x

Iklan

Pakde Djoko

Seni Budaya, ruang baca, Essay, buku
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manusia-manusia Depresi

Manusia sekarang di mata depresian seperti dia adalah manusia – manusia yang kenyang mengunyah mimpi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terkutuk waktu yang  memberikan menit untuk bertengkar. Berteriak-teriak  seperti tidak ada manusia yang mendengar. Begitu kalap segenap emosimu hingga erangan kasar dan makian jorok tidak kau pedulikan. Kau hanya peduli untuk memaki, tidak sadar bahwa hidupmu hanya untuk menyiksa bathin dia. Lihat muka kusut  dan seringai mulutnya. Kau tahu persis bahwa  wajah dia tengah merasakan beban berat.Kau tetap saja teriak- teriak menuntut hak dan menginginkan perhatian lebih.

“Setan alas, anjing laknat, biadab.”dengar khan serapahnya. Ia tengah tertekan, depresi, stress berat. Kenapa masih kau tekan dengan masalah-masalah memberondong yang sengaja kau lontarkan untuk menambah  jiwanya semakin labil. Manusia macam apa kau,  egois!”

Jika aku terus berteriak dan menyudutkan dia dengan tuduhan-tuduhan tidak berdasar, selangkah lagi ia akan masuk dalam bilangan orang gila di kota ini.  Dia sudah dalam katub  emosi  tingkat dewa. Dia sudah  dalam penderitaan stadium  empat, sebentar ledakan emosinya akan membakar  logikanya, hingga akhirnya ia tidak tahu apa-apa kecuali bengong  dan telanjang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dunia akan terbalik- balik, yang waras  terlihat gila, yang gila terlihat waras, yang telanjang terlihat  berbaju ketat sedangkan yang suci terlihat penuh noda.Dia akhirnya hanya menjadi manusia dengan  sejuta makian yang terhampar di sepanjang jalan.  Tahukah masa – masa depresi yang dia lewati. Hidup bersama-sama orang tersayang, tapi selalu saja mengungkit aib, noda hingga dunianya selalu saja terlihat  nista.

Ia telah tertelikung oleh orang orang yang sayang tetapi salah mengerti dan  tidak tahu bagaimanna memahami perasaan  mereka yang tengah depresi. Hidup di tengah orang-orang pintar, yang pandai berkata-kata, pandai memaki, dan pandai membalikkan kata seperti hidup dengan hakim dan jaksa yang siap mengungkit  kesalahan yang sebetulnya sudah ia lupakan. Ia kemudian hidup dalam bayangan dosa, bayangan  penderitaan yang tidak bernah berhenti mendera, tekanan jiwanya terus membakar, simpul, simpul kewarasannya hingga tidak mengerti lagi mana yang waras dan mana yang gila.

Anjing-anjing yang terus “njegog” selalu meneror, sebelum sempat sadar ia sudah masuk dalam perangkap  dan akhirnya dunia sepi, sunyi,  menjadi  teman keseharian.  Dia  menjadi manusia pemurung, kadang tertawa, kadang menangis, tersedu kemudian berteriak-teriak, sampai urat leher hampir putus. Kemudian  dia tanpa sadar bisa diam dalam kegelapan,  tepekur, dan dengan sepenuh emosi melafalkan doa  yang ia sendiri tidak menyadarinya.

Aku, kenapa bisa mengerti  sampai sedetil itu mengartikan  sorot mata dia. Kenapa seperti ada  komunikasi terjalin antara aku dan dia. Apakah aku pernah merasakan derita dia yang masuk dalam tahap halusinasi, masa akhir depresi untuk melangkah ke dunia lelah, di mana  tidak ada kesadaran sama sekali dia pada keadaan yang tengah ia alami. Ia sudah masuk dalam gangguan jiwa akut yang susah disembuhkan. Masa depresinya sudah lewat, yang ada tinggal sebuah  alam seperti mimpi, seperti  ruang hampa, seperti, tersangkut rasa sunyi dan akhirnya sebuah dunia  menjebaknya. Dunia yang  lahir dari ketidaksinkronan, otak dan kesadaran, otak dia hanya dipenuhi beberapa kata yang selalu terucap bagai sebuah mantra. Dan meskipun  telanjang ia seperti berbaju raja nan megah yakin tidak akan terlihat oleh manusia-manusia  waras tapi sebenarnya tengah  dalam perjalanan menuju dunia gila.

 

Manusia sekarang di mata depresian seperti dia  adalah manusia – manusia yang kenyang  mengunyah mimpi. Kewarasan manusia seperti menggenggam  kata-kata penuh ejekan. Depresian memandang manusia seperti butir-butir  pasir,  debu-debu  yang bisa muncul tiba-tiba menampar muka serta memagut  kesadarannya. Tiba-tiba ia seperti orang bingung, linglung dan murka.

Butiran-butiran debu itu menghardiknya mengiringnya dalam letupan- letupan emosi hingga akhirnya membuat dia seperti terdampar dalam perasaan penuh kesedihan, atau tiba-tiba datang  kesukaan hingga dia akhirnya terbahak-bahak.

Lalu apakah obat penenang bisa menghentikan pergerakan badannya, apakah kuat menahan tenaga besar yang membuncah dan melipatgandakan tenaga. Ia adalah  manusia yang tengah  jatuh dalam  kegetiran. Dan kegetiran hidup itu menjadi tidak berarti lagi. Sebab  ia tidak sadar dirinya siapa.

Dia. Apakah juga para politisi yang tengah mabuk kuasa yang tidak  tahu  benar menurut hati nurani atau benar karena settingan.  Benar karena kepentingan atau benar karena  keterpaksaan.  Sekarang banyak manusia menjadi gila , terjebak dalam  arus massa yang terlalu mengagungkan agama. Agama menjadi mitos, menjadi  sebuah doktrin  radikal untuk  menyingkirkan keberbedaan. Salah di mata agama akan berbuah  petaka,  manusia akhirnya tergiring dalam  benar salah menurut  agama yang dianutnya. Padahal setiap manusia  dilahirkan berbeda, tergiring dalam pengalaman hidup  berbeda dan manusia mesti sadar bahwa perbedaan itu melahirkan keragaman, harmoni dan saling menyempurnakan.

Kegilaan lahir  ketika manusia tidak lagi peduli bahwa setiap orang mempunyai pikiran berbeda. Jika setiap orang memaksa diri untuk  sama,  maka akan muncul  perdebatan tidak berujung, saling  mencakar, saling  memagut, saling  mencela, saling melukai, entah melukai jiwa, bathin maupun phisik.

Depresian lahir dari manusia – manusia  penuh kedengkian, manusia-manusia obsesif, manusia – manusia penyuka kesempurnaan, manusia yang selalu memaksakan diri untuk diperhatikan dan harus mendapat perhatian. Manusia depresipun lahir dari pendamping  manusia yang ingin  selalu terlihat sempurna, yang tidak suka  hidup dalam  kesalahan yang ingin selalu mendamba perhatian dan akan emosi jika tidak mendapat perhatian secukupnya. Depresi datang  ketika melihat orang selalu marah-marah tanpa ada ujungpangkal.

sumbergambar:123rf.com

Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler