x

Iklan

Irsan Nuzuludin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Gelombang Separatisme Global: Pelajaran untuk Indonesia

Dengan maraknya gerakan kemerdekaan yang menggunakan modus referendum untuk legitimasi, Indonesia perlu memperhatikan perkembangan terbaru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkembangan di daerah Catalonia di Spanyol, mulai dari referendum yang diwarnai aksi kekerasan oleh anggota kepolisian Spanyol pada tanggal 1 Oktober hingga deklarasi kemerdekaan Catalonia pada tanggal 27 Oktober, adalah sesuatu yang tidak terduga. Selama satu bulan, dunia menyaksikan sebuah krisis konstitusional yang cukup menegangkan. Bagi politisi dan penduduk Eropa, perkembangan di Spanyol mendapat perhatian khusus. Di Indonesia, yang juga pernah mengalami trauma separatisme terutama lepasnya Timor Leste, hal ini semestinya menjadi perhatian khusus karena terdapat pelajaran-pelajaran baru untuk menghadapi luka lama.

Gerakan kemerdekaan di Catalonia bukan sesuatu yang muncul begitu saja tanpa penyebab yang jelas. Seperti halnya gerakan-gerakan separatis atau kemerdekaan lainnya, termasuk perjuangan rakyat Indonesia pada pertengahan abad ke-20, gerakan kemerdekaan di Catalonia disebabkan oleh persepsi adanya perbedaan antara bangsa Catalan dan rakyat Spanyol lainnya. Perbedaan-perbedaan yang meyebabkan suatu kelompok masyarakat untuk ingin melepaskan diri dari suatu negara termasuk ketimpangan ekonomi, perbedaan budaya dan bahasa, perbedaan agama, ataupun pemerintah pusat yang (dianggap) represif.

Dalam sepuluh tahun terakhir saja, dunia sudah menyaksikan lahirnya negara-negara baru yang melepaskan diri, di antaranya Sudan Selatan, Abkhazia, Ossetia Selatan, Republik Rakyat Donetsk. Tidak semuanya mendapatkan pengakuan dari negara-negara lain seperti halnya Abkhazia, Ossetia Selatan, dan Republik Rakyat Donetsk yang merdeka setelah konflik-konflik antara Rusia dan negara-negara tetangganya, Georgia dan Ukraina. Namun, "tren" terbaru untuk kelompok separatis dan gerakan kemerdekaan bukan melalui perjuangan senjata melainkan melalui referendum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Referendum digunakan oleh Sudan Selatan dan Timor Leste dalam proses menentukan masa depan mereka yang lepas dari Sudan dan Indonesia. Di Eropa, Skotlandia melakukan referendum pada tahun 2014 untuk menentukan apakah Skotlandia akan lepas dari Inggris atau tidak. Pada referendum tersebut, kelompok pro-persatuan berhasil menang tipis dengan hasil 55 persen menyatakan ‘Tidak’ kepada kemerdekaan Skotlandia sementara 45 persen setuju dengan ide kemerdekaan.

Bagi Indonesia, ancaman separatisme dan luka lepasnya Timor Timur adalah bagian pahit dari sejarah bangsa dan negara. Konflik bersenjata dengan kelompok-kelompok yang ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) ataupun Organisasi Papua Merdeka (OPM) menghabiskan banyak korban walaupun gerakan-gerakan tersebut sudah bisa dikatakan sangat lemah atau hampir tiada. Walaupun demikian, bukan rahasia bahwa separatis dan simpatisan luar negeri masih ada seperti halnya RMS di Belanda atau OPM di Australia.

Timor Timur yang kini berdiri sebagai negara Timor Leste juga merupakan pengalaman pahit yang kompleks. Berasal dari intrik politik masa Perang Dingin, Indonesia di bawah kekuasaan rezim Orde Baru melakukan aneksasi bekas koloni Portugal dengan dukungan Amerika Serikat. Setelah Reformasi 1998, Presiden Habibie menyetujui diadakannya referendum di provinsi Timor Timur di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam waktu yang singkat, Indonesia kehilangan provinsi dan mendapatkan negara tetangga baru. Bagaimana Republik ini bisa menanggulangi ancaman separatis yang walaupun hampir punah sekarang masih belum hilang sama sekali?

Pola baru dalam gerakan kemerdekaan dan separatis di dunia pada abad ke-21 sudah sangat berbeda dengan abad sebelumnya. Tidak lagi kemerdekaan diperebutkan melalui konflik senjata tetapi melalui referendum untuk memberikan legitimasi demokratis, contohnya Timor Leste, Montenegro dari Serbia, Sudan Selatan dan Skotlandia. Berbeda dengan politik dunia pada era Perang Dingin, tidak ada lagi negara adidaya yang siap memberikan dukungan senjata atau pasukan secara terbuka untuk menutup langkah penyebaran ideologi lawan. Dengan tuntutan referendum oleh sebuah kelompok masyarakat, mereka menggunakan ‘senjata’ demokrasi untuk menunjukkan legitimasi gerakan mereka. Pemerintah yang menolak secara matang kesempatan untuk referendum akan terlihat non-demokratis dan represif sehingga gerakan separatis semakin terlihat seperti korban.

Dari pengalaman di Spanyol dan sejarah pahit Indonesia, kekerasan maupun ancaman kekerasan bukan jalan keluar untuk menghentikan langkah ancaman gerakan separatis. Seperti di Timor Timur pada era rezim Orde Baru, di Sudan Selatan sebelum merdeka ataupun di Barcelona pada awal Oktober yang lalu, penggunaan kekerasan oleh pihak pemerintah dapat memberikan efek negatif pada pemerintah yang ingin menjaga integritas negaranya. Dari ketiga kasus tersebut, penduduk dunia (tetapi belum tentu negaranya) akan lebih simpatis dengan kelompok yang dianggap "korban".

Konflik pandangan dan kepentingan antara pemerintah pusat dan gerakan separatis adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Namun, konflik yang berkepanjangan memiliki risiko menyebabkan perpecahan dalam suatu masyarakat. Ada juga risiko terjadinya eskalasi konflik menjadi konflik bersenjata. Walaupun risiko konflik bersenjata antara kelompok separatis dan suatu pemerintah termasuk di Indonesia tidak terlalu besar berkat intelijen keamanan dan upaya-upaya pengamanan lainnya, konflik ideologi bisa berkepanjangan untuk bertahun-tahun bahkan lintas generasi. Seperti halnya di Catalonia, ide bahwa daerah tersebut adalah daerah yang pantas merdeka dan bangsa Catalan bukan sebagian dari rakyat Spanyol bisa ditelusuri ke beberapa abad yang lalu. Untuk menghindari mengakarnya ideologi separatis, dialog dan pendekatan antara pemerintah pusat, masyarakat secara umum dan kelompok yang menuntut kemerdekaan sehingga para separatis kehilangan dukungan.

Dalam skenario terburuk, jika ada suatu daerah atau kelompok masyarakat di Indonesia ingin menunut hak referendum untuk melepaskan diri dari Republik seperti halnya Timor Leste ataupun Catalonia, apa yang sebaiknya dilakukan? Contoh yang baik adalah pendekatan pemerintah London terhadap rakyat Skotlandia sebelum diadakannya referendum kemerdekaan pada tahun 2014. Pemerintah Inggris mengambil langkah untuk memberikan kesempatan referendum yang legal dan sah, namun pemerintah serta pendukung persatuan Inggris Raya melakukan kampanye yang gencar di Skotlandia dan luar Skotlandia untuk meyakinkan masyarakat di daerah tersebut bahwa mereka lebih baik tetap bersatu. Untuk berbulan-bulan di berbagai media cetak dan elektronik, kampanye pro dan kontra kemerdekaan Skotlandia berusaha untuk meyakinkan rakyat wilayah di utara pulau Britania tersebut.

 

Dengan berhasilnya kampanye pro-persatuan, pemerintah di London mendapatkan legitimasi langsung dari 55 persen rakyat Skotlandia bahwa daerah tersebut ingin tetap bersatu dalam satu negara. Dari pengalaman di Skotlandia, Catalonia, dan wilayah-wilayah lainnya, Indonesia bisa mendapatkan pelajaran untuk lebih mempersiapkan diri dari suatu ancaman yang selalu ada sejak Republik ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Dengan memperhatikan perkembangan gelombang kemerdekaan di dunia melalui tuntutan referendum, Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa lebih siap untuk menghadapi ancaman di masa depan tanpa kekerasan dan secara demokratis.

Ikuti tulisan menarik Irsan Nuzuludin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB