x

Ilustrasi perempuan sedang memilih berbagai jenis tabir surya. shutterstock.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berpikir Negatif vs Positif

Apakah berpikir negatif selalu bermakna buruk? Bob Knight menunjukkan sisi baiknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Manakah yang lebih ampuh: berpikir positif atau berpikir negatif? Keduanya terkesan bagi dua kutub yang berlawanan arah dengan letak yang berjarak jauh satu sama lain. Terkesan pula bahwa kutub positif dan kutub negatif tak bisa bertemu, sebab akan melepaskan letupan keras. Seakan pula keduanya tidak dapat beririsan. Begitukah?

Dalam bukunya dengan judul yang menggoda, The Power of Negative Thinking, Bob Knight mengusik keyakinan banyak orang tentang kekuatan berpikir positif. Banyak orang berbicara ihwal pentingnya berpikir positif sebagai satu-satunya ruh yang mampu memberi dorongan pada diri kita untuk melangkah maju, terlebih lagi saat kita terjatuh. Jika kita ragu, sahabat menasihati, “Berpikir positiflah.” Bila kita akan bertanding melawan tim sepak bola yang difavoritkan banyak penonton, pelatih berusaha memompa semangat: “Sebelum peluit tanda pertandingan berakhir, apapun bisa terjadi. Jangan cemas.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bob Knight pernah menjalani profesi yang mengasyikkan, pelatih bola basket di AS. Sebagai pelatih, ia punya kewenangan untuk menentukan siapa pemain yang akan ia turunkan dalam satu pertandingan. Ia pula yang mengatur strategi bertanding. Ia menempatkan si A di posisi menyerang, B di posisi bertahan. Pengalamannya yang panjang ini membuahkan kearifan yang ia coba tarik ke dunia yang lebih luas dari sekedar lapangan basket, melalui The Power of Negative Thinking.

Dari lapangan basket itulah, Knight memetik pelajaran dan kearifan. Dalam pengantar bukunya, ia mengingatkan bahwa kesadaran kita akan optimisme seringkali begitu berlebihan. Apa yang ia maksudkan? “Pemikir positif pada umumnya merasa bahwa jalannya akan benar dan tidak bakal salah apabila ia meyakininya,” tulis Knight. Sebaliknya, menurut Knight, “Pemikir negatif tidak meyakini hal seperti itu.”

Bersama pemain yang belum berpengalaman, Knight datang ke lapangan basket dengan pundak terbebani oleh bayang-bayang kekalahan. “Bagaimana mungkin tim saya dapat mengalahkan lawan tanding yang lebih berpengalaman?” pikir Knight. Sepanjang musim, ia menyongsong setiap pertandingan dengan sikap waspada. Salah satu nasihatnya kepada para pemain ialah “mengabaikan atau tidak melihat potensi kesalahan akan mendatangkan kekalahan”.

Sudut pandang yang ditawarkan Knight bertolak belakang dengan sudut pandang yang diusung Norman Vincent Peale. Dalam bukunya yang terbit beberapa dekade yang lampau, The Power of Positive Thinking, Peale mengatakan apabila seseorang berpikir positif, ia akan berhasil. Perspektif optimistis ini mewarnai sejarah Amerika, dan kemudian memengaruhi belahan bumi lainnya, dalam waktu lama.

Apa yang membuat seseorang lengah dengan selalu berpikir positif, menurut Tali Sharot dalam The Optimism Bias, ialah karena memperkirakan secara berlebihan rasio keberhasilan mereka. Sebagian besar manajer beranggapan bahwa karyawan yang paling berbakat pasti akan berhasil. Sharot, sebagaimana Knight, memilih untuk bersikap skeptis yang membuat mereka waspada. Keduanya bukan menyarankan untuk menyerah, melainkan memikirkan skenario buruk dan menemukan cara untuk mengatasinya.

Sudut pandang negatif sebenarnya sudah diajarkan di masa Yunani kuno. Menurut sebagian filsuf masa itu, kadang-kadang cara terbaik untuk menghadapi masa depan yang tidak pasti ialah fokus bukan pada skenario terbaik, tetapi pada skenario terburuk.

Begitulah, alih-alih ‘berharap’ memenangkan sebuah pertandingan bola basket, Knight justru mempersiapkan pemainnya untuk bermain dengan disiplin tinggi. Di ruang ganti pakaian, ia memasang tulisan berukuran besar: “Kemenangan menyukai tim dengan kesalahan paling sedikit.” Disiplin adalah cara untuk menekan tingkat kesalahan, terlebih lagi bagi para pemain yang belum kenyang pengalaman—patuh mengikuti instruksi pelatih dan tidak mencoba-coba berimprovisasi di lapangan.

Ketika merayakan kemenangan dianggap lazim, Knight memilih sebaliknya. Ia tidak mau mengajak timnya merayakan sebuah kemenangan. Menurut Knight, kebiasaan itu berpotensi kuat melenakan para pemainnya saat menghadapi pertandingan berikutnya. “Bila turnamen belum selesai, tidak ada perayaan yang layak diadakan,” ujarnya. Ia selalu melihat bahwa selalu ada kemungkinan timnya kalah. Dengan waspada, ia mempersiapkan timnya lebih baik lagi.

Dengan mengambil kearifan dari kepelatihannya, Knight memiliki dua kata favorit dalam Bahasa Inggris yang berulang kali ia ucapkan, yakni ‘No’ dan ‘Don’t’. “Kata no dan don’t merupakan bagian penting dari kekuatan berpikir negatif,” tulisnya. Frasanya memang negatif, kata Knight, tapi bila dipakai dengan tepat kata-kata itu bisa mendatangkan hasil yang sangat positif.

Dalam buku ringkasnya itu, Knight menulis dengan cara menghibur dan inspiratif. Ia menunjukkan mengapa pikiran negatif mampu membuahkan hasil-hasil yang lebih positif, baik dalam olahraga maupun dalam kehidupan sehari-hari. Boleh setuju, boleh tidak, tapi banyak yang bermanfaat dari perspektif Knight ini. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini