Terkutuk waktu yang memberikan menit untuk bertengkar. Berteriak-teriak seperti tidak ada manusia yang mendengar. Begitu kalap segenap emosimu hingga erangan kasar dan makian jorok tidak kau pedulikan. Kau hanya peduli untuk memaki, tidak sadar bahwa hidupmu hanya untuk menyiksa bathin dia. Lihat muka kusut dan seringai mulutnya. Kau tahu persis bahwa wajah dia tengah merasakan beban berat.Kau tetap saja teriak- teriak menuntut hak dan menginginkan perhatian lebih.
“Setan alas, anjing laknat, biadab.”dengar khan serapahnya. Ia tengah tertekan, depresi, stress berat. Kenapa masih kau tekan dengan masalah-masalah memberondong yang sengaja kau lontarkan untuk menambah jiwanya semakin labil. Manusia macam apa kau, egois!”
Jika aku terus berteriak dan menyudutkan dia dengan tuduhan-tuduhan tidak berdasar, selangkah lagi ia akan masuk dalam bilangan orang gila di kota ini. Dia sudah dalam katub emosi tingkat dewa. Dia sudah dalam penderitaan stadium empat, sebentar ledakan emosinya akan membakar logikanya, hingga akhirnya ia tidak tahu apa-apa kecuali bengong dan telanjang.
Dunia akan terbalik- balik, yang waras terlihat gila, yang gila terlihat waras, yang telanjang terlihat berbaju ketat sedangkan yang suci terlihat penuh noda.Dia akhirnya hanya menjadi manusia dengan sejuta makian yang terhampar di sepanjang jalan. Tahukah masa – masa depresi yang dia lewati. Hidup bersama-sama orang tersayang, tapi selalu saja mengungkit aib, noda hingga dunianya selalu saja terlihat nista.
Ia telah tertelikung oleh orang orang yang sayang tetapi salah mengerti dan tidak tahu bagaimanna memahami perasaan mereka yang tengah depresi. Hidup di tengah orang-orang pintar, yang pandai berkata-kata, pandai memaki, dan pandai membalikkan kata seperti hidup dengan hakim dan jaksa yang siap mengungkit kesalahan yang sebetulnya sudah ia lupakan. Ia kemudian hidup dalam bayangan dosa, bayangan penderitaan yang tidak bernah berhenti mendera, tekanan jiwanya terus membakar, simpul, simpul kewarasannya hingga tidak mengerti lagi mana yang waras dan mana yang gila.
Anjing-anjing yang terus “njegog” selalu meneror, sebelum sempat sadar ia sudah masuk dalam perangkap dan akhirnya dunia sepi, sunyi, menjadi teman keseharian. Dia menjadi manusia pemurung, kadang tertawa, kadang menangis, tersedu kemudian berteriak-teriak, sampai urat leher hampir putus. Kemudian dia tanpa sadar bisa diam dalam kegelapan, tepekur, dan dengan sepenuh emosi melafalkan doa yang ia sendiri tidak menyadarinya.
Aku, kenapa bisa mengerti sampai sedetil itu mengartikan sorot mata dia. Kenapa seperti ada komunikasi terjalin antara aku dan dia. Apakah aku pernah merasakan derita dia yang masuk dalam tahap halusinasi, masa akhir depresi untuk melangkah ke dunia lelah, di mana tidak ada kesadaran sama sekali dia pada keadaan yang tengah ia alami. Ia sudah masuk dalam gangguan jiwa akut yang susah disembuhkan. Masa depresinya sudah lewat, yang ada tinggal sebuah alam seperti mimpi, seperti ruang hampa, seperti, tersangkut rasa sunyi dan akhirnya sebuah dunia menjebaknya. Dunia yang lahir dari ketidaksinkronan, otak dan kesadaran, otak dia hanya dipenuhi beberapa kata yang selalu terucap bagai sebuah mantra. Dan meskipun telanjang ia seperti berbaju raja nan megah yakin tidak akan terlihat oleh manusia-manusia waras tapi sebenarnya tengah dalam perjalanan menuju dunia gila.
Manusia sekarang di mata depresian seperti dia adalah manusia – manusia yang kenyang mengunyah mimpi. Kewarasan manusia seperti menggenggam kata-kata penuh ejekan. Depresian memandang manusia seperti butir-butir pasir, debu-debu yang bisa muncul tiba-tiba menampar muka serta memagut kesadarannya. Tiba-tiba ia seperti orang bingung, linglung dan murka.
Butiran-butiran debu itu menghardiknya mengiringnya dalam letupan- letupan emosi hingga akhirnya membuat dia seperti terdampar dalam perasaan penuh kesedihan, atau tiba-tiba datang kesukaan hingga dia akhirnya terbahak-bahak.
Lalu apakah obat penenang bisa menghentikan pergerakan badannya, apakah kuat menahan tenaga besar yang membuncah dan melipatgandakan tenaga. Ia adalah manusia yang tengah jatuh dalam kegetiran. Dan kegetiran hidup itu menjadi tidak berarti lagi. Sebab ia tidak sadar dirinya siapa.
Dia. Apakah juga para politisi yang tengah mabuk kuasa yang tidak tahu benar menurut hati nurani atau benar karena settingan. Benar karena kepentingan atau benar karena keterpaksaan. Sekarang banyak manusia menjadi gila , terjebak dalam arus massa yang terlalu mengagungkan agama. Agama menjadi mitos, menjadi sebuah doktrin radikal untuk menyingkirkan keberbedaan. Salah di mata agama akan berbuah petaka, manusia akhirnya tergiring dalam benar salah menurut agama yang dianutnya. Padahal setiap manusia dilahirkan berbeda, tergiring dalam pengalaman hidup berbeda dan manusia mesti sadar bahwa perbedaan itu melahirkan keragaman, harmoni dan saling menyempurnakan.
Kegilaan lahir ketika manusia tidak lagi peduli bahwa setiap orang mempunyai pikiran berbeda. Jika setiap orang memaksa diri untuk sama, maka akan muncul perdebatan tidak berujung, saling mencakar, saling memagut, saling mencela, saling melukai, entah melukai jiwa, bathin maupun phisik.
Depresian lahir dari manusia – manusia penuh kedengkian, manusia-manusia obsesif, manusia – manusia penyuka kesempurnaan, manusia yang selalu memaksakan diri untuk diperhatikan dan harus mendapat perhatian. Manusia depresipun lahir dari pendamping manusia yang ingin selalu terlihat sempurna, yang tidak suka hidup dalam kesalahan yang ingin selalu mendamba perhatian dan akan emosi jika tidak mendapat perhatian secukupnya. Depresi datang ketika melihat orang selalu marah-marah tanpa ada ujungpangkal.
sumbergambar:123rf.com
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.