x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Reklamasi untuk Siapa ~ Yonvitner

Reklamasi bukanlah agenda utama karena negara belum kekurangan ruang untuk permukiman atau investasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Yonvitner

Dosen Manajemen Sumber Daya Perairan IPB

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tim Harford, dalam The Undercover Economist, meyakinkan kita bahwa reklamasi memiliki dimensi ekonomi yang lebih kuat daripada ekologi. Dalam perspektif ekonomi kapitalis, reklamasi Teluk Jakarta seperti yang terjadi saat ini sah-sah saja. Jika diperlukan, ia akan memakai "topeng" dimensi ekologi agar terlihat penting untuk dilaksanakan. Kondisi ini sama seperti kejadian pada 1930 di Inggris. Kawasan London, yang awalnya merupakan jalur hijau (green belt), direklamasi menjadi pusat properti. Setelah reklamasi, hingga saat ini harga properti di sana menjadi sangat mahal, bahkan mungkin paling mahal di dunia, dan London menjadi kawasan elite dunia.

Tim menjelaskan paling tidak ada tiga alasan mengapa harga ekonomi properti di kawasan reklamasi London tersebut mahal. Pertama, London memiliki lokasi unik dan tempat terbaik dibanding Siberia, Kota Kansas, atau Paris. Kedua, ikon jalur hijau memberi inspirasi bahwa membangun properti di kawasan itu merupakan ide yang ramah lingkungan. Ketiga, kelengkapan properti memberikan nilai tambah bagi pengunjung, tidak hanya sebagai tempat istirahat, tapi juga sebagai tempat belanja dan rekreasi.

Beberapa poin penting yang sering diabaikan dalam pembangunan di daerah jalur hijau adalah kurangnya penerimaan masyarakat terhadap reklamasi. Kegiatan reklamasi sering tidak sesuai dengan regulasi dan cenderung mengedepankan kapitalisasi aset negara. Masyarakat yang menggunakan ruang publik untuk berusaha cenderung dikalahkan oleh kepentingan swasta yang mengambil manfaat pribadi, dengan berbagai dalih.

Tanpa adanya reklamasi, penurunan muka tanah dan intrusi air laut di Jakarta juga bisa ditanggapi dengan mengendalikan pengurukan pantai, menanam kembali ekosistem, dan merancang struktur pantai yang tidak menimbun laut. Struktur pulau reklamasi yang dibangun sekarang tidak akan menyelesaikan persoalan penurunan muka darat Jakarta karena yang terjadi sebenarnya adalah beban di bagian laut mulai berlebih. Solusi membuat pulau dengan cara menimbun laut bukan hal yang tepat dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Mengambil isu "penyelamatan Jakarta dari tenggelam" hanya memelesetkan kepentingan ekonomi kapitalis ke isu ekologi.

Apakah reklamasi ini memang untuk kepentingan strategis nasional, kepentingan ekonomi, ekologi, atau politik pertahanan dan keamanan? Kalau strategis buat negara, pengelolaan reklamasi dapat dilakukan melalui badan usaha milik negara. Kenyataannya, hal itu dilakukan oleh perusahaan swasta yang bakal sulit dikontrol negara. Jika reklamasi strategis untuk negara, negara harus menjadi pemegang aset mayoritas.

Saya yakin kekurangpercayaan terhadap pertimbangan ilmiah sangat dominan dalam masalah ini. Kita tidak melihat kajian yang komprehensif dalam perspektif pengelolaan pesisir terpadu. Publik diberikan "insentif parsial" berupa ide ilmiah yang satu sama lain tidak bisa didudukkan secara bersama. Akibatnya, ia memecah kesahihan ilmiah bahwa satu atau dua pembenaran cukup untuk menjadi alasan bahwa reklamasi itu layak secara ilmiah. Kalau mau jujur, berikan ruang kepada publik untuk menilai dan mengkaji bahwa reklamasi merupakan bagian dari kebutuhan negara dalam jangka panjang.

Reklamasi Teluk Jakarta melanggar Pasal 26A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil. Aturan itu menetapkan bahwa izin reklamasi dapat diberikan pada zona yang belum ada pemanfaatan oleh masyarakat. Reklamasi saat ini justru mengambil zona budi daya kerang hijau dan area tangkap masyarakat. Walaupun reklamasi itu sesuai dengan tata ruang dan tata wilayah, ia belum mengikuti amanat undang-undang.

Selain itu, dalam kondisi negara saat ini, reklamasi bukanlah agenda utama. Negara belum kekurangan ruang untuk permukiman atau investasi. Masih banyak pula pulau kecil yang belum dimanfaatkan-mengapa tidak ini dulu yang dibangun?

Jakarta kini menghadapi sederet permasalahan, dari kemacetan sampai kesenjangan sosial. Penambahan ruang eksklusif hanya akan memperlebar kesenjangan itu. Dari sudut sistem ekologi, perubahan ruang itu justru akan mendorong peningkatan potensi risiko terhadap pengaruh daratan berupa sedimentasi. Makin jelas terlihat bahwa reklamasi bukan untuk kepentingan rakyat kecil, apalagi nelayan.

Reklamasi Teluk Jakarta hanyalah bagian dari upaya kapitalisasi aset negara. Isu Jakarta akan tenggelam pun hanya alasan lain untuk mendapatkan sewa tinggi di lahan reklamasi pada masa mendatang. Kembalikan pola pikir reklamasi Teluk Jakarta kepada ekonomi kerakyatan karena sesungguhnya rakyatlah yang membayar lebih mahal daripada penikmat sewa di pulau reklamasi.

 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler