Prasangka di Balik Perburuan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam A Most Wanted Man, John le Carré mengritik moralitas kekuasan dalam memburu orang-orang yang diduga teroris.

 

Waspada selalu jadi bagian dari kerja spionase, namun waspada sesungguhnya merupakan kata yang lebih halus dari substansi yang ada di dalamnya, yakni prasangka—menduga bahwa seseorang atau pihak tertentu akan bertindak buruk. Prasangka dan kecurigaan melatari perburuan atas orang-orang yang dianggap teroris.

Dalam A Most Wanted Man, John le Carré—yang menulis masterpiece The Spy Who Came in from the Cold—melukiskan bagaimana prasangka menjadi unsur yang tak terpisahkan dari siapapun yang merasa terancam. Siapapun itu bisa berarti seseorang, kelompok orang, organisasi, dan bahkan negara. Dan prasangka dijadikan alasan yang sah untuk memburu seseorang yang diduga akan melakukan aksi teror.

Dongeng le Carré dibuka dengan adegan seorang anak muda kerempeng yang selalu menguntit anak muda lain—seorang petinju berdarah Turki. Pemuda kerempeng bernama Issa itu rupanya berdarah Chechnya-Rusia, pernah mendekan di penjara, dan tiba melalui jalur ilegal ke Jerman. Issa terlihat miskin tapi mengaku menyimpan keberuntungan di sebuah bank swasta dan ingin bersekolah di Jerman. Sempat curiga dan kesal, pemuda berdarah Turki itu akhirnya menampung Issa.

Turki-Chechnya-Rusia-Jerman menjadi bagian dari awal konflik dalam kisah le Carré karena di dalam nama-nama bangsa ini terkandung pengalaman historis masing-masing yang memengaruhi kejadian masa depan. Le Carré memilih Hamburg sebagai latar cerita dengan pertimbangan di kota inilah Mohamed Atta dan beberapa kawannya, yang dianggap pelaku serangan 11 September 2001 ke World Trade Center, New York, pernah tinggal.

Sejak peristiwa 11 September itu, intensitas aktivitas intelijen AS semakin meningkat dan menggandeng dinas-dinas negara lain. Sebagai orang yang pernah terjun langsung di dunia spionase, Le Carré piawai dalam menggambarkan bagaimana agen-agen AS bersama Rusia, Inggris, dan Jerman terlibat perburuan orang yang diduga teroris dan paling dicari (a most wanted man): Issa. Gunther Bachmann, seorang agen Jerman, berharap bahwa Issa dapat mengantarkannya kepada apa yang ia duga inti organisasi teroris. Issa adalah korban prasangka lantaran predikat yang melekat pada dirinya: Muslim keturunan Chechnya yang pernah mendekam di penjara Rusia.

Dalam menulis kisah ini, Le Carré terilhami oleh kisah nyata Murat Kurnaz—warga Turki dan pemukim legal di Jerman. Kurnaz mula-mula ditahan di Pakistan pada tahun 2001, lalu dipenjara di kamp tahanan militer Amerika—mula-mula di Kandahar, Afghanistan, lalu di Guantanamo, Kuba. Ia akhirnya dilepas tujuh tahun kemudian. Penahanan Kurnaz terbukti tanpa dasar dan ia telah ‘diteroriskan’ oleh pikiran-pikiran jahat yang disesaki oleh prasangka.

Alasan ideologis dan patriotisme seringkali membungkus alasan yang lebih sejati, yakni prasangka dan kecurigaan serta pertarungan kepentingan di antara organisasi, internal organisasi, bahkan juga di antara individu-individu. Moralitas digambarkan oleh le Carré sudah terkoyak oleh prasangka, kecurigaan, dan kepentingan terbatas. Dan untuk mencapai tujuan masing-masing, setiap pihak sanggup melakukan cara apapun.

Le Carré memahami benar bagaimana dunia intelijen bekerja, sebab selama bertahun-tahun ia menjadi bagian dari dunia ini sebagai David John Moore Cornwell. Dalam A Most Wanted Man, ia menumpahkan pemahamannya itu untuk mengritik moralitas kekuasan dalam memburu orang-orang yang diduga teroris. (Foto: Adegan film A Most Wanted Man) ***

Bagikan Artikel Ini
img-content
dian basuki

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
img-content
Lihat semua