x

Iklan

Subagyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengganti Nama DPR Agar Selamat

Asal kata “dewan” itu dari kata “diwanah” yang artinya “orang-orang” gila atau sebagai nama setan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia mempunyai lembaga tinggi negara bernama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di pemerintahan daerah juga ada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Entah kebetulan atau mungkin karena tradisi permalingan bangsa, kok ya di sepanjang waktu selalu ada para anggota dewan tersebut atau mantan anggota dewan itu yang dipenjara dalam kasus korupsi. Biasanya perkaranya adalah suap atau gratifikasi.

Memang, ketika orang tidak punya kekuasaan apa-apa akan gampang koar-koar antikorupsi alias antimaling. Ya contohnya seperti saya ini, yang tak punya kekuasaan apa-apa, gampang mengolok-olok koruptor. Tapi ya tak punya sumbangan ide bagaimana menciptakan sistem pencegahan korupsi. Namun ketika diberikan jabatan, apa si koar-koar seperti saya ini mampu amanah dalam menjalankan jabatan atau kekuasaannya?

Jadi, belum pantaslah sanjungan dan penghormatan lebih diberikan kepada mereka para aktivis antikorupsi atau aktivis lainnya yang belum memegang jabatan di pemerintahan itu. Tapi tatkala ada pejabat negara yang bener-bener klir di sepanjang karirnya, cocoklah orang seperti dia disanjung-sanjung dan diberikan penghargaan serta dijadikan prasasti. Meskipun sebenarnya menjalankan kejujuran dan amanah hidup itu bukanlah prestasi, tapi memang kewajiban yang selayaknya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tak perlu jauh-jauh kalau soal si koar-koar seperti saya. Ambil contoh para kader atau aktivis partai politik, saat masih menjadi partai oposan nan kasihan, puasa bertahun-tahun, galaknya bukan main. Kalau pemerintah sedang berkuasa menaikkan harga BBM atau listrik, maka para aktivis partai oposan itu berteriak-teriak suaranya memenuhi langit. “Ini rezim dzolim! Penyiksa rakyat!  Nggak cakap! Rezim neolib!” Mereka berteriak sambil berlinang air mata disorot televisi dan menjadi berita di koran-koran.

Tapi begitu menjadi partai penguasa, kerjanya ya menyetujui kenaikan harga BBM dan listrik. “Ini lain ya! Ini bukan kenaikan harga, tapi cuma penyesuaian harga!” Halah…. Belum lagi tender-tender pengadaan barang dan proyek-proyek infrastruktur, yang menurut hasil penyelidikan KPPU, penuh persekongkolan. Ya itu tadi: sebelum punya kekuasaan berteriak-teriak sok moralis. Tapi begitu berkuasa ya mak kluthik.,…..sami mawon. Itulah dunia bul bul.

Tapi tulisan ini tidak akan membahas soal hukum dan politik yang terkait dengan dewan itu. Saya akan membahas tentang asal-usul kata “dewan.” Dari mana asal kata “dewan” dan bagaimana sejarahnya?

Dewan = orang-orang gila?

Saya sangat jarang secara khusus meneliti asal-usul kata-kata yang dipakai sehari-hari. Gampangnya, saya termasuk manusia yang kurang kritis. Seumpama diberi makanan ya tinggal makan, tapi tidak meneliti makanan itu dimasak oleh siapa. Begitu pula dengan berbahasa, ya asal pakai saja. Jika negara ini penuh dengan manusia seperti saya ini, yang cuma asal pakai, tidak kritis dan tak punya ide, maka pantas jika negara ini tidak maju-maju, tapi mundur-mundur. Minimal cuma bisa poco-poco: maju sedikit, jalan ke samping, mundur lagi, dan seterusnya.

Mungkin ada banyak orang seperti saya ini, wawasan dan ilmunya sempit, sehingga kadang saya mengelus dadaku sendiri, kok ada saja para terpelajar yang merasa sedih karena katanya Indonesia ini meninggalkan budaya sendiri dan mulai dirasuki oleh budaya Arab.

Lha padahal Bahasa Melayu sejak sebelum Indonesia merdeka, dan kemudian dijadikan sebagai Bahasa Indonesia setelah Indonesia merdeka, bukannya banyak menyerap kosa kata Bahasa Arab? Contohnya kata majelis, manfaat, musyawarah, adil, adab, rakyat, hikmah, wakil, kuat, sejarah, awal, akhir dan sebagainya. Ada yang meneliti katanya sekitar 2000 sampai 3000 kosa kata Bahasa Arab yang diserap menjadi kosa kata Bahasa Indonesia atau mewarnai perbendaharaan kata Bahasa Indonesia sekitar 10 persen – 15 persen.  

Bukan hanya Indonesia yang terpengaruh dengan budaya Bahasa Arab, tapi juga banyak negara di dunia. Dalam level dunia, Bahasa Arab menyumbang 40 persen kata bahasa di dunia. Sama halnya Bahasa Inggris juga mempengaruhi bahasa di seluruh dunia. Mengapa? Wah itu perlu dibahas tersendiri. Itu terkait sejarah imperium.

Saya baca di media sosial banyak orang galau, mereka bertanya-tanya mengapa kok budaya Arab mulai menggeser budaya asli Indonesia. Mereka melihat banyak orang muslim yang berbaju gamis yang diolok-olokinya sebagai kaum berbaju daster. (Hati-hati ya, nanti akan ada umat agama lain yang tersinggung, karena para pemuka agama lain juga ada yang memakai baju longdress semacam gamis).

Loh, apa benar budaya asli Indonesia tergeser oleh budaya Arab? Tapi saya perhatikan orang-orang yang galau begitu ternyata mereka tidak memakai baju adat daerahnya. Coba lihat di kampus-kampus, apa ada dosen dan mahasiswa Jawa dan Sunda atau Madura yang memakai udeng, kebaya, dan jarit? Atau adakah dosen dan mahasiswa Batak yang memakai kain ulos saat ke kampus? Nggak ada. Payah juga mereka ini. Saya waktu kuliah dulu ya pakai jeans dan kaos oblong serta berjaket. Eropa gitu loh! Kadang diusir oleh dosen dari dalam kelas karena pakai kaos oblong.

Hampir di semua tempat, di kampus atau sekolah, di tempat-tempat kerja, kebanyakan orang memakai baju-baju dan celana gaya-gaya Eropa seperti celana panjang termasuk jeans, kemeja, T-shirt, jas, dasi, dan lain-lain yang tidak menunjukkan pakaian asli adat Indonesia. Mengapa saat mereka sedang berbudaya Eropa kok galau dengan bilang bahwa budaya asli Indonesia tergeser oleh budaya Arab?

Jangan-jangan nanti akan menjadi istilah saling sinis di mana yang satu dikasih nama Bani Daster, yang satunya dikasih nama Bani Serbet? Lha kata “bani” itu sendiri juga dari kata Bahasa Arab juga kan? Makanya tak perlulah saling ledek. Sama saja kan, sama-sama terpengaruh budaya asing. Situ senang yang bagaimana, sini suka yang bagaimana, asalkan sama-sama baik ya silahkan saja. Toh kalian sama-sama mamakai baju-baju adat Indonesia hanya saat karnaval atau upacara tertentu kan?

Wah, pembahasan saya  mblakrak. Saya kembali fokus ke kata “dewan.” Sebenarnya saya hanya menduga bahwa kata “dewan” itu berasal dari kata Arab, yakni “diwan.” Kata “diwan” inipun asalnya dari kata dalam Bahasa Parsi (Persia), yakni “diwanah” yang kemudian mengalami perubahan menjadi “diwan.”

Saya memperoleh keterangan itu dari buku terjemahan karya Ibnu Kholdun yang berjudul Mukaddimah yang terkenal itu. Ibnu Kholdun menuliskan kisah sejarah asal kata “diwan” itu. Suatu saat Kaisar Persia melihat para pegawai pemerintahannya mondar-mandir berbicara sendiri, seolah-olah mereka bicara dengan orang lain. Melihat hal yang aneh itu maka Sang Kaisar berkata, “Diwanah,” yang artinya adalah “orang-orang gila.” Tempat mengkal para pegawai itupun dinamakan Diwanah.

Dalam perkembangannya kata diwanah itu diucapkan secara lebih singkat dan mudah, yakni menjadi “diwan.” Menurut Ibnu Kholdun, berdasarkan sumber lainnya kata diwanah itu berasal dari nama setan dalam Bahasa Persia.

Singkatnya, masih menurut Ibnu Kholdun, kata “diwan” itu selanjutnya di masa pemerintahan Kholifah Umar bin Khotob dipergunakan sebagai istilah departemen atau kementerian yang dibentuknya. Kholifah inilah yang kali pertama menerapkan sistem departemen dalam pemerintahannya. Dengan demikian kata “diwan” pada waktu itu menjadi kosa kata Bahasa Arab yang diartikan sebagai “departemen.”

Kholifah Umar bin Khotob mencontoh pembentukan diwan (departemen) itu dari pemerintahan yang ada di Syam pada waktu itu yang dilihat oleh Khalid bin Alwalid, sehingga Khalid memberi saran kepada Kholifah Umar agar membentuk diwan atau departemen untuk mengurus pemerintahan. Jadi, dalam kisah itu jelas bahwa Kholifah Umar pun terpengaruh oleh budaya pemerintahan asing (luar Madinah), yakni budaya pemerintahan Syam. Bahkan kata “diwan” yang diserap ke dalam bahasa Arab itu berasal dari kata bahasa asing, yakni Bahasa Persia.

Nah, setelah saya membaca itu maka saya memperkirakan bahwa kata “dewan” yang ada dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “diwan” dari Bahasa Arab, yang asalnya dari kata “diwanah” dalam Bahasa Persia, yang artinya adalah “orang-orang gila” atau merupakan nama setan. Apakah memang benar demikian? Mungkin ada di antara Anda yang meluruskan tulisan ini, saya akan sangat berterima kasih jika ternyata analisis saya ini salah dan patah. Mari bergotong-royong mencari kebenaran!

Andainya memang kata “dewan” memang benar dari kata “diwanah” yang artinya adalah “orang-orang gila” atau nama setan, apa perlu melakukan amandemen UUD 1945 agar nama Dewan Perwakilan Rakyat diganti dengan istilah lain, misalnya menjadi Badan Perwakilan Rakyat (BPR) seperti yang pernah diusulkan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945? Kecuali kalau Anda membantah, “Janganlah! Badan saja kalau tak pakai baju ya porno jadinya!” Ya sudahlah.

Karena kalau sejarahnya semikian, jika sejarah asal kata “dewan” itu dari kata “diwanah” yang artinya “orang-orang” gila atau sebagai nama setan, ya jangan sampai demokrasi kita ini berprinsip: dari rakyat, oleh rakyat, untuk setan atau orang-orang gila. Katanya nama itu harus yang baik, agar selamat, haha.... Atau bagaimana enaknya? 

Ikuti tulisan menarik Subagyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB