x

Iklan

Yos Rizal Suriaji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bedebah, Kopi ~ Yosrizal Suriaji

Jadi setiap kali bertemu dengan seseorang dan ia kemudian menawari secangkir kopi, dengan kecepatan cahaya saya segera menolak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yosrizal Suriaji

Wartawan TEMPO

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jujur, pada mulanya saya membenci kopi. Sejak minum kopi pertama kali di sekolah dasar, lalu jantung berdegup kencang, kemudian keluar keringat dingin, dan mata berkunang-kunang serta badan mulai limbung, tak pernah ada cerita kopi mampir di kehidupan saya. Saya nyaris dibuat klenger oleh si bedebah ini.

Ini persis seperti ketika saya juga hampir pingsan oleh jarum suntik. Gara-gara badan panas, saya yang saat itu kelas 3 SD dibawa ke dokter. Baru pertama kali bertemu dengan seorang dokter dan mengagumi stateskop yang dicangklong di lehernya, tiba-tiba saya diminta menungging. Ia kemudian mengeluarkan jarum suntiknya. Hasilnya? Tak sampai setengah jam, badan saya gemetar, gigi gemeretak, mata berkunang-kunang, dan saya nyaris mampus.

Jadi setiap kali bertemu dengan seseorang dan ia kemudian menawari secangkir kopi, dengan kecepatan cahaya saya segera menolak. Wajah orang yang menawarkan kopi itu entah kenapa tiba-tiba berubah menjadi si dokter yang hampir membunuh saya itu. Tentu bukan salah sang dokter, juga bukan lantaran jarum suntik yang sampai hari ini memang masih tampak mengerikan, tapi karena “salah” badan saya yang alergi terhadap antibiotik tertentu.

Tapi penjelasan saintifik seperti itu tak pernah mempan saat itu. Saya berjalan dengan logika aneh saya sendiri. Bagi saya, dua-duanya: kopi dan jarum suntik, sama-sama hampir membuat hidup saya khatam. Dan itu sudah cukup buat saya untuk tak lagi mau berurusan dengan kopi. Konyol betul.

Karena itu saya heran ada orang yang begitu fanatik, bahkan addicted, dengan kopi. Ada yang sanggup minum sampai 7 cangkir kopi sehari. Apa enggak nggeblak tuh orang? Kafein yang bertumpuk-tumpuk di dalam tubuh niscaya sangat berbahaya. Ada juga yang sok-sok snob nongkrong di kafe, memesan kopi, agar tampak gaul. Ada pula yang sampai kursus menyeduh dan menyangrai, bahkan sampai ke luar negeri, hingga ke level yang mentok, hanya untuk menikmati secangkir kopi. Betapa repotnya mereka untuk bisa mencapai tujuan yang sebetulnya sangat sederhana.

Sementara saya, dengan bangga menyebut diri sebagai peminum teh. Tapi, bodohnya, saya tak pernah tahu teh dari daerah mana yang enak. Bagi saya, dari mana saja teh itu berasal, entah disajikan ala tubruk atau celup, asal diaduk dengan sesendok gula, rasanya tetap enak. Wewangian teh yang aneka rupa, juga tak pernah mencuri perhatian saya. Saya jenis peminum teh yang tak kebanyakan lagak. Jikapun ada teh yang paling saya suka: teh botol! Nah, mungkin karena (salah satu sebab) kebiasaan minum yang serba manis itu yang kemudian membuat saya divonis menderita diabetes tipe B (gaya hidup).

Vonis itu membuat saya benar-benar “mampus”. Sejak itu saya banting setir menata ulang seluruh gaya hidup ngawur selama ini. Untuk urusan minum, selain air putih, saya mulai bisa menikmati teh tanpa gula. Tawar bro! Enak bro! Minum kopi? Tetap no way.

Lalu mengapa saya sekarang menyukai kopi? Bukan vonis penyakit gula itu benar yang membuat saya kini beralih ke kopi. Saya ingat, saya dua kali pernah “terpaksa” minum kopi. Pertama di Aceh, ketika menjenguk teman yang rumahnya baru seminggu dihumbalang tsunami. Sang kawan menyuguhi kopi Gayo. Suasana yang mengharu-biru saat itu benar-benar melupakan “dendam masa kecil” terhadap kopi. Saya pun meminumnya. Slurp… Pelan-pelan… Dan ternyata tubuh saya baik-baik saja.

Kedua, saat mendapat tugas kantor ke Ethiopia. Ini negeri penghasil kopi. Tanah air kopi. Kiblat kopi. Tapi perhatian saya teralihkan oleh tugas mengunjungi panti-panti penampung penderita HIV/AIDS. Maklum saat itu, negeri di tanduk Afrika itu sedang dihantam badai HIV. Baru belakangan saya menyesal kenapa saat itu saya tak sempat mengunjungi Dire Dawa, wilayah utama penghasil kopi Ethiopia.

Kejadian “terpaksa” itu terulang. Saat hendak pulang ke Indonesia, pengemudi yang menemani selama di sana meminta saya mencicipi kopi Ethiopia. Saya menolak. “Saya tak suka kopi,” kata saya cepat.

“Ayolah, jauh-jauh Anda ke sini tapi tak sempat mencicipi buna,” dia mendesak. Buna, bahasa Amharic (bahasa yang digunakan orang Ethiopia) untuk kopi. Dia bercerita kopi yang akan kami minum itu manis, walaupun tanpa gula. Saya mengerenyitkan dahi. Apa pula ini? Tapi sudahlah, saya coba saja, demi menghormati sang tuan rumah.

Benar belaka. Kopi yang saya minum itu manis. Ada rasa anggur. Segar pula. Saya pun menunggu tubuh saya akan bereaksi seperti apa. Satu, 3, 5,10 menit, setengah jam…. Ternyata saya tak pingsan di negeri orang.

Sejak itu saya berdamai dengan kopi, walaupun saya belum mengkonsumsinya. Sekarang, si bedebah itu justru telah menguasai saya. Dan saya menyerah dalam kenikmatan dan eksotisme kopi.

 

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di ngopidikantor.com pada 31 Mei 2017.

Ikuti tulisan menarik Yos Rizal Suriaji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler