x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sepuluh Pelajaran di Tahun 2017 (Nasional)

Pada akhirnya akan tercipta self-resistence terhadap hoax, tanpa harus paranoia, sebab hoax telah menjadi realitas jaman now.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

2017 segera hilang dan 2018 datang # Merefleksi satu tahun berlalu # Melukis harap di tahun yang tiba.

Aku bukan pencatat yang cermat # 10 pelajaran di tahun 2017 ini pun # bukan mantra futuristik yang mesti

Catatan lepas yang coba diramu # Berharap tak membangkitkan jemu # Dalam kehidupan kita semua adalah tamu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berikut ulasan 10 pelajarannya:

Pertama, kasus Ahok yang kalah dalam tiga medan laga sekaligus (sosial, politik, hukum) dalam Pilgub DKI 2017, menjadi peristiwa nasional yang urgen dicermati dari berbagai sisi. Pesannya terang benderang: jangan bermain api dengan sentimen keagamaan, apapun alasannya.

Kedua, pembangunan infrastruktur di berbagai titik pada level nasional, yang sudah-sedang dikerjakan - meski konon katanya lebih mengandalkan duit pinjaman - menunjukkan komitmen pemerintah untuk membereskan salah satu pondasi yang diperlukan untuk menciptakan loncatan pembangunan yang berkesinambungan.

Pembangunan infrastruktur yang diperkirakan sebagian besar akan rampung di tahun 2018-2019 akan menjadi amunisi unggulan Pemerintahan Jokowi pada Pemilu 2019.

Ketiga, berbagai kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK yang menjaring sejumlah pejabat pemerintahan, selain membuktikan bahwa korupsi masih menjadi praktek yang lumrah sebagian jajaran pemerintahan, juga membuktikan bahwa KPK memang masih diperlukan. Cuma selama 2017, tampaknya OTT lebih banyak menjaring oknum Pemerintahan Daerah. Mungkin KPK sedang mematangkan kasus untuk pejabat dintingkat pusat.

Keempat, kasus Setya Novanto yang sempat “maju-mundur-cantik” akhirnya “maju-mundur-jelek” juga. Setnov menjadi tersangka. Kasus Setnov menarik karena ditersangkakan saat posisinya sebagai Ketum Golkar dan Ketua DRR pula. Publik layak berharap banyak bahwa jabatan politis setinggi apapun, dan selicin apapun pelakunya, jeratan hukum bisa mengintai siapa saja. Apresiasi kepada KPK.

Kelima, berbagai lobi internal Parpol maupun inter-Parpol terkait bursa Cawapres (Calon Wakil Presiden) telah membuka peluang harap untuk beberapa nama baru. Beberapa gubernur dilirik dan namanya beredar di survei. Politik transaksional tetap mewarnai. Dan itu normal saja. Hasil survei hanya merupakan salah satu indokator pendahuluan untuk menilai layak tidaknya seorang tokoh ikut berkompetisi di Bursa Capres-Cawapres. Jangan besar kepala dengan hanya melihat hasil survei, yang sering bias itu.

Keenam, selama tahun 2017, tidak ada gejolak ekonomi nasional yang signifikan. Everything is going be alright. Tim ekonomi pemerintah, salah satu figur intinya adalah Sri Mulyani, sebagai Menteri Keuangan, tampaknya bekerja keras dan secara profesional menjaga stabilitas ekonomi nasional. Yang menarik, Pemerintahan Jokowi-PDIP yang secara ideologis diasumsikan pro sosialis, justru mengandalkan eknomi-ekonom yang sering dicap neo-liberal. Sebuah paradoks.

Ketujuh, terkait dengan integritas wilayah nasional dan NKRI, selama 2017, separatis Papua terlihat lebih kreatif dalam bermain di fora internasional. Tim counter pemerintah tampaknya perlu lebih kreatif juga dan mestinya lebih agresif. Bukan tidak mungkin, beberapa negara yang selama ini dikenal pro separatis Papua juga nekat mengakui Papua, dengan memggunakan model deklarasi Donald Trump, yang mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel pada 6 Desember 2017.

Kedelapan, Pilkada Serentak pada Februari 2017, meski dikhawatirkan banyak pihak, akhirnya berlangsung tanpa konflik yang berarti. Mestinya pengalaman mengelola Pilkada serentak dengan baik di tahun 2017 menjadi modal untuk mengelola Pilkada Serentak tahun 2018. Sikap paranoia dapat diminimalisir melalui kebijakan dan pelaksanaannya yang antisipatif.

Kesembilan, beberapa kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) yang dinilai kinclong dalam mengelola pemerintahan di daerahnya membuktikan tiga hal: (a) kualitas dan kapabilitas pemimpin tetap menjadi acuan yang diakui semua orang; (b) bahwa untuk menjadi tokoh berlevel nasional, mulai dari daerah pun sangat dimungkinkan; (c) setiap kebijakan yang dieksekusi dengan mengedapankan keberpihakan yang nyata pada kepentingan rakyat, lambat atau cepat akan diapresiasi oleh rakyat. Investasi kebaikan mestinya menjadi acuan oleh semua jajaran pejabat publik.

Kesepuluh, isu maraknya hoax di Medsos selama 2017, dalam berbagai kasus, konon makin sistematis, dan pelakunya bergerak melalui sistem sel berbayar, adalah kasus yang perlu diantisipasi dengan cara yang sistematis juga.

Meski sulit dan perlu waktu, saya yakin publik pada akhirnya akan menciptakan self-resistence terhadap hoax, tanpa harus paranoia, sebab hoax telah menjadi realitas jaman now, Bung. Dan barangkali perlu juga dipertimbangkan melakukan kampanye nasional untuk menobatkan beberapa media yang layak dijadikan sumber rujukan utama untuk setiap kasus nasional.

Syarifuddin Abdullah | 26 Desember 2017 / 08 Rabiul-tsani 1439H

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu