x

04-berut-bukaLahanPertanian-Kementan-TNI

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyoal TNI yang Bertani

Proyek TNI menjadi Tani atas kerjasama dengan Kementrian Pertanian, jelas mendapat kritikan dari masyarakat, karena fungsi mereka yang berubah drastis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memang semestinya setiap teori selalu ada praktiknya, karena sesungguhnya teori selalu diperbarui melalui serangkaian praktik yang dijalankan. Namun, ada teori yang seringkali sulit dipraktikkan, sebagaimana dalam dunia militer, seorang tentara yang dibekali teori bertempur atau mempertahankan diri, ternyata seringkali luput dalam praktik yang sesungguhnya. Pertempuran dalam arti yang sebenarnya, mungkin jarang sekali terjadi, kecuali negara dalam kondisi yang tidak aman, maka tentara dapat dengan cepat mengasah insting kemiliterannya untuk membuat langkah-langkah pengamanan negara. Libido berperang para prajurit yang kadang tak tersalurkan, membuat mereka terkadang disewa sebagai “backing-backing” keamanan dalam dunia bisnis dan bahkan ada juga yang terjun menguasai dunia bisnis secara langsung. Terkadang, ketika lahan bisnis juga sulit dan serba kompetitif, tentara bisa saja atas nama tugas negara menjadi petani, menggarap lahan dan bekerjasama dengan masyarakat mengembangkan industri pertanian .

Zaman Orde Baru dahulu, TNI selalu diobsesikan manunggal dengan rakyat, melalui program ABRI Masuk Desa (AMD) yang dikelola pemerintah. TNI yang tidak berperang diarahkan untuk membantu pekerjaan rakyat, baik dalam membangun infrastruktur pembangunan maupun pengelolaan lahan-lahan pertanian. TNI kemudian bersama petani membangun irigasi, mencetak sawah, membangun jembatan dan infrastruktur apapun yang dapat mendukung upaya pemajuan desa. Program AMD yang digulirkan pemerintah Orde Baru, dalam beberapa hal cukup berhasil, paling tidak menyalurkan libido positif berperang kepada hal-hal pembangunan yang lebih positif. Walaupun disisi lain, para perwiranya seringkali ikut terlibat dalam dunia politik-praktis, mengisi hampir seluruh tingkatan struktur kekuasaan politik, dari sejak lurah, camat, bupati bahkan hingga gubernur.

Bergulirnya reformasi 19 tahun yang lalu, TNI “dipaksa” untuk kembali ke “barak” kembali menjalankan fungsinya sebagai badan keamanan negara yang hanya mengurusi soal tata kelola keamanan dan ketertiban negara yang implikasinya adalah penghapusan konsep Dwifungsi TNI. Rezim Orde Baru yang hampir keseluruhan struktur kekuasaan politiknya dikuasai militer, kini berubah total, dimana sipil lebih banyak mengisi pos-pos struktur kekuasaan. Walaupun para perwira militer masih tetap ada yang sukses berkarir di dunia politik, itupun setelah menanggalkan “kemiliterannya” dan dia kembali menjadi warga sipil. Dikotomi sipil-militer di Indonesia, nampaknya tetap menjadi “isu politik” yang sulit dihilangkan dari bayang-bayang Rezim Soeharto yang militeristik. Kekhawatiran berbagai pihak soal isu kembalinya militer ke dunia politik, membuat pihak militer bersikap “netral” dan terkadang menggeser fungsi kemiliterannya untuk hal-hal lain yang tidak bersentuhan dengan urusan politik kekuasaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Itulah sebabnya, tentara mencoba mencari celah proyek dalam bidang lainnya yang lepas dari hiruk-pikuk kepolitikan. Isu yang tampak mencuat belakangan adalah proyek kerjasama TNI dan Kementrian Pertanian dalam hal pelibatan TNI mencetak dan menggarap sawah. Tak tanggung-tanggung, biaya untuk proyek ini mencapai total biaya negara sebesar 3,5 triliun sejak digulirkannya tahun 2015 lalu. Tentara ditargetkan dapat mencetak sawah di 27 provinsi seluas 130 ribu hektar lebih yang selanjutnya diperuntukkan bagi para petani setempat jika lahan yang dibuka sudah benar-benar produktif. Sekilas memang tugas kemiliteran sebagai penjaga keamanan negara jadi melenceng, karena TNI tiba-tiba mau menjadi petani, dengan alasan yang cukup sederhana: TNI disiplin dan tidak akan ada pihak yang macam-macam kepada tentara, sehingga tak ada lagi pertanyaan menyoal TNI yang jadi tani.

Proyek TNI menjadi Tani atas kerjasama dengan Kementrian Pertanian, jelas mendapat kritikan dari masyarakat, karena fungsi mereka yang berubah drastis secara total: menjadi petani. Kritik yang dilontarkan Ombudsman justru masuk akal, bahwa selain fungsi tentara yang melenceng, ternyata tugas mereka tidak hanya sekadar mencetak sawah, tetapi juga hingga pada soal produksi dan distribusi yang berpotensi terjadi intimidasi kepada pihak petani. Terlebih—menurut Ombudsman—keterlibatan TNI dalam pertanian tidak dilandasi oleh kuputusan presiden, sehingga program ini malah menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan ini sekadar proyek tahunan yang sama-sama mencari keuntungan, tidak lebih. Kritik yang terus disuarakan Ombudsman Republik Indonesia, juga melihat pada kenyataan bahwa banyak beberapa lahan yang pada akhirnya gagal dan tak bisa berproduksi.

Sejauh ini, peran dan fungsi TNI memang terasa sempit, mengingat jika keberadaan negara selalu dalam kondisi aman dan tanpa masalah. Libido perang jika tak tersalurkan secara baik, juga bisa membahayakan, hal inilah yang kemudian seringkali terjadi bentrokan akibat persoalan sepele yang bisa saja terjadi antara sipil dan militer. “Perang egoisme” antarkesatuan atau lintas kesatuan di lingkungan militer tak jarang memakan korban. Belum lagi ketika persoalan-persoalan kecil yang terjadi secara personal antara TNI dan polisi yang tiba-tiba membesar menjadi perseteruan antarkorps adalah akibat dari libido bertempur yang kurang tersalurkan. Mengambil proyek pertanian, mungkin bisa menjadi saluran efektif bagi TNI mengatur libido militernya secara terarah. Itulah kenapa, bahwa program ini tak membutuhkan persetujuan presiden dalam pelaksanannya, cukup MoU yang dilakukan antarpihak mengacu kepada aturan-aturan hukum yang sudah ada.

Saya kira, memang perlu pengkajian ulang soal peran dan fungsi TNI agar tak melenceng lebih jauh mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak sesuai sama sekali dengan tugasnya. Merujuk pada Undang-Undang No 34 tahun 2004 tentang TNI, tugas militer selain perang tentu jelas bahwa militer harus mampu mengatasi gerakan separatisme, pemberontakan senjata dan aksi terorisme; melaksanakan tugas perdamaian dunia; mengamankan presiden/wakil presiden dengan seluruh keluarganya; serta membantu tugas pemerintahan di daerah. Lalu pasti akan timbul pertanyaan, TNI kok tani? Karena merujuk pada kajian perundang-undangan yang secara tegas bahwa mencetak sawah, memproduksi dan distribusi hasil pertanian jelas bukanlah tugas utama TNI.

Bagi saya, tugas dan fungsi TNI yang sangat spesifik, justru tak bisa dibebankan kepada sembarang orang, berbeda dengan mencetak sawah yang mungkin siapapun dapat dilatih secara mudah dan diarahkan. Negara ini, sedang menanggung derita terorisme yang semakin sulit diberantas dan hal itu jelas mengancam keamanan nasional. Aksi-aksi radikalisme-terorisme secara sporadis terkadang luput dari jangkauan intelijen kepolisian dan TNI saya kira, dapat beperan lebih aktif untuk hal-hal yang mengancam eksitensi keamanan negara. Saya justru sepakat jika persoalan terorisme yang membahayakan negara dapat juga melibatkan TNI dalam hal pemberantasannya, tidak hanya dibebankan hanya kepada kepolisian. Berikanlah porsi yang “seimbang” kepada TNI, agar libido berperang-nya tetap tersalurkan pada tempatnya dan justru memberikan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat. Bukankah saat ini kepolisian juga seringkali “gagal” mengungkap aksi teror, seperti teror atas Novel Baswedan? Disinilah peran intelijen TNI dibutuhkan, karena TNI pasti lebih terlatih dalam hal penangan dan pencegahan bagi keamanan negara.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB