Yos Rizal Suriaji
wartawan Tempo
Dalam urusan menikmati kopi, juga menyeduh, saya terhitung newbie. Maklum, belum setahun saya menyukainya. Sebelumnya, selama puluhan tahun, sejak pertama belajar berhitung hingga kini umur hampir habis hitungan, saya “beriman” pada yang lain. Maka untuk mengejar “ketertinggalan”, saya yang baru dapat “hidayah” ini harus banyak belajar.
Tapi namanya (menjelang) manula, mana mungkin si kaki ringkih dan linu-linu ini bisa melompat ke dalam gerbong kereta yang berlari kencang? Begitu banyak anak muda sekarang yang menjadi barista. Gelombang anak muda yang terjun di bisnis kopi kian membesar. Kursus-kursus menjadi barista yang jelas tak murah itu juga banyak diminati. Mereka dengan cepat menguasai berbagai alat manual brew dan rupa-rupa mesin kopi. Mereka tak mungkin terkejar.
Anak-anak kemarin sore yang punya banyak nama itu—entah generasi Y, Z, dan milenial, susah membedakan—jago betul membuat berbagai macam kopi. Dari mulai espresso, latte, cappuccino, americano, ristretto, piccolo hingga belasan nama Italia berakhiran “o” itu. Saya, jangankan menguasai teknik menyeduh yang canggih itu, membedakan antara satu nama “o” dengan “o” yang lain pun tak tahu. Menuliskannya juga masih sering terpeleset.
Jadi, di jagat perkopian, saya adalah barista culun–itu juga kalau layak disebut barista. Buktinya, sudah lebih dari enam bulan ini saya masih tak becus membuat latte. Betapa susah ternyata, misalnya, mengocok susu (milk frothing) agar mengeluarkan micro foam yang tepat untuk latte. Susu bikinan saya, yang semula saya pikir berhasil (pakai teriak “gotcha!” segala), ternyata masih seperti busa rinso—begitu teman memberi istilah. Kacau.
Untuk urusan kocok-mengocok (jangan berpikir mesum, ini bulan puasa) susu ini, saya sampai mengundang beberapa teman yang sudah jago untuk mengajari saya di rumah. Hasilnya? Tetap saja dodol. Pernah satu kali saya hampir seharian mengulik si bedebah ini. Ternyata ketahuan belakangan bahwa saya salah memilih jenis susu. Saya membeli susu non fat yang saya suka, padahal untuk membuat kopi latte justru harus menggunakan susu dengan kandungan lemak.
Itu baru urusan frothing. Belum teknik membuat gambar mawar, bebek, panda dan macam-macam gambar lain di atas kopi (latte-art) yang jelas tak mudah. Beberapa teman menyarankan agar saya mengambil kursus latte-art supaya cepat menguasai teknik ini. Saran itu, sementara, saya tolak. Saya masih percaya pada kehebatan Universitas Unyu (Universitas YouTube) –begitu pendiri #ngopidikantor menyebut dan berguru. Saya tinggal berdoa meminta tambahan umur untuk bisa menguasai teknik ini.
Kerumitan dan kecakapan yang perlu latihan tak sebentar itu yang sama sekali tak saya duga sebagai pendatang baru. Saya yang diajak mengikuti camping #ngopidikebun di pegunungan Malabar, Pengalengan, Jawa Barat, semula terheran-heran bagaimana mungkin kegiatan menyeduh (brewing) kopi yang sebenarnya simpel itu dibuat menjadi begitu rumit. Tiba-tiba tak hanya ada cangkir, bubuk kopi, dan air panas di atas meja, tapi juga ada alat saring (pour over), teko leher angsa, server, grinder, filter, timer, termometer dan timbangan!
Saya, yang sudah bertahun-tahun membebaskan diri dari alat-alat laboratorium yang mengepung saat kuliah, seketika “keluar tanduk”. Apa-apaan ini? Masak saya harus kembali bertemu cawan petri, gelas-gelas lab, pipa, kabel, bola gravitasi, timer dan timbangan? Lebih dari tujuh tahun saya harus bergulat dengan alat-alat mekanika sederhana hingga eksperimen rumit “menangkap kucing” Schrodinger di fisika kuantum. Saat saya mencoba menulis pendahuluan skripsi tentang hal-hal yang lebih folosofis dari temuan gravitasi Isaac Newton, saya justru diminta dosen pembimbing melengkapi data-data eksperimen dengan cara kembali ke lab! “Ini fisika, bukan filsafat atau sastra, Bung!” begitu katanya. Saya pun takluk.
Nah, di perkebunan kopi dengan suhu dingin dalam suasana camping akhir pekan itu, tiba-tiba ada panorama “laboratorium” tersebut. Ini kopi, bukan fisika Bung! Maka, dengan gaya seperti para pencaci Ahok, saya pun berkomentar sinis pada beberapa teman terhadap aktivitas menyeduh yang dilakukan dengan penuh presisi itu. Dari mulai menyebut para penyeduh itu tak lebih dari agen alat-alat kopi di Glodok hingga mengatakan dengan bercanda bahwa para peserta telah ditipu panitia. Bercanda yang tak lucu.
Tapi kemudian secangkir kopi yang disuguhkan ke saya setelah ritual menyeduh itu sudah cukup melumerkan komentar miring itu. Saya mendapati kopi yang sangat enak, bukan kopi gampangan yang dibuat cukup dengan menggunting dan menubrukkannya dengan air panas. Saya mencecap rasa buah-buahan di dalamnya dan asam yang menyegarkan. Bukan sekadar rasa pahit. Tak seperti kopi sachet yang pernah saya minum yang hanya mengeluarkan rasa pahit yang nyetak di langit-langit mulut saya.
Dari kopi yang disuguhkan itu, juga beberapa cangkir lain yang mewadahi seduhan dengan teknik dan alat yang berbeda-beda itu, saya menemukan pengalaman rasa dan aroma yang berbeda-beda. Begitu menakjubkan dan mengasyikkan bertualang ke kedalaman rasa yang disuguhkan para petani dari kebun kopi itu. Begitu ajaib pula, bejibun “alat-alat lab” yang semula meneror itu ternyata punya peran yang tak sedikit dalam membantu mengeluarkan kekayaan terpendam di biji-biji kopi.
Dari pengalaman itu, tentu saya tak lagi pantas nyinyir menyebut berbagai alat seduh itu hanya cara mereka memamerkan diri agar tampak modern dan keren. Sebagai newbie, tak cuma bereksperimen dengan berbagai alat seduh, saya sekarang justru ingin bertualang lebih jauh ke keindahan daerah dan negeri-negeri penghasil kopi, dan menyelami ikhtiar-ikhtiar para petani kopi yang telah menyuguhkan surga di lidah dan jiwa kita.
Catatan:
Artikel ini telah dimuat di ngopidikantor.com pada 2 Juni 2017