x

Sejumlah Pekerja Rumah Tangga (PRT) dari berbagai elemen menjahit serbet raksasa dalam unjuk rasa didepan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta, 24 Maret 2015. Sejumlah PRT tersebut membuat serbet raksasa sebesar 9x10 meter. TEMPO/Dh

Iklan

JARAK STOP PEKERJA ANAK

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pekerja Rumah Tangga Harus Melek Informasi (Kekinian)

PRT pun ikut bingung dengan sistem pendaftaran siswa baru

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Libur sekolah hampir berakhir, saatnya bersiap-siap memasuki tahun ajaran baru. Semua orang tua pasti ingin anak-anaknya bersekolah dengan lancar, tidak ada hambatan untuk mengikuti pembelajaran. Dari antara orang tua itu, PRT yang kerja di rumah juga mulai gelisah, gak bisa tidur (katanya), berdoa terus supaya anak pertamanya masuk di sekolah pilihan anaknya. “Lah.....kok jadi gak bisa tidur sih”, kataku sambil terheran-heran.

Oooooo......inilah sebagian dampak sistem zonasi yang dimaksud pemberitaan di radio tadi pagi. Aku juga gak mudeng* maksud sistem baru ini, setelah tahun lalu aku ikut komentar dan tidak setuju dengan ide FDSnya pak menteri, eh, tahun ini rupanya muncul sistem Zonasi (yang juga diluncurkan mepet banget dengan waktu pendaftaran). Aku hanya dengar-dengar saja karena memang belum saatnya pusing, anakku baru naik kelas 6, nanti saja cari infonya menjelang kelulusan, begitu pikirku dalam hati. Tapi rupanya sistem zonasi ini membuat orang-orang terdekatku juga mengalaminya. Ponakan, yang berharap masuk di SMA Negeri **, akhirnya harus puas dengan masuk di sekolah yang lain karena disesuaikan dengan zonasi (padahal letak sekolahnya lebih jauh). Katanya, begitulah, tidak semua harapan bisa terwujud. Ya, bagusnya aku mendalami ceritanya supaya tahu cara menghadapinya tahun ajaran depan.

Mba Sumi, sudah beberapa kali ijin tidak masuk karena mengurus pendaftaran SD anaknya itu. Akupun membolehkan karena ini salah satu kepentingan anak yang tidak bisa ditunda, Hak Anak untuk pendidikan kan juga harus diwujudkan. Tapi rupanya, dia sendiri kebingungan manakala dalam pendaftaran itu ada beberapa hal yang harus dilakukan. Salah satunya “tes” masuk, yang katanya juga menentukan anaknya bisa sekolah di tempat itu atau tidak. Menurut pengalaman anak temannya, tahun lalu, diberlakukan juga “tes” untuk anak-anak yang mau masuk SD. Saya langsung meluruskan istilah “tes” itu. Penting mbak Sumi dapat informasi bahwa hal itu bukan tes, karena tes di SD itu tidak dibenarkan. Piye tho, masa anak harus lancar tulis menulisnya, berhitungnya sebelum dia bersekolah? Tapi, memang begitu, anak temannya yang tahun lalu di ”tes” dan ternyata tidak lancar calistungnya.....terpental dari SD tersebut dan harus mencari sekolah lainnya. Pengalaman nyata lho, bukan khayalan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nah, tadi pagi, PRTku sudah berseri-seri, rupanya anaknya lolos, masuk sekolah idamannya. Cie...cie...idaman. Ya, anaknya sudah kepengen sekolah disitu sejak dia masih TK, dan yang menggembirakan, hasil “tes”nya bisa dilakukan, disuruh menulis nama panjangnya, nama orang tua, membaca 4 doa dll. Wah, ini tho, tes yang dimaksud? Lha, apa kalau anak tidak bisa melakukan sebagian yang diminta, apa juga tidak diterima? Saya benar-benar tidak bisa mengerti kebijakan ini. Untuk saya, yang dimaksud tes itu sebenarnya adalah pemetaan mengenai kemampuan anak, untuk melihat perkembangan anak saat ini. Bukan sebagai tolak ukur, dia diterima atau tidak. Saya sendiri berusaha memahami, mengapa pemetaan kemampuan itu menjadi “momok” bagi banyak orang tua sehingga tidak jarang memaksa anak untuk segera bisa calistung.

Kepalaku mendadak bingung, piye nasib mbak PRT lain yang saat ini bekerja dengan sistem live in** dan membawa anaknya? Kebetulan, temanku sedang berencana untuk mencari PRT menginap karena dirinya menerima tawaran kerja lagi. Salah satu kandidat PRTnya akan membawa anak dan tepat pula tahun ajaran ini masuk SD. Nah, ikut bingung deh. Kalau ibunya bekerja diluar alamat Kartu Keluarga, pasti sulit mencari sekolah untuk anaknya.

Sistem zonasi yang kubaca dari internet memang menyebutkan sejumlah peraturan penerimaan, dimana ada sekian persen untuk penduduk dengan Kartu Keluarga/ identitas diluar wilayah tersebut bisa mendaftarkan (perlu dibaca ulang deh permendikbud ini). Jangankan PRT, temanku yang tinggal di Jakarta saja, (terpaksa) membawa anaknya ke Bandung, mengikuti alamat pada KK untuk mencari sekolah terdekat disana. Tak ditemukan cara untuk menyekolahkan di Jakarta dengan kebijakan seperti ini.

Weh....kebingungan ini membuat aku harus berpikir, bagaimana caranya supaya informasi seperti ini bisa dicerna oleh mba-mba PRT. Maklum saja, sebagian PRT yang kukenal,  tidak terlalu lancar membaca, atau memahami peraturan yang njlimet***. Mbak Sumi saja termasuk buta huruf.....dia mengandalkan informasi lisan dan pengalaman dari orang lain. Wong, kalau sudah urusan membaca, dia selalu minta tolong dibacakan supaya mengerti.

Kisah Mbak Sumi dan PRT-PRT lainnya, bisa menjadi kepedulian kita bersama, bahwa mereka membutuhkan ruang untuk mendapatkan informasi terkini yang tepat, bukan hoax, bukan gosip, untuk kepentingan anak/ keluarganya, terlebih untuk dirinya sendiri. Apalagi, ditambah sebagian dari mereka tidak mempunyai kemampuan baca tulis yang memadai, sehingga perlu sarana belajar lain. Sebuah gerakan menginisiasi Sekolah PRT Komunitas, telah dimulai di beberapa desa di wilayah Kabupaten dan Kota Malang. Melalui Sekolah PRT Komunitas, sejumlah PRT mendapatkan informasi tentang banyak hal, mereka diperkenalkan tentang pengetahuan kerja dan informasi untuk pengembangan dirinya. Mau tidak mau, para PRT harus belajar, untuk kemajuan kehidupan mereka. Dengan belajar, PRT tidak mudah tertipu informasi yang tidak benar, bisa menimbang pilihan-pilihan yang terbaik untuk diri dan keluarganya.

Jadi, kalau masih ada yang komentar, “buat apa PRT sekolah?”, PRT harus berani menjawab, untuk kemajuan kehidupan PRT. Begitu ya.....

Selamat mengikuti sekolah PRT di Malang Raya, kalian berhak menentukan nasib dan meraih kehidupan yang layak!

 

Malang, 10 Juli 2017

 

Curhatan dari Mba Mi, seorang PRT yang tidak bisa baca tulis, tapi paham akan kepentingan terbaik anaknya. Dia berniat menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang paling tinggi.

 

  *mudeng: mengerti/ paham

**tinggal di rumah pemberi kerja)

***rumit

Ikuti tulisan menarik JARAK STOP PEKERJA ANAK lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB