x

Iklan

Meta Maftuhah

Peneliti sosial, Konsultan UMKM
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjaga Kedaulatan Pangan, Menjaga Indonesia

Kebutuhan beras masyarakat Indonesia mencapai 150 kg/kapita/keluarga pada tahun 2017 yang dipenuhi dari produksi 79,1 ton di lahan 62,5 juta ha.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebagai bahan pangan pokok, kebutuhan beras masyarakat Indonesia menurut indonesia-investment (28/06/2017) mencapai 150 kg/kapita/keluarga pada tahun 2017. Kebutuhan ini dipenuhi melalui produksi padi yang dihasilkan para petani. Produksi padi di tahun 2016 menurut data kementrian pertanian (21/02/2017) adalah sebesar 79,1 juta ton, di areal pertanian 62,5 juta ha. Situasi ini jelas menggembirakan, karena Indonesia tidak perlu melakukan impor beras. 

Kondisi ini, tentunya menggembirakan. Tetapi, tidak banyak yang tahu, bahwa produksi padi saat ini menghadapi masalah serius. Masalah ini  khususnya terjadi di wilayah Pantura Jawa Barat, dengan luas areal 224.000 ha yang membentang mulai Indramayu sampai sisi timur Kabupaten Bekasi. 

Berapa Sebenarnya Produksi Padi?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan wawancara kepada peneliti di Balai besar penelitian tanaman padi, produksi padi maksimal adalah sebesar 7-8 ton/ha. Akan tetapi, produksi padi di sebagian wilayah pantura tahun 2017 ada yang hanya mencapai 3 ton/ha. Bahkan, ada pula petani yang memproduksi padi hanya 500 kwintal/ha. Semua ini diakibatkan oleh klowor. Klowor, atau istilah lainnya adalah kerdil rumput, merupakan sejenis virus yang mengikuti hama wereng coklat. Dua tahun ini, klowor menyerang hampir sebagian besar lahan pertanian di Pantura Jawa Barat. 

Menurut penjelasan dari peneliti di Balai penelitian di Balai Besar Peramalan Organisma Pengganggu Tanaman (BPOPT) Jatisari Karawang eradikasi menjadi satu-satunya cara mengatasi klowor. Pemerintah melalui Kementrian Pertanian sudah melakukan berbagai upaya untuk dapat menanggulangi gangguan organisma pengganggu tanaman, di wilayah Pantura, sebagian masih belum menunjukkan hasil maksimal. Selain itu, terbatasnya air yang sampai ke areal pertanian menyebabkan beberapa area tidak dapat ditanami.

"Hama penyakit padi bisa hilang kalau siklusnya diputus. Dan untuk memutus siklus, maka satu-satunya cara adalah melakukan pergiliran tanaman. Baik dengan palawija,  sayur, maupun varietas padi lain". ungkap petugas OPT saat fgd. Tetapi tidak mudah untuk memberikan pemahaman kepada petani. Apalagi, eradikasi membuat petani tentunya mengalami kerugian, karena harus menghancurkan tanaman yang sudah tumbuh.

Kapan Petani Hidup Sejahtera?

Bertanam padi, saat ini merupakan pilihan petani. Kalau disuruh memilih, hampir semua petani padi memilih padi sebagai komoditi utama. Beberapa petani yang memiliki pengetahuan lebih selain menanam padi juga bertanam palawija dan sayuran. Tetaapi, pengetahuan dan modal yang terbatas membuat petani bertahan dengan pengetahuan yang dimiliki. Perubahan iklim disertai curah hujan yang tidak menentu, dan mutasi pada beberapa opt membuat petani harus melakukan upaya lebih. Penyuluh menjadi penting, untuk memberi sentuhan teknologi, dan tambahan pengetahuan baik mulai cara pemupukan, pengolahan tanah, penanggulanan opt hingga panen dan pasca panen. 

Hanya saja, saat ini jumlah penyuluh terbatas. Beberapa penyuluh, harus menangani 2-3 desa, dengan jumlah petani lebih dari 300. Bahkan ada 1 desa dengan jumlah petani mencapai 600 orang. Dapat dibayangkan bagaimana situasinya. Itu untuk penyuluh yang aktif, sayangnya tidak semua penyuluh juga aktif, sehingga beberapa desa bagaikan anak ayam kehilangan induk, saat menghadapi masalah di lahan pertaniannya. 

Permodalan pun juga menjadi masalah. Memang perbankan sudah masuk ke pedesaan. Program KUR yang diluncurkan pemerintah, menjadi solusi. Tetapi saat panen tidak mencapai harapan, petani umumnya kesulitan membayar dan terlilit hutang.

Bagaimana pertanian masa depan?

Kisah tentang petani, masih banyak bercerita tentang kesedihan. Tetapi, sebetulnya ada para champion yang dapat menjadi contoh untuk perbaikan nasib petani. Sebut saja, petani yang tergabung pada Koperasi Malai Padi di Indramayu, atau Gapoktan di Desa Lenggahsari Bekasi. Berbagai inovasi yang mereka lakukan dapat membantu mereka menyelesaikan masalah, serta juga menjadikan mereka sebagai kelompok tani yang mandiri.

Menarik melihat kisah mereka untuk dapat mengajak anak muda lebih memilih menjadi petani daripada buruh, seperti yang dilakukan oleh Gapoktan Desa Lenggahsari. Atau juga memiliki brand sendiri, serta juga tetap konsisten bertani organik seperti yang dilakukan petani di Kecamatan Sukra, Indramayu yang menjadi anggota Koperasi Malai Padi. Untuk menghasilkan petani yang berdaya, perlu dukungan dari berbagai pihak, tentunya yang menjadikan petani sebagai manusia dan bukan hanya objek. Objek untuk menghasilkan padi bagi seluruh warga Indonesia yang masih belum bisa beralih dari beras. Rice is King Crop, ujar salah seorang peneliti Bank Dunia yang saya temui. Tentunya menanam “king crop” perlu dengan sebuah kearifan, sebagaimana penghargaan petani masa lalu pada dewi sri, yang memetik padi dengan ani-ani, dan merawatnya sebagai benih hingga musim tanam kembali tiba.

Lokal atau Impor?

Adalah sebuah pengalaman yang luar biasa bagi saya untuk dapat mengamati kegiatan pertanian padi di tahun 2017. Melihat kesungguhan petani dalam bertani, tetap konsisten bertani walau menghadapi berbagai masalah, perlu mendapat penghargaan. Membeli produk petani dengan harga pantas, menjadi salah satu penghargaan yang dapat dilakukan. Dengan modal 7-9 juta/ha, jika harga gabah mencapai Rp 3.700/kg, maka mereka akan mendapat keuntungan saat panen mencapai 7 ton/ha. 

Tetapi, jika menghadapi kondisi buruk, seperti yang terjadi di tahun ini, cukup pantas, jika kita menghargai mereka dengan harga lebih. Toh, tetap, jika dibandingkan, padi yang ditanam di Indonesia tetap lebih enak dan pulen. Jika dibandingkan dengan Jepang sekitar Rp 48.779, di Korea Rp 35.832, maka wajar jika kita membeli beras dengan harga Rp 12.000 untuk beras medium, dan lebih tinggi lagi untuk beras premium. Saya sentimentil, iya, sangat. Perjalanan saya di Pantura tahun ini memberikan pelajaran berharga untuk mau menghargai petani padi. Tanpa mereka, tidak akan ada lagi beras pulen yang mengganjal perut kita saat lapar, apalagi beras premium yang rasanya tidak kalah dengan beras impor.

Jika harus memilih lokal atau impor, saya pilih beras lokal yang bersih, sehat, pulen, tentunya tanpa plastik, dan dirawat dengan penuh rasa cinta. Seperti rasa cinta kita pada tanah air kita, INDONESIA.

 

Sumber :

Hasil wawancara pada berbagai sumber

www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/beras/item183?

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3406514/perbandingan-harga-beras-di-negara-produsen-asia

Kedaulatan Pangan Nasional, Kementrian Pertanian, 21 Februari 2017

Sumber foto : dokumentasi pribadi

#lokalatauimpor

Ikuti tulisan menarik Meta Maftuhah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB