x

Iklan

firdaus cahyadi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengenang Akrabnya Relasi Islam dan Komunis di Indonesia

Benarkah Islam selalu bermusuhan dengan Komunis di Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari ini, 29 September 2017, sebagian orang yang mengatasnamakan umat Islam kembali menggelar demonstrasi. Ada dua tuntutan yang mereka sampaikan. Pertama, menolak Perppu Pembubaran Ormas. Kedua, menolak kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kedua tuntutan yang sebenarnya saling berlawanan. Lho kok bisa? Keberadaan Perppu Pembubaran Ormas justru bisa digunakan untuk membubarkan organisasi yang mengatasnamakan komunis. Bukan hanya organisasi yang mengatasnamakan Islam. Singkatnya, justru dengan keberadaan Perppu Pembubaran Ormas, PKI akan semakin sulit bangkit.

Harus diakui bahwa kemunculan Perppu Pembubaran Ormas rentan disalahgunakan untuk memberangus kebebasan berserikat. Tapi kenapa menolak Perppu Pembubaran Ormas disandingkan dengan penolakan terhadap kebangkitan PKI? Ini hanya persoalan ketrampilan membingkai isu. Para pengunjukrasa ingin membingkai isu bahwa keberadaan Perppu Pembubaran Ormas digunakan untuk membunuh ormas Islam dan disisi lainnya membangkitkan PKI. Padahal dengan Perppu Pembubaran Ormas itu bisa digunakan untuk membubarkan ormas apapun ideologinya, baik kanan, tengah, kiri, yang dinilai membahayakan negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kenapa harus membinkainya dengan isu kebangkitan PKI? Tentu saja ini digunakan untuk menarik dukungan dengan memanfaatkan sentimen negatif relasi antara Islam dan PKI di masa lalu. Pertanyaan berikutnya, sebegitu buruknya hubungan Islam dan komunis di Indonesia, sehingga selalu dieksploitasi untuk menggalang dukungan kepentingan politik tertentu?

Hubungan Islam dan Komunis di Indonesia selalu digambarkan sebagai hubungan yang selalu bermusuhan. Tonggak permusuhannya hampir selalu dikaitkan dengan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Pemberontakan itu menelan korban mayoritas dari tokoh Islam setempat. Meskipun korbannya juga ada yang dari kalangan nasionalis (Partai Nasionalis Indonesia) pendukung Soekarno-Hatta.

Sedemikian gelapkah relasi antara Islam dan Komunis di Indonesia? Ternyata tidak. Selama ini yang ditonjolkan hanya peristiwa Madiun 1948. Padahal ada beberapa kejadian yang memperlihatkan bahwa relasi Islam dan Komunis tidak segelap yang digambarkan selama ini. 

Berikut beberapa keakraban relasi antara Islam dan Komunis di Indonesia. Adalah KH Ahmad Dahlan, ulama besar pendiri Muhamamadiyah. Ahmad Dahlan dalam perjalanan membesarkan organisasi Aisyah, organisasi sayap perempuan Muhammadiyah, pernah mengundang aktivis perempuan Woro Sastroatmojo untuk berpidato dalam rapat terbuka Aisyah. 

Siapa Woro Sastroatmojo? Mengapa sosok itu begitu penting untuk ditampilkan? Woro Sastroatmojo adalah aktivis Sarekat Islam yang tertarik pada paham komunisme. Dalam novel biografi Ahmad Dahlan, dituliskan bahkan sebelum mengundang Woro Sastroatmojo untuk berpidato di rapat terbuka Aisyah, Ahmad Dahlan sudah mengetahui bahwa aktivis perempuan itu lebih condong pada pemahaman komunis. 

Pidato Woro Sastoatmojo di depan rapat terbuka Aisiyah pun terkait dengan propaganda komunis yang berpihak pada kepentingan rakyat. Ditulis dalam novel biografi Ahmad Dahlan bahwa pidato Woro Sastroatmojo memukau peserta rapat terbuka. Bahkan setelah Woro Sastroatmojo berpidato di depan rapat terbuka Aisiyah, aktivis perempuan Aisyah memiliki keberanian untuk berpidato dan berbicara di depan publik. 

Sosok berikutnya yang dapat menggambarkan pernah akrabnya antara Islam dan Komunisme adalah Darmodiprono, juragan batik asal Kauman, Solo. Selepas naik haji, ia mengubah namanya menjadi Misbach (Nor Hiqmah, 2008). Kenapa Misbach dijuluki Haji Merah? Julukan itu disebabkan Misbach, seorang muslim yang berhaluan komunisme dalam perjuangannya.

Seperti ditulis di Suara Muhammadiyah, di Solo, Misbach mengajak beberapa juragan batik untuk bergabung dalam ‘organisasi’ Sidik Amanah Tableg Vathonah (SATV). Organisasi itu bertujuan memajukan umat Islam dan membela kaum tertindas. Perkumpulan SATV dengan program monumentalnya menerbitkan majalah Medan-Moeslimin pada tahun itu juga. Selang dua tahun berikutnya, perkumpulan ini menerbitkan majalah Islam Bergerak. Kyai Dahlan ditempatkan sebagai kontributor resmi Medan-Moeslimin untuk wilayah Yogyakarta. Sejak tahun 1915-1919, hubungan antara Muhammadiyah dengan SATV sangat harmonis, saling mengisi. Kyai Dahlan sering diundang ke Solo, di rumah Kyai Mochtar Boechari, mengisi pengajian forum SATV.

Sikap revolusioner Haji Merah menyebabkan beliau ditangkap penjajah Belanda waktu itu. Ia pun mengalami hukuman berupa pembuangan. Seperti ditulis Mu’arif, pemerhati sejarah Muhammadiyah, di pembuangan Haji Misbach berkorespondensi dengan Haji Muhammad Abu Kasim, seorang Muslim keturunan Tionghoa. Dalam korespondensi itu muncul gagasan mendirikan Muhammadiyah di Ambon. Akhirnya, pada sekitar tahun 1930-an, gagasan untuk mendirikan Muhammadiyah di Ambon berhasil terwujud.

Keberadaan Muhammadiyah di Ambon tentu tidak bisa dilepaskan dengan gagasan Haji Merah. Meskipun kemudian selama era Orde Baru, sosok Haji Merah ini tidak dimasukan dalam jajaran tokoh muslim lainnya.

Hanya dua tokoh besar itu? Ternyata tidak. Tentu kita pernah mengenal ulama besar Islam yang sering kita kenal dengan Buya Hamka. Ulama besar itu ternyata pernah menuliskan kata pengantar untuk buku yang berjudul, ‘Islam Dalam Tinjauan Madilog” karya Tan Malaka. Siapa Tan Malaka? 

Tidak bisa dipungkiri bahwa Tan Malaka adalah sosok yang pernah memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dan bahkan menjabat sebagai wakil Komintern (Komunis internasional) untuk wilayah Asia Tenggara. Meskipun akhirnya Tan Malaka keluar dari partai setelah pemberontakan PKI terhadap pemerintah Belanda gagal pada 1926.

Jika relasi antara Islam dan Komunis di Indonesia digambarkan selalu gelap dan penuh dengan permusuhan kenapa sosok seperti Ahmad Dahlan pernah mengundang aktivis perempuan yang berhaluan komunis untuk berpidato di rapat Aisyiah? Mengapa pula Haji Misbach, justru menggagas pendirian Muhammadiyah di Ambon? Mengapa pula ulama besar Buya Hamka mau memberikan kata pengantar pada buku yang ditulis oleh Tan Malaka, sosok yang pernah menjadi ketua PKI dan wakil komunis internasional untuk Asia Tenggara?

Marilah membaca kembali sejarah dengan kepala dingin. Melihat lembar demi lembar sejarah dengan akal sehat. Sehingga kita tidak larut dalam kebencian yang memang ditebarkan agar rakyat menjadi objek adu domba untuk menaikan posisi tawar kepentingan elite politik. Ingatlah, berbagai konflik elite yang berujung pada pertumpahan darah di negeri ini diawali dengan konflik segelintir elite yang ingin menyeret rakyat kedalam konflik mereka. Celakanya, konflik mereka tidak ada kaitannya dengan persoalan yang dihadapi rakyat dalam kesehariannya. Sebuah politik yang jauh dan tercerabut dari akar persoalan rakyat.

Sumber foto: http://jejakislam.net/kupasan-islam-dalam-tinjauan-madilog-tan-malaka/

 

 

Ikuti tulisan menarik firdaus cahyadi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler