x

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Guruku Orang-orang Pesantren

Guru saya yang paling pertama kali saya kenal, tentu ayah saya sendiri, KH Solihin Uzer. Beliau lulusan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernah ada sebuah buku yang menarik yang merupakan pengalaman KH Saifuddin Zuhri—mantan menteri agama era Soekarno dan ayahanda Lukman Hakim Saifuddin—yang ditulis dengan judul “Guruku Orang-orang dari Pesantren”. Pengalaman pribadi Saifuddin dikemas secara apik menjadi sebuah tulisan yang sangat menarik dibaca, soal pengakuan dirinya belajar dari pesantren ke pesantren. Saya pasti tidak sebanyak pengalaman kiai Saifuddin yang banyak bertemu dan belajar dengan beberapa “mahaguru” di pelbagai pesantren besar di Indonesia, namun paling tidak, saya punya beberapa pengalaman pribadi yang saya rasakan bahwa saya lahir, besar, belajar dan mewarisi tradisi pesantren, walaupun saya tidak menetap di pesantren.

Guru saya yang paling pertama kali saya kenal, tentu ayah saya sendiri, KH Solihin Uzer. Beliau lulusan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yang saat itu masih diasuh oleh KH Amin Sepuh dan KH Sanusi. Yang pertama saya sebutkan merupakan santri dari Kiai Kholil, Bangkalan, Madura, salah satu tokoh pendiri NU. Maka wajar bahwa kehidupan kecil saya lekat dengan kultur NU yang dibawa oleh ayah saya sendiri dalam keluarga. Antara tahun 1960-1970, ayah saya tetap “nyantri” di Ciwaringin sembari ngajar menjadi guru agama honorer di beberapa sekolah formal sekitarnya. Pengalaman nyantri lebih dari 10 tahun, tentu saja menjadi modal pengalaman ilmu agama yang cukup pada waktu itu, hingga akhirnya ayah saya lolos seleksi menjadi guru agama negeri di lingkungan Departemen Agama.

Pada tahun 1980-an, selepas saya lulus sekolah dasar, saya melanjutkan ke tingkat tsanawiyah (SMP) dan nyantri di Pesantren Al-Hikmah, Babakan Ciwaringin Cirebon, yang diasuh oleh KH Nasihin Aziz (almarhum) salah satu teman akrab ayah saya ketika masih sama-sama nyantri di peantren asuhan KH Amin Sepuh. Pertama kali dalam hidup saya, mengenal apa itu pesantren dan beragam sisi kehidupannya disaat usia saya masih sangat belia. Inilah guru saya yang kedua diluar pendidikan formal yang saya dapatkan di sekolah. Sosok Kiai Nasihin begitu bersahaja dengan pembawaannya yang kalem, membuat para santri sangat hormat kepadanya. Kiai Nasihin mengajarkan banyak hal, termasuk berprilaku baik, menghormati yang lebih besar dan menyayangi yang lebih kecil. Pembawaannya yang hampir tak pernah marah dalam kondisi apapun, membuat para santri semakin segan pada kiai yang dikenal ahli dalam ilmu nahwu dan sharaf ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kiai Nasihin dikenal piawai dalam ilmu alat—nahwu dan sharaf—termasuk menguasi ilmu ushul fiqh yang kemudian diajarkan kepada para santrinya. Saya merasakan sendiri ketika beliau mengajarkan kitab Al-Amtsilah Attashrifiyyah dan Ushul Fiqh yang sedemikian dalam penguasaannya. Meskipun saya termasuk orang yang “bebal” dalam menerima ilmu-ilmu alat, namun lekat dalam ingatan saya, ketika setiap perubahan kata dalam bahasa Arab (sharaf) dilantangkan oleh setiap santri seusai shalat Subuh, menambah semangat para santri untuk menghafalkan kitab ini. Dalam usia saya yang masih belia, sulit rasanya memahami makna setiap perubahan kata yang disebut dalam ilmu sharaf, tapi paling tidak, melantangkan suara dapat mengingat memori otak tampak lebih melekat.

Kitab Ushul Fiqh karya Syekh Hudlori Beik, cukup dikenal di kalangan santri tradisional dan merupakan kitab yang diajarkan di tingkat mutawassith (pertengahan), karena santri pada tingkat dasar (uula) belum dianjurkan mempelajarinya. Saya mengenal Ushul Fiqh ini ketika saya masuk jenjang kelas tiga tsanawiyah (SMP), walaupun sebenarnya, saya harus ikut bergabung bersama santri-santri lainnya yang lebih senior dan tentu saja, saya termasuk paling muda waktu itu. Kajian Ushul Fiqh adalah pilihan yang boleh diikuti atau tidak—terutama untuk santri uula—karena ada pilihan kajian kitab lainnya yang diasuh ustadz lain, yaitu ahklak dan ilmu tauhid. Saya lebih memilih bersama Kiai Nasihin, untuk mengikuti kajian kitab Ushul Fiqh, meskipun saya sadar, akan menjadi kesulitan tersendiri bagi saya.

Tiga tahun saya belajar di pesantren “salaf” Ciwaringin, tak menghentikan keinginan ayah saya untuk tetap “mewajibkan” saya kembali ke pesantren, padahal saya telah selesai sekolah formal di tingkat menengah pertama. Tak tanggung-tanggung, ayah berkeinginan agar saya tidak menjadi “NU minded” dan belajar lebih banyak ilmu keagamaan yang lebih modern dan variatif. Pilihan waktu itu adalah Pesantren Darussalam Ciamis, yang masih diasuh oleh salah seorang ulama besar Jawa Barat, KH Irfan Hielmy (almarhum). Sebelum saya didaftarkan ke Darussalam, ayah pernah mengatakan, “Kiai Irfan itu orang pandai, alim, cerdas, dan ia belajar secara otodidak dan inilah barangkali yang dimaksud dengan ilmu ‘laduni’, sebuah transmisi kelimuan karena anugerah Tuhan”. Sebagai “santri” saya tentu saja manut apa yang diinginkan ayah dan saya bertekad ingin lebih banyak tahu soal keilmuan agama Islam sebagaimana yang ayah harapkan.

Pesantren Darussalam, tentu saja pesantren modern waktu itu, karena memiliki lembaga pendidikan formal sejak tingkat kanak-kanak hingga perguruan tinggi menyatu dalam komplek pesantren. Berbagai kitab klasik hingga modern diajarkan di pesantren ini, bahkan keberadaan seni benar-benar diangkat, sebagai bagian dari bakat dan hobi para santri yang harus tetap tersalurkan. Sejauh pengalaman saya nyantri, memang belum pernah saya bertemu dengan sosok kiai sederhana namun memiliki keilmuan yang sungguh sangat luar biasa. Kiai Irfan—atau dirinya lebih suka dipanggil ‘Kang’ daripada kiai—banyak menguasai berbagai bahasa asing yang dipelajarinya secara otodidak. Penguasaannya yang mendalam akan karya-karya ulama klasik dalam bahasa Arab, membuat kiai Irfan disegani oleh hampir seluruh ulama di Jawa Barat. Di pesantren inilah, saya belajar selama tiga tahun, mendapatkan berbagai pengetahuan keislaman secara lebih terbuka dan variatif.

Slogan Pesantren Darussalam, “menjadi muslim moderat, mukmin demokrat dan muhsin diplomat”, saya rasa cukup untuk memberikan gambaran bahwa pesantren ini mengajarkan semua mazhab dalam soal fiqh, tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab tertentu dan mendorong para santrinya mengembangkan citra pemikiran moderat yang ramah dan luwes. Dan inilah yang saya rasakan, betapa saya banyak diajarkan beragam kitab klasik keilmuan agama Islam lintas mazhab, diperkaya dengan kajian-kajian hadits dan ulumul hadits serta tafsir yang semakin memperkaya alam pengetahuan pemikiran keagamaan saya. Kiai Irfan bagi saya, adalah sosok guru yang paling berkesan selama saya hidup, karena selama saya menjadi santrinya, tak pernah saya melihat dirinya berpenampilan bak ulama Arab, berjubah, berjenggot, atau bersurban panjang. Gaya “Islam Nusantara” melekat abadi dalam sosok kiai Irfan, jujur, sederhana, apa adanya, berpeci hitam dan bersarung, namun memiliki pengetahuan agama yang demikian sangat luas.

Guru-guruku adalah orang-orang dari pesantren, yang tak mungkin saya sebutkan satu-persatu dalam tulisan ini. Merekalah yang telah banyak membentuk saya dalam banyak hal, cara berpikir, cara mengambil sebuah kesimpulan, menyimpulkan suatu kebenaran, menghargai setiap perbedaan pendapat dan berdebat serta berargumentasi secara lebih baik dan bermartabat. Saya teringat beberapa hari yang lalu adalah Hari Guru, dan bagi saya banyak guru-guru saya yang berasal dari pesantren, bahkan hingga saat ini. Saya tetap menjadi santri bagi guru-guru saya. Kesantrian saya abadi, tak akan pernah luntur, karena “kesantrian” adalah selalu merasa dirinya menjadi santri, yang selalu ingin belajar dan butuh bimbingan dari siapa saja, terutama orang-orang dari pesantren.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB