x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membaca Sejarah di Era Medsos

Bias kepentingan membuat seseorang cenderung membaca teks sejarah menurut sudut pandang yang sudah tersimpan dalam benaknya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Kita membaca teks sejarah karena kita ingin tahu tentang apa yang terjadi, siapa saja yang terlibat dalam suatu peristiwa historis, di mana peristiwa itu berlangsung, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kronologinya. Berbekal berbagai pertanyaan, para sejarawan mengeksplorasi berbagai segi dari peristiwa-peristiwa yang mereka anggap penting dan berpengaruh terhadap perkembangan masyarakat.

Tak semua hal yang ingin diketahui sejarawan dapat terungkap. Di manapun, banyak peristiwa penting yang tidak terungkap seutuhnya. Ada saja segi-segi yang tetap tersembunyi, disembunyikan, tak kurang pula yang diplintir, agar gambaran utuh sebuah peristiwa historis itu tidak tercapai. Banyak pihak berkepentingan atas terungkapnya sebuah peristiwa historis, namun tidak kurang banyak pihak yang tidak ingin peristiwa yang sama terungkap gamblang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gambaran utuh dan akurat mengenai sebuah peristiwa historis memang tidak selalu tercapai. Inilah yang menimbulkan perdebatan, bukan hanya di antara para sejarawan, tapi juga di tengah masyarakat. Mengenai apa yang terjadi pada 30 September 1965, misalnya, para sejarawan tidak satu suara. Begitu pula mengenai peristiwa yang terjadi sesudahnya. Sebagai pembaca awam, bukan sejarawan, menjadi penting untuk membekali diri dengan pemahaman bahwa ‘penulisan sejarah’ mengenai peristiwa tertentu tidak akan lepas dari kelemahan-kelemahan yang dijumpai dalam proses rekonstruksi dan penulisannya.

Menulis sejarah berarti merekonstruksi peristiwa yang sudah lampau, dan karena itu memang tidak mudah. Ada catatan yang ditemukan, tapi banyak yang tidak. Ada ingatan yang dapat dipetik, tapi banyak pula ingatan yang disembunyikan. Tak kurang, lupa pun menjadi sumber kesulitan—pelaku sejarah (penting ataupun figuran) tidak selalu nyaman menyimpan ingatan mengenai peristiwa masa lampau, terlebih jika itu tidak menyenangkan. Belum lagi, kemungkinan bias kecondongan penulisnya, sekalipun ia berusaha untuk bersikap seobyektif mungkin

Begitu pula, dalam membaca teks sejarah, masyarakat pun cenderung mengikuti kacamata yang ia inginkan. Pengalaman hidup dan pengetahuan memengaruhi cara pandang seseorang dalam membaca teks sejarah. Tak semua orang mudah terbuka pikirannya untuk menerima hal-hal baru atau sudut pandang yang berbeda dalam melihat sebuah peristiwa.

Bias kepentingan membuat seseorang cenderung membaca teks sejarah menurut sudut pandang yang sudah tersimpan dalam benaknya. Tidak sedikit orang yang membaca teks sejarah tanpa dibekali niat menemukan kebenaran, melainkan pembenaran atas apa yang ia alami—jika ia merasa jadi korban, ia akan melihat sebuah peristiwa dari sudut pandang sebagai korban serta mengabaikan unsur lainnya.

Kecondongan semacam itu akan mendorong siapa saja yang bias pikiran untuk memilih aspek-aspek tertentu yang ia sukai dan ia perlukan. Ia akan mengenyampingkan aspek-aspek lain yang tidak mendukung bias pikirannya atau melemahkan pendapatnya. Sebagian orang membaca sejarah  secara sepenggal-sepenggal. Membaca sejarah secara sepotong-sepotong, dalam arti mengambil aspek-aspek dan peristiwa-peristiwa yang memperkuat apa yang kita inginkan dan mengabaikan atau menyembunyikan apa yang tidak kita sukai meskipun hal itu faktual terjadi, membuat kita tersesat dan merasa benar sendiri.

Misalnya saja, membaca peristiwa pemboman Hiroshima dan Nagasaki akan membuat kita terkejut: bagaimana mungkin bom nuklir sedahsyat itu diperbolehkan untuk dipakai, ribuan manusia menjadi korban. Bila kita mengabaikan rangkaian peristiwa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, kita akan sukar memahami mengapa pemboman itu dilakukan. Meskipun, bukan berarti kalau kita memahaminya kita akan menyetujui aksi pemboman itu.

Di era media sosial sekarang, banyak peristiwa historis yang dikisahkan kembali dengan cara memusatkan perhatian pada peristiwa tertentu dan mengabaikan rangkaian peristiwa yang mendahuluinya. Pengisahan seperti ini membuat pembaca yang awam tentang hal itu akan tersesat dan mengambil kesimpulan yang salah. Sayangnya, begitu banyak peristiwa bersejarah yang beredar di internet dan kita, sebagai netizen, tidak punya cukup waktu untuk mencari tahu lebih dalam perihal kebenarannya. Begitu kita membaca sebuah peristiwa historis yang dikisahkan demikian menarik, kita cenderung segera memercainya sebagai kebenaran. Ini tantangan kita dalam membaca teks sejarah di era medsos. (Sumber foto: pexels.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB