x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

'Polmas' Sudah Terhapus dari Peta Bumi

Kata “Polmas” yang diteriakkan kencang oleh kondektur itu terdengar di telinga lelaki Jawa itu: “Full, Mas”.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tahun 1970-an, saya sering mendengar anekdot tentang Polmas dari obrolan para tetua kampung:

Seorang lelaki asal Jawa, datang ke Sulawesi Selatan untuk menengok anggota keluarganya yang tinggal di kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali-Mamasa. Memang, Wonomulyo yang juga populer dengan nama “Kappung Jawa” adalah salah satu lokasi transmigrasi angkatan pertama pada jaman Presiden Soekarno.

Turun dari pesawat di bandara Hasanuddin Makassar, lelaki Jawa itu berjalan keluar dari bandara, lalu berdiri di pinggir jalan Trans Sulawesi, untuk menunggu bus yang menuju Polewali Mamasa. Dia mencermati setiap mobil angkutan umum, yang menuju Polewali Mamasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setiap ada bus angkutan umum yang menuju Polewali Mamasa, supirnya akan melambankan laju bus, lalu kondekturnya akan berteriak kencang kepada orang yang berdiri di pinggir jalan dan terlihat sedang menunggu bus: “Polmas, Polmas, Polmas!!!”

Maksud kondekturnya: busnya itu melayani penumpang yang mau pergi ke Polmas.

Tapi kata “Polmas” yang diteriakkan kencang oleh kondektur itu terdengar di telinga lelaki Jawa itu: “Full, Mas”. Karena itu dia membatin: “Oh, busnya sudah full (penuh), toh”. Berjam-jam lamanya dia menunggu bus, dan ia tak ingin menyetop, karena sudah diteriakin duluan oleh kondektur: “Polmas, Polmas, Polmas!!!”

Lelaki Jawa itu sempat membatin, kok, full semua busnya ya! Berarti Polewali-Mamasa adalah kabupaten yang banyak dikunjungi orang. Soalnya semua bus yang menuju ke sana, pada full (penuh) semua.

Setelah berjam-jam menunggu bus dan berkali-kali mendengar kondektur setiap bus berteriak: “Polmas, Polmas, Polmas!!!”, ia mulai penasaran, lalu bertanya kepada warga sekitar untuk memastikan kenapa semua bus yang menuju Polewali Mamasa, itu full (penuh) semua.

Meski sedikit agak kesal, lelaki Jawa itu tertawa ngakak, setelah mendapatkan penjelasan bahwa kata “Polmas” yang diteriakkan kondetur bus ternayta adalah singkatan dari “Polewali-Mamasa”, kabupaten yang ketika itu masuk wilayah Sulawesi Selatan, dan terletak sekitar 230 km ke arah utara dari Makassar. Dan Polmas sendiri, ketika itu, adalah gabungan dari dua nama kecamatan: Kecamatan Polewali dan dan Kecamatan Mamasa.

Namun sejak 2003, setelah pemekaran Sulsel dan Kabupaten Polmas menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Barat, kesalahan dengar yang dialami lelaki asal Jawa itu mungkin tidak akan terjadi lagi. Sebab POLMAS (Polewali Mamasa) telah berubah menjadi Polewali Mandar, yang disingkat POLMAN.

Tapi muncul “persoalan baru”: administrasi kependudukan. Seorang teman asal Polmas dan lahir di Polmas, lalu berdomisili di Jakarta, pernah mengurus Paspor di kantor Imigrasi Jakarta.

Ketika mengisi formulir dan tiba pada isian tempat lahir: teman tadi menulis: POLMAS, kemudian tanggal-bulan-tahun kelahirannya.

Entah karena iseng atau memang ingin tahu untuk memastikan kebenaran isian formulir, pegawai Imigrasi itu langsung melakukan browsing di peta online. Mengetik kata Polmas, dan hasilnya ternyata semua peta online tidak lagi mencantumkan nama kabupaten POLMAS, sudah tergantikan dengan Polewali Mandar atau POLMAN.

“Barangkali Bapak salah tulis tempat lahir? Soalnya, di peta online. tidak ada kabupaten Polmas”.

Teman tadi terpaksa harus menjelaskan: Bapak, sebelum pemekaran Sulsel, kabupaten Polewali Mamasa yang disingkat Polmas, hampir semua orang Mandar yang lahir di wilayah kabupaten Polewali Mamasa, surat keterangan atau akta lahirnya akan tertulis, tempat lahir: POLMAS. Tapi setelah pemekaran dan pembentukan Provinsi Sulawesi Barat 2003, nama POLMAS itu diubah menjadi POLMAN (Polewali Mandar). POLMAS telah dicopot dari peta bumi.

Mungkin kasus seperti ini juga banyak dialami oleh penduduk negeri ini, yang lahir dan tinggal di suatu tempat, lalu terjadi pemekaran wilayah, dan nama tempat lahirnya itu tidak lagi tercamtum alias tercopot dari peta bumi. Hehehe.

Syarifuddin Abdullah | 20 Desember 2017 / 02 Rabiul-tsani 1439H

Sumber ilustrasi: google.map

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu