Mengapa waktu terasa berjalan lambat ketika kita tengah dicekam ketakutan? Sebaliknya, saat mengikuti ujian, mengapa waktu seakan berjalan cepat—baru 80% soal terpecahkan (itupun belum tentu benar) ketika bel berdering tanda waktu sudah habis.
Dalam bukunya, Why Time Flies: A Mostly Scientific Investigation, Alan Burdick—staf penulis New Yorker, berusaha memahami makna waktu. Burdick memulai penyusurannya dengan pertanyaan ‘bagaimana alam semesta bermula dari ketiadaan dan apa maknanya bagi waktu’. Ini mengingatkan pada perdebatan tahun 1922 antara fisikawan Albert Einstein dan filsuf Henri Bergson yang ikut membentuk pemahaman modern tentang waktu. Bila kita menerima pandangan bahwa alam semesta tidak ada sebelum Dentuman Besar, apa yang ada sebelum alam semesta bermula?
“Waktu adalah sungai yang membawaku serta, tapi akulah sungai; adalah harimau yang menghancurkanku, tapi akulah harimau; adalah api yang menelanku, tapi akulah api,” kata Jorge Luis Borges. Burdick mengeksplorasi aspek-aspek waktu, seperti mengapa waktu memanjang (dilasi) dan mengerut (kontraksi) saat kita senang atau sedih. Apakah waktu bukan fenomena individual, melainkan sosial? Seperti kata Albert Einstein, “Waktu bukanlah eksistensi mandiri yang terpisah dari rangkaian peristiwa yang kita ukur.”
Waktu bermakna dalam relasinya dengan yang lain. Waktu adalah fenomena sosial bukan hanya dalam kaitan bagaimana ia diukur, melainkan bagaimana ia dialami. Di masa kecil, kita memandang waktu berbeda dengan kita di masa dewasa—jadi, apakah waktu bukan sekedar sekian jam, menit, dan detik? Bagaimana kita mengalami sebuah peristiwa, begitulah kita memersepsikan waktu. Lingkungan sosial yang berubah dan lingkungan emosional yang berganti-ganti turut memengaruhi penglihatan kita terhadap waktu—waktu yang kita alami.
“Jadi tidak ada waktu yang unik dan homogen, melainkan pengalaman waktu yang bersifat majemuk,” kata Sylvie Droit-Volet, guru besar psikologi sosial di Universite Clermont Auvergne yang juga peneliti di Laboratoire de Psychologie Sociale et Cognitive, CNRS, Prancis. “Distorsi temporal kita secara langsung merefleksikan cara otak dan tubuh kita beradaptasi terhadap waktu yang majemuk ini.” Droit-Volet mengutip kata-kata Henri Bergson: “Kita mesti mengesampingkan gagasan tentang waktu tunggal, semua yang penting adalah waktu majemuk yang membentuk pengalaman kita.”
Dalam tulisannya, The time-emotion paradox (2009), Droit-Volet dan Sandrine Gil mendiskusikan paradoks waktu-emosi dalam psikologi tentang waktu, bahwa walaupun manusia mampu secara akurat mengestimasi waktu seolah-olah mereka memiliki mekanisme spesifik yang memungkinkan untuk mengukur waktu (misalnya jam internal), namun representasi waktu mereka dengan mudah terdistorsi oleh konteks. Kepekaan waktu (sense of time) kita, kata Droit-Volet dan Gil, bergantung pada konteks intristi, seperti keadaan emosional, dan konteks ekstrinsik, seperti ritme aktivitas orang lain. “Dalam pengaruh emosi, manusia dapat menjadi sangat tidak akurat dalam menilai waktu.” **
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.