x

Iklan

Nia S Amira

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjadi Kartini Tidak Harus pada Bulan April

Kartini abad ke-21 harus lebih maju dalam berpikir dan bekerja

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hampir seluruh siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah di Indonesia tahu siapa pahlawan emansipasi perempuan yang bernama R.A.Kartini. Demikian juga para siswa-siswi SD Sumbangsih Jakarta Selatan yang selalu antusias merayakan Hari Kartini setiap tahunnya, untuk mengenang perjuangan perempuan bangsawan Jawa ini terhadap ketidakadilan yang diterima oleh perempuan di Indonesia, terutama di tanah Jawa. Kartini dilahirkan pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah.

R.M. Sosroningrat ayah Kartini, menjadi Bupati Jepara saat Kartini dilahirkan, sementara ibunya, M.A. Ngasirah adalah putri seorang Kyai di sebuah desa kecil di kota Jepara. Kartini merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara.

Ibunda R.A. Kartini berasal dari keluarga sederhana, dan karena peraturan pemerintah Belanda saat itu mengharuskan seorang bupati menikah dengan seorang wanita keturunan bangsawan, karenanya ayahanda R.A. Kartini menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan yang merupakan keturunan langsung Raja Madura.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai keturunan bangsawan, Kartini berhak mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ayahnya menyekolahkan Kartini kecil di ELS (Europese Lagere School). Di sekolah ini, Kartini belajar bahasa Belanda dan pelajaran lainnya sampai ia berusia 12 tahun, setalah itu Kartini harus tinggal di rumah, menunggu lamaran untuk menikah yang biasanya akan diatur oleh sang ayah.

Meski pun tinggal di rumah, bukan berarti Kartini tidak melakukan apa pun. Kartini sesungguhnya sangat aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Dari sinilah, Kartini menjadi tertarik dengan pemikiran perempuan Eropa yang ia baca dari koran-koran, majalah, dan buku-buku yang dikirim dari Belanda. Di usia 20 tahun, Kartini telah membaca banyak buku seperti buku berjudul “De Stille Kraacht” karya Louis Coperus, demikian juga buku karya Van Eeden, Augusta de Witt dan berbagai jenis novel bergaya feminisme, yang kesemuanya ditulis dalam bahasa Belanda, dan ia juga membaca buku Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli.

Ketertarikannya dalam membaca membawanya kepada pengetahuan yang luas tentang ilmu alam dan kebudayaan. R.A. Kartini menaruh perhatian yang khusus pada isu-isu emansipasi perempuan setelah melihat perbandingan antara perempuan Eropa dan perempuan pribumi. Hingga pada suatu hari, Kartini mulai berpikir untuk mempromosikan perempuan pribumi dari status sosial mereka yang kala itu masih berada jauh di bawah. Menurut Kartini, Perempuan Indonesia harus mendapatkan kesetaraan, kebebasan, otonomi serta hukum kesetaraan.

Kepada kedua sahabatnya di negeri Belanda yang bernama, Rosa Abendanon, dan Stella Zeehandelaar, Kartini menulis berbagai kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh perempuan pribumi, terutama perempuan Jawa yang banyak menghadapi tantangan dalam masalah budaya. Dalam surat-surat yang dikirimkan kepada kedua sahabatnya itu, Kartini menjelaskan penderitaan yang dialami perempuan Jawa yang harus dikucilkan, tidak bebas untuk bersekolah, dan keberadaan adat-istiadat yang menghalangi kebebasan perempuan.

Kartini ingin melihat perempuan pribumi dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ide baru Kartini tentang emansipasi atau kesetaraan hak bagi perempuan pribumi dianggap sebagai sesuatu yang baru yang dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Demikian juga tulisan Kartini mengandung arti Ketuhanan, Kebijaksanaan, Kemanusiaan, Nasionalisme serta Keindahan.

Ayah Kartini mengijinkannya menjadi guru sesuai dengan cita-citanya namun ayahandanya juga yang tidak memperbolehkannya untuk melanjutkan pendidikan di Batavia atau di negeri Belanda. Cita-citanya pun kandas karena harus menikah di usia 24 tahun dengan seorang Bupati Rembang, laki-laki bangsawan yang sudah memiliki 3 orang istri.

Bupati Rembang mengerti apa yang diinginkan oleh Kartini dan memberikan kebebasan kepada Kartini untuk mendirikan Sekolah Perempuan Pertama yang berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka.

Kartini wafat pada tanggal 17 September 1904 di usia yang sangat muda yaitu 24 tahun, hanya empat hari setelah melahirkan anak laki-laki satu-satunya dari pernikahannya dengan Bupati Rembang. Berkat perjuangan yang dilakukan oleh Kartini, pada tahun 1912 didirikanlah Sekolah Perempuan pertama oleh Yayasan Kartini yang dimiliki oleh keluarga Van Deventer, sosok yang dikenal dalam bidang Etika Politik di kota Semarang pada masa kolonial Belanda, yang kemudian meluas hingga ke kota-kota di Indonesia seperti di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.

Setelah wafatnya R.A. Kartini, J.H. Abendanon yang saat itu menjadi Mentri Kebudayaan & Agama di Hindia Belanda (Indonesia) mulai mengumpulkan surat-surat yang ditulis oleh R.A. Kartini ketika ia masih berkorespondensi dengan teman-temannya di Eropa. J.H. Abendanon mengumpulkannya dalam sebuah buku yang diberijudul 'Door Duisternis tot Licht' yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1911 dengan judul 'Habis Gelap Terbitlah Terang'.  

Buku tersebut telah dicetak lima kali. Apa yang menjadi buah pikiran dan ditulis Kartini telah menarik perhatian masyarakat, terutama masyarakat Belanda, dan terlebih lagi penulisnya adalah seorang perempuan pribumi. Buah pikiran Kartini telah mengubah cara berpikir masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi dan tulisan-tulisan Kartini menjadi inspirasi tokoh-tokoh perjuangan bangsa, salah satunya adalah W.R. Soepratman yang kemudian menciptakan sebuah lagu berjudul "Ibu Kita Kartini". Surat-surat yang ditulis oleh Kartini baru muncul pada buku edisi kelima.

Presiden Soekarno pun telah mengeluarkan instruksi dalam bentuk Dekrit Presiden Republik Indonesia No.108/1964, tertanggal 2 Mei, 1964, yang berisi penegasan bagi R.A. Kartini sebagai pahlawan Nasional Kemerdekaan. Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, sebagai Hari Kartini dan dirayakan hingga hari ini.

Ada banyak cara untuk menjadi seperti sosok Ibu Kartini di era moderen ini dan hal itu tidak harus pada tanggal 21 April saja. Kartini abad ke-21 harus lebih maju dalam berpikir dan bekerja karena Kartini sejati adalah seorang perempuan Indonesia yang dapat menjadi pionir bagi bangsanya di setiap bidang yang dilakukannya dan dari mana pun ia berasal.

Aku mendengar suara anak-anak kecil menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini” dari atas panggung di sekolah mereka, SD Sumbangsih Jakarta. Mereka berpakaian tradisional dari berbagai propinsi yang ada di Indonesia dan merasa bangga mendedikasikan lagu tersebut untuk R.A. Kartini, dan Sinta Novanana, salah seorang dari Komite orang-tua murid terlihat sumringah menyaksikan penampilan murid-murid sekolah dasar Sumbangsih yang telah berhasil memukau para penonton pada hari itu.

Oleh: Nia S. Amira

Penulis, jurnalis dan penyair dari Indonesia. Ia menulis tentang budaya, hubungan internasional, multikulturalisme dan studi keagamaan. Artikelnya telah dipublikasikan di lebih dari 30 surat kabar dan majalah di Eropa, Asia, dan Amerika Serikat.

Ikuti tulisan menarik Nia S Amira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB