x

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Miskin Literasi di Negeri yang Kaya

Kartini menulis, dan dunia mendengar, Tan menulis, dan dunia mengenalnya, Pram merangkai kata, dan dunia memujanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“In a good bookroom, you feel in some mysterious way, that you are absorbsing the wisdom contained in all the books through your skin, without opening them.”

- Mark Twain –

Indonesia mencatat, tanggal 17 Mei sebagai hari buku nasional. Dan kemudian, di bulan lalu, pemerintah mencanangkan program pengiriman buku gratis ke seluruh pelosok negeri ini, satu hari setiap bulan, sebagai bentuk dukungan kepada penggiat literasi yang saat ini, sudah banyak bermunculan di pelosok negeri. Hal ini timbul dari banyaknya keprihatinan akan minimnya minat baca di kalangan masyarakat. Minimnya minat baca, bukan hannya karena malas membaca, tapi juga karena minimnya sarana dan prasarana. Seperti kita tahu, tidak banyak perpustakaan-perpustakaan di daerah-daerah terpencil di nusantara ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat kita bicara literasi, banyak hal yang bisa membuat kita menangis dan tertawa di saat yang sama. Seperti dahulu, betapa dunia terkesima dengan cerita Thomas Stamford Raffles mengenai tanah Jawa. Jawa yang selama ini dikenal oleh Eropa sebagai tanah jajahan Belanda, menjadi amat indah dilukiskan oleh Raffles. Raffles tidak sekedar menulis, tapi juga meneliti sebelum menuangkan semuanya menjadi dua buah buku berjudul The History of Java. Konon, kepulangannya ke negaranya, tidak hanya membawa Serat Manik Maya, hadiah dari Susuhan Pakubuwono IV, tapi juga berbagai naskah kuno serta kronik dengan berat 30 ton.

Sama halnya dengan seorang naturalis berkebangsaan Inggris bernama Alfred Russel Wallace yang tertarik pada negeri ini, hingga pada tahun 1854 sampai dengan 1862, berpetualang di nusantara, guna meneliti keberagaman hayati. Bahkan dalam catatan sejarah sains, konon, penyempurnaan teori evolusi Darwin, tak lepas dari hasil penelitian Wallace saat berada di negeri ini. Hingga saat ini, jurnal ilmiah karya Wallace pun masih menjadi pedoman keilmuan di seluruh dunia. Terutama bukunya yang berjudul The Malay Archipelago: The Land of the orang-utan, and the bird of paradise. A narrative of travel, with sketches of man and nature. Buku yang sama yang membuat kakak beradik Lawrence dan Lorne Blair jatuh cinta kepada Indonesia, hingga mereka tertarik untuk mendokumentasikan keberagaman negeri ini dalam sebuah pita seluloid. Film documenter mereka tentang Indonesia, bahkan mendapatkan penghargaan Emmy Award pada tahun 1989 dengan judul Ring of Fire. Bahkan, Lorne sendiri, meninggal dunia di Ubud, Bali di tahun 1995, sewaktu kedua kakak beradik itu menetap sementara di Bali.

Ada banyak catatan dan jurnal ilmiah yang ditulis oleh penulis dari luar tentang Indonesia. Dan mereka menulis bukan hanya tentang satu pokok bahasan. Sebut saja nama Clifford Geertz yang meneliti tentang kultur budaya serta kehidupan sosial masyarakat di Jawa, Revrison Baswier dan Lindblad J. Thomas yang meneliti dan menulis tentang polemik ekonomi di negara ini, George McTurman Kahin, Herbert Feith yang menelurkan beberapa buku tentang arus politik di sini, juga sederet nama lain yang tak tersebutkan satu persatu. Tapi, pada dasarnya mereka sama, meninggalkan jejak berupa buku, kronik, dokumen serta catatan tentang negara ini, yang seringkali, alpa dijamah oleh penulis di negeri ini.

Saya jadi teringat seorang Mohammad Hatta, seorang tokoh besar yang pendiam, tapi juga produktif menulis. Tak banyak catatan tentang tulisan Hatta yang dikenal orang. Ketika kita bicara buku Di Bawah Bendera Revolusi, maka ingatan orang akan langsung melayang pada sosok sang orator ulung, Soekarno. Tapi ketika kita bertanya tentang buku Mendajung Antara Dua Karang, masih banyak yang mengernyitkan dahi, tentang siapa penulis buku tersebut. Padahal, dalam catatan, ada banyak buku yang ditulis oleh Hatta, bukan hanya tentang ekonomi, meski beliau adalah juga ekonom, dan buku Mendajung Antara Dua Karang adalah salah satu karyanya yang ikonik, karena menuliskan serta menegaskan prinsip kebijakan luar negeri saat ini, yaitu bebas aktif. Mungkin memang benar kata Kahin, George McTurman Kahin, yang mengagumi sosok Hatta dengan kesederhanaannya, dialah orang besar yang jujur, dan mungkin, hingga saat ini, belum ada yang mampu menyamainya.

Literasi, sekali lagi tentang buku, catatan, tulisan, kronik, dokumen. Meski jaman akan terus melaju, waktu tidak akan berhenti, tapi jejak kehidupan beserta remah-remahnya tak mudah dilupakan orang, saat ia tercatat di suatu tempat, dan menunggu sepasang mata mulai membacanya, dan mungkin terpesona akan rangkaian indah kata-kata yang membawa ke imaji tak terhenti. Akankah masyarakat di negeri ini mulai belajar membaca, memilah yang perlu dan tidak perlu, atau hanya sekedar ”berbunyi” dengan kebisingan, tapi tak meninggalkan satu kata-pun di selembar kertas usang?

Kartini menulis, dan dunia mendengar, Tan menulis, dan dunia mengenalnya, Pram merangkai kata, dan dunia memujanya. Maka menulislah, membacalah, sebab ada banyak buku, yang tak terjamah tentang manusia dan sejarahnya.

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu