x

Ketua Bidang Politik Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), Rocky Gerung, dan Sekretaris Nasional Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) Yoshi Herlina (kanan). TEMPO/Amston Probel

Iklan

SYAHIRUL ALIM

Menulis, Mengajar dan Mengaji
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Peristiwa Isra Mi'raj Nabi Muhammad Bukan Cerita Fiksi!

Bagi saya, peristiwa Isra dan Mi’raj sarat dengan pelajaran hidup manusia yang patut diambil teladannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ramai soal kitab suci yang disebut fiksi oleh Rocky Gerung, tak akan mengurangi sedikitpun keyakinan umat beragama terhadap isi kitab sucinya. Disebut fiksi, barangkali karena memang keterbatasan akal manusia dalam mengungkap rahasia keagungan-Nya. Akal manusia pasti terbatas, bahkan seringkali bertekuk lutut disaat tak mampu mengungkap pesan-pesan Tuhan yang tertuang dalam kitab suci. Kitab suci Al-Quran membagi redaksionalnya kedalam bentuk “qhat’i” (pasti, jelas) dan “dzanni” (perkiraan, tidak jelas). Keduanya hanya mampu diungkap oleh mereka yang benar-benar mendasarkan nalarnya pada keimanan, karena tanpanya, akal manusia gagal menangkap setiap pesan yang dimaksud oleh teks dalam kitab suci tersebut.

Ada sebuah peristiwa dimana nalar manusia sulit menjangkaunya, ketika Nabi Muhammad digambarkan oleh Al-Quran melakukan perjalanan spiritual “super cepat” hanya dalam waktu semalam. Perjalanan Nabi ini dimulai dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Perjalanan kemudian berlanjut sampai ke “Sidratul Muntaha” (puncak tertinggi dari pengetahuan manusia). Setiap muslim, pasti membenarkan peristiwa ini sebagai peristiwa luar biasa diluar nalar. Inilah peristiwa Isra dan Mi’raj yang nyata terjadi, bukan cerita fiksi yang diungkap oleh kitab suci.

Peristiwa Isra dan Mi’raj ini terjadi pada tahun ke 10 kenabian, antara tahun 620-621 M atau setahun sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Bukan suatu kebetulan, karena peristiwa ini dalam banyak informasi sejarah, didahului oleh dua peristiwa yang menyedihkan Nabi. Ia secara berturut-turut kehilangan pamannya Abu Thalib dan kemudian istrinya Khadijah. Kedua orang yang meninggalkan Nabi ini tentu saja sosok-sosok terpenting dalam hidupnya, yang tak mungkin tergantikan oleh siapapun. Ditengah suasana kesedihan yang mendalam, Allah berkehendak “menghibur” sang Nabi, menghadiahkan perjalanan spiritual yang heroik dan luar biasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Peristiwa ini tentu saja bukan bualan atau akal-akalan, mengingat Nabi adalah sosok yang jujur dan terpercaya, bahkan jauh sebelum dirinya diangkat sebagai nabi, masyarakat telah lebih dahulu menyematkan gelar “al-Amin” (yang terpercaya) kepadanya. Memang, peristiwa Isra yang menghantarkan Nabi hingga ke Baitul Maqdis di Palestina sempat heboh dan dicemooh sebagian orang, karena sangat tak masuk akal. Bagaimana tidak, jarak Mekah-Palestina yang kurang lebih 1500 km, memakan waktu tempuh sekitar satu bulan, rasa-rasanya tak mungkin dilakukan jika Nabi mengaku hanya melakukannya dalam waktu kurang dari satu malam. Sebagian orang Quraisy tak mempercayainya, bahkan menyebut cerita ini sebagai bentuk kekonyolan dan fiktif belaka.

Peristiwa ini-pun hampir-hampir membuat sahabatnya Abu Bakar meragukannya, karena lagi-lagi akal sehat sulit menjangkaunya. Satu-satunya jalan yang dapat meyakinkan adalah menanyakan langsung kepada Nabi soal bagaimana ciri-ciri Baitul Maqdis, karena Abu Bakar pernah singgah sebelumnya ketika perjalanan niaganya. Semua yang diceritakan Nabi kepada Abu Bakar, tak ada satupun yang meleset soal ciri-ciri dan kondisi Baitul Maqdis, sehingga dirinya dengan yakin membenarkan cerita Nabi bahkan sampai berkali-kali membenarkan setiap Nabi menceritakan apa yang dialaminya. Itulah kenapa, Abu Bakar kemudian diberi gelar “Ash-Shiddiq” (yang membenarkan), karena dialah satu-satunya orang yang dengan begitu yakin, sangat percaya atas seluruh apa yang diceritakan Nabi, tanpa harus meminta pertimbangan akalnya terlebih dahulu.

Bagi saya, peristiwa Isra dan Mi’raj sarat dengan pelajaran hidup manusia yang patut diambil teladannya. Karena Isra yang berarti “perjalanan” dalam waktu singkat adalah serupa dengan perjalanan seluruh kehidupan manusia yang juga dirasa sangat cepat. Tanpa disadari, tentu kita merasakan betapa cepatnya waktu berputar setiap hari, tanpa dapat ditahan melaju sesuai gerak arah jarum jam. Inti dari seluruh kehidupan manusia tentu saja perjalanan, dari satu titik menuju titik lainnya, bertemu dengan banyak orang dan merasakan berbagai peristiwa. Perjalanan di dunia tentu saja sesaat, sekadar bermain-main dan bersenda gurau karena kehidupan abadi sesungguhnya ada dalam peristiwa Mi’raj (naik ke tempat yang lebih tinggi) di luar bumi yang kita pijak.

Ada peristiwa menarik ketika Nabi melakukan perjalanan Isra ini, dimana diceritakan dalam banyak riwayat hadis, bahwa dirinya bertemu dengan nabi-nabi pendahulunya dan diperintahkan untuk memilih diantara tiga pilihan: air putih, susu, dan minuman keras (khamr). Entah kenapa, ada dorongan kuat agar Nabi memilih susu diantara ketiganya dan tentu saja itu pilihan terbaik. Memilih air, berarti umatnya kemungkinan akan ditenggelamkan, seperti umat-umat nabi terdahulu; memilih minuman keras, jelas akan berdampak pada umatnya yang nantinya gemar mengkonsumsi minuman ini; dan pilihannya untuk meminum susu, justru memberikannya banyak faidah, karena selain menyehatkan, susu adalah simbol “hidayah”, karena warna putih cenderung bermakna kebajikan.

Hidup tentu saja pilihan, kita boleh menentukan sendiri dengan bebas, pilihan apapun yang akan kita ambil, dengan tentu saja memiliki konsekuensi masing-masing terhadap apapun pilihan kita. Peristiwa Isra Nabi Muhammad, tentu saja mengajarkan bahwa setiap manusia dituntut untuk melakukan pilihan dalam hidupnya, bukan sekadar dua pilihan, bisa tiga atau lebih. Yang akan kita pilih tentu saja sesuatu yang menurut akal paling baik, tidak bertentangan dan kalau bisa justru menyelamatkan. Itulah yang dilakukan Nabi ketika dihadapkan pada tiga pilihan yang pada akhirnya selaras dengan pilihan setiap manusia dalam menjalani setiap langkah kehidupannya.

Perjalanan sesungguhnya dalam dimensi kehidupan manusia adalah Mi’raj (mencapai puncak tertinggi) yang dalam bahasa John Renerd dalam buku “In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience”, disebut perjalanan heroik menuju kesempurnaan dunia spiritual yang dialami oleh Nabi Muhammad. Inilah sesungguhnya perjalanan hidup yang abadi, lepas dari penjara kehidupan yang mengungkung raga kita. Dalam terminologi sufistik, hal ini disebut sebagai perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Mi’raj seakan menjadi perjalanan spiritual tanpa penghalang, menembus langsung ke “sidratul muntaha”, tanpa batas, tanpa sekat yang menghalangi antara seorang hamba dengan Tuhannya.

Maka jika Isra merupakan perjalanan “wisata” manusia dalam menempuh kehidupannya di dunia, Mi’raj justru perjalanan ruhani, dimana seorang manusia menyadari, betapa raga ini memiliki keterbatasan, akal ini seringkali buntu, tak mungkin mengungkap seluruh dimensi alam. Ketika akal buntu dan memilih fiksi, maka ruhani tak berhenti, terus menelusuri dan menyingkap tabir kebesaran Tuhan. Itulah kenapa, dalam tradisi Islam, shalat merupakan perjalanan ruhani mencapai puncak ketinggian, sebagiamana proses Mi’raj-nya Nabi. Dan shalat, bukanlah fiksi, tapi fakta  mewujud dalam perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Ikuti tulisan menarik SYAHIRUL ALIM lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB