x

Iklan

Denny Galus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pancasila dalam Perdebatan Negara-Agama di Indonesia

pancasila menjadi sebuah kompromi nasional atas perdebatan antara negara dan agama di tanah air

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perbedebatan negara kontra agama bukanlah fenomena baru dalam tubuh negara Indonesia. Perdebatan sejenis bahkan telah ada sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya sebagai sebuah negara yang berdaulat. Sejarah menulis bahwa perdebatan antara negara dan agama dilatarbelakangi oleh masalah  di atas prinsip dasar manakah negara indonesia yang akan berdiri ini dibangun, di atas dasar kebangsaan kah atau di bawah prinsip agama. Pada sidang BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), kekuatan-kekuatan politik terpecah menjadi dua kubu yaitu golongan kebangsaan yang mempertahankan pancasila sebagai dasar dan landansan negara Indonesia dan golongan Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar dan landasan negara Indonesia. Tegangan antara kedua golongan tersebut berlangsung serius dan panas, tetapi kemudian mengkristal dalam sebuah kompromi bersama untuk menemapatkan kepentingan persatuan dan kesatuan di atas egoisme primordial. Kompromi tersebut nampak dalam rumusan pertama sila pancasila-Ketuhanan Yang Maha Esa. Pancasila sila pertama pada prinsipnya adalah kompromi bersama yang paling nyata dari perdebatan ini. Akhirnya, Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, merumuskan pancasila sila pertama dengan rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menghapus rumusan setelahnya yang berbunyi kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya. Dengan ini, ingin ditetapkan bahwa meskipun warga Indoneisa adalah juga warga agama, tapi dasar negara Indonesia bukan di bangun di atas dasar agama tertentu tetapi di atas dasar kebangsaan. Pancasila menginsyafi bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar yang dibangun di atas banyak agama, suku dan ras dan karena itu, menjadikan prinsip satu gama menjadi prinsip yang berlaku umum hanyalah mengaburkan kesatuan bangsa. Lantas bagaimana dengan penetapan enam agama resmi yang berlaku di tanah air. Mungkinkah jika penetapan itu sejalan dengan amanat Pancasila?

Tentang Penetapan Enam Agama Resmi di Indonesia

Hingga pada inti sari pemikiran di atas, dapat dikatakan bahwa penetapan 6 agama resmi sebagaimana yang dilegalkan di Indonesia, sama sekali bertentangan dengan amanat luhur Pancasila. Di sini persoalannya bukan terletak pada jumlah agama entah itu satu agama atau enam agama, akan tetapi penetapan itu sendiri menolak keberagaman dalam tubuh negara Indonesia. Kalau Pancasila yang adalah dasar hukum tertinggi bangsa Indonesia menerima keberagaman agama (berapupun banyak dan jumlahnya) apa sebab ketetapan dan undang-undang di bawahnya menolak keberagaman. Dalam logika hukum, penetapan 6 agama resmi di Indonesia adalah cacat hukum dan tidak sesuai dengan amanat pancasila.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Guna menolak keberadaan agama dan keyakinan lain di luar enam agama resmi yang ditetapkan, para petinggi negara ini dengan sengaja mengangkat sila pertama sebagai dasar pijakannya. Berkenaan dengan hal ini, satu hal yang perlu ditegaskan bahwa, sila Ketuhanan yang Maha Esa sesungguhnya lebih dilihat sebagai pandangan hidup dari pada pandangan agama. Ketuhanan yang Maha Esa pada tempat yang pertama memang adalah penegasan keyakinan bangsa Indonesia akan adanya Tuhan yang secara hakiki diakui keberadaannya oleh seluruh manusia Indonesia. Adapun dalam sila pertama ini, hanya disebutkan kata Tuhan, itu berarti pancasila tidak mengeksplisitkannya pada Tuhan yang diakui oleh satu atau beberapa agama tertentu. Agama Tradisionalpun memiliki Tuhannya masing-masing. Memang sulit untuk memahami Tuhan dalam agama lain dengan konsep tentang Tuhan yang diyakini oleh agama sendiri. Tentang hal ini harus disadari bahwa ajaran agama yang kita yakini dalam agama kita hendaknya dipakai untuk menilai diri kita sendiri dan bukan untuk menilai ajaran yang lain apalagi sampai menilai bahwa Tuhan dalam agama lain itu salah. Setiap agama pada prinsipnya memiliki Tuhannya masing-masing yang diakui dan diimaninya dalam wujud yang berbeda. Kendatipun Tuhan itu berbeda namun satu yang pasti bahwa Tuhan yang disebut dalam nama yang berbeda itu mengajarkan hal yang sama yaitu cinta kasih.

            Dalam Konsep yang lebih luas, kaum akademisi lebih melihat pancasila sebagai pandangan hidup. Hubungan religi dan negara sebagaimana yang digambarkan dalam sila pertama pancasila tidak hanya dibicarakan dalam tatanan politik saja tetapi masuk dalam wilayah akademis. Drijarkara misalnya mencoba menginterpretasikan hubungan agama dan negara dengan ceramah pancasila dan religi. Pancasila oleh Drijarkara mendorong orang ke arah religi. Jika sila-sila dalam pancasila diperas maka dihasilkanlah suatu rumusan cinta kasih. Adapun nilai cinta kasih ini tidak bertentangan dengan spiritualitas dalam agama apapun. Sekali lagi, agama dalam konsep pancasila bukan berorientasi pada sebuah lembaga dengan sturktur yang jelas tetapi adalah pandangan hidup yang menekankan cinta. Karena itu, adalah seharusnya kalau agama yang diakui di Indonesia adalah agama yang mencintai cinta dan bukan terbatas pada enam agama sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena itu, benar jika Drijarkara menyarankan bahwa aktulisasi sila pertama harus disesuaikan dengan kekhasan penghayatan religi masing-masing.

Telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan ditetapkannnya pancasila sebagai dasar negara itu berarti bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Frasa bukan negara agama tidak mengisyaratkan bahwa Indonesia anti terhadap agama. Maksud dari frasa ini menurut Drijarkara adalah bahwa walaupun setiap orang Indonesia itu beragama dan berjemaah (apapun agamanya) tidak langsung berarti bahwa negara Indonesia didasarkan pada satu norma agama tertentu. 

Melalui pancasila, negara bukannya memilih sikap tidak peduli atau memusuhi realitas religius yang memang meresapi setiap individu di negara ini. Sikap tidak peduli yang dtulis di sini mesti dibaca dalam konsep bahwa negara mengurung religiositas seseorang dalam tataran keyakinan individual saja dan tidak boleh sama sekali berpengaruh dalam tataran penghayatan sosial. Agama yang kita hayati mesti nampak dalam relasi sosial dan tidak hanya bercokol dalam kenyamanan baik itu kenyamanan yang lahir dari doktrin agama yang bersangkutan atau yang sengaja diberikan oleh negara. Dengan demikian menjadi orang beragama dalam konteks negara pancasila berarti menerima keberagaman agama sebagai sebuah keniscayaan sambil berjuang menciptakan perdamaian antarumat beragama yang ada di tanah air dalam semangat persaudaraan.

Ikuti tulisan menarik Denny Galus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB