana sekarang? Kita menyangka bahwa kita tahu lebih banyak dibanding manusia Zaman Batu. Mungkin benar secara kelompok, tapi sebagai individu kita tahu lebih sedikit. Mengapa? Kita bersandar kepada keahlian orang lain untuk hampir semua keperluan kita. Untuk memasak, kita bergantung kepada kompor yang dibuat orang lain. Untuk membuat es batu, kita mengandalkan freezer yang dibuat orang lain. Bahkan, meskipun setiap hari kita memakai celana, menutup dan membuka resluiting, kita gagap bila diminta menjelaskan cara kerja resluiting—orang lain yang membuatnya.

Itulah gambaran tentang pengetahuan manusia yang secara berkelompok semakin meningkat, tapi pengetahuan individual semakin kecil—kita hanya mengerti bagian-bagian kecil dari pengetahuan tentang semesta yang ternyata demikian kompleks. Inilah yang disebut Sloman dan Fernbach sebagai ilusi pengetahuan, dan kita terperangkap di dalamnya. Kita berpikir bahwa kita tahu banyak mengenai sesuatu dan tentang segala hal, karena kita memperlakukan pengetahuan dalam pikiran orang lain seolah-olah pengetahuan dalam pikiran kita.

Dulu, kita merasa tahu bahwa hujan akan turun mulai bulan September, dan kini kita bingung ketika hujan tak juga berhenti sekalipun sudah tiba bulan Mei. Kita semakin tidak mengerti mengapa hal itu terjadi kecuali dengan bantuan orang lain. Membanjiri diri dengan data dan informasi tidak akan membuat situasi jadi lebih baik, bahkan sangat mungkin malah memukul balik karena ketidakpahaman terhadap data. Kebanyakan orang tidak suka bila disodori banyak data, sebab mereka tidak suka terlihat kurang cerdas, namun sayangnya mereka berani mengambil kesimpulan sendiri—kesimpulan yang disesuaikan dengan keinginan mereka. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB