x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Epidemi Kesepian

Betapa sering tragedi menghimpun manusia bersama-sama, dan betapa sering kenormalan hidup lantas merenggangkan kita kembali.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Betapa sering tragedi menghimpun manusia bersama-sama, dan betapa sering kenormalan hidup lantas merenggangkan kita kembali. Ya, kita memang punya smartphone, Line, WhatApps, Instagram, atau apapun yang kau sebut, dan kita merasa terkoneksi. Namun, di abad ‘paling terkoneksi secara teknologis dalam sejarah peradaban manusia’ ini, laju kesepian meningkat tajam.

Mengutip sebuah laporan, lebih dari 40% orang dewasa di Amerika merasa sendiri, dan boleh jadi angka sejatinya lebih tinggi lagi (Di sini, survei sejenis belum pernah ada, namun bukan berarti kecenderungan serupa tak bisa terjadi). Angka itu jauh lebih tinggi dibanding tahun 1980an. Di tempat kerja, rasa kesepian itu kian menjadi-jadi—dan separo CEO mengakui hal itu (semakin tinggi jenjang karier yang kau tapaki, semakin terasa sepi). Pekerjaan merebut sebagian besar waktu mereka bersama keluarga dan orang-orang terdekat. Para CEO mengambil keputusan dalam kesepian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika engkau sedang sakit dan tidak segera pulih, sesungguhnya rasa sepi ikut berkontribusi. Di kamar rawat atau kamar tidur, engkau berbaring kesepian, dan semakin tidak mudah bagi siapapun untuk segera pulih dalam situasi seperti itu, terlebih lagi ketika orang semakin sibuk bekerja dan tak punya cukup waktu untuk menengok. Koneksi sosial yang lemah bertautan dengan berkurangnya harapan untuk sembuh. Lemahnya koneksi sosial mendekatkan pada alkohol, rokok, kegelisahan, penyakit jantung. Di tempat kerja, kesepian menurunkan kinerja.  

Makan siang dan rehat kopi dimaksudkan untuk membangun koneksi di antara teman-teman sekantor, tapi apakah itu bukan basa-basi atau setidaknya sekedar pelepas dahaga di tengah tekanan kerja? Bersama orang-orang satu kantor, pabrik, dan tempat kerja lainnya, kita menghabiskan lebih banyak waktu ketimbang bersama keluarga—kondisi terbugar kita sebagian besar bukan tatkala berada di rumah. Meski begitu, mungkinkah kita berbagi keberhasilan dan kesakitan dengan mereka seperti halnya bersama keluarga? Mungkinkah kita berbagi kesedihan dan solidaritas bukan hanya tatkala bencana besar datang?

Koneksi sosial yang kuat dicirikan oleh berbagi pengalaman berharga dan hubungan yang saling mengayakan batin, memberi dan menerima. Di dalam koneksi yang kuat terkandung emosi positif yang tulus, bukan atas nama teamwork atau target penjualan semata. Memang ada kegembiraan di tempat kerja, tapi dari jenis yang berbeda dari yang ditemukan di rumah. Kegembiraan inilah yang meminta ditingkatkan agar koneksi sosial di tempat kerja semakin kuat: memberi dan menerima bantuan tanpa pamrih, berbagi pengalaman berharga dengan tulus. Tidak mudah, memang, oleh karena di dalamnya terkandung unsur-unsur credit and reward yang dikompetisikan.

Dunia agaknya tengah menderita epidemi kesepian dan kita perlu merekatkan kembali koneksi sosial yang tercabik oleh beragam kepentingan, terutama ekonomi, politik, karir, dan hasrat akan kekuasaan. Bila kita tak mampu membangun kembali koneksi sosial yang kuat dan otentik, kita akan semakin terpisah—di tempat kerja maupun di masyarakat. Koneksi sosial pada dasarnya adalah silaturahim yang mendatangkan kesehatan lebih besar dan menghalau jauh-jauh rasa kesepian. Namun, cukupkah dibangun dan dijaga dengan teknologi? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB