x

Komunitas Arbanat String Ensemble menyanyikan lagu Indonesia Pusaka bersama puluhan siswa Sekolah Dasar Negeri Gadingkasri, Malang, Jawa Timur, 24 Agustus 2017. Konser mini bertajuk Simfoni Tjinta Tanah Air tersebut sebagai upaya menanamkan rasa cint

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Siapa Sebenarnya yang Masih Butuh Pendidikan?

Ranah politik kita terlalu gaduh. Semua berlomba mengeluarkan suara, berlomba terlihat pintar berpendapat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbicara tentang Hari Pendidikan Nasional, semua mata, biasanya tertuju pada hal yang umum, klasik saja. Mulai dari isu banyaknya anak-anak putus sekolah atau tak mendapatkan pendidikan yang layak, ruang-ruang sekolah yang tak pantas, guru pengajar yang tak memadai, hingga cerita tentang guru honorer serta sekolah-sekolah di daerah terpencil dan perbatasan.

Tak ada sama sekali menyentuh, tentang ranah pendidikan bagi para warga difabel, tentang pendidikan bagi mereka, yang terlahir istimewa. Ya, begitu istimewanya mereka, sehingga seringkali hanya muncul sesekali, dalam berbagai acara amal pencari dana, bukan tentang bagaimana mereka pun berhak mendapatkan pendidikan yang layak, setara dengan yang lainnya… 

Sayangnya, harapan bagi mereka, yang terlahir istimewa ini, untuk bisa mendapatkan perhatian tentang pendidikan, sepertinya, selayaknya panggang jauh dari api. Jangankan berbicara tentang pendidikan mereka, para negarawan, para elit politik kita, yang memegang laju kemudi pemerintahan kita, ternyata lebih membutuhkan pendidikan yang layak, agar mampu berfikir secara logis, dan mampu menggunakan nalar mereka, tak sekedar bersuara tanpa makna.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ya, ranah politik kita terlalu gaduh, terlalu berisik, namun hampir tak ada isinya sama sekali. Hanya ribat rebut hal yang tak penting, dan meninggalkan esensi politik itu sendiri. Seolah semua berlomba mengeluarkan suara, berlomba terlihat pintar dalam mengeluarkan pendapat, namun tak menyentuh akar masalah sama sekali.

Kalau sudah begini, sebenarnya, yang harus dididik, mendapatkan pendidikan yang seharusnya, siapa?

Ing Ngarso Sun Tulodo, demikian kata Soewardi Soerjaningrat. Bahwa seorang pemimpin, harusnya menjadi panutan bagi masyarakat. Baik tingkah laku, perbuatan serta tutur katanya. Dengan para pemimpin yang ada sekarang ini, apa masih semboyan tersebut berlaku?

Sementara mereka, yang katanya menjadi pemimpin ini, malah sibuk dengan kepentingannya sendiri. Tak perduli dengan banyaknya cerita tak berempati di  pelosok negeri.

Mulai dari pendidikan yang tak merata, kesejahteraan yang timpang antara satu dan lainnya, serta hukum yang ditegakkan pilih kasih. Apa para pemimpin ini mau mendengar, atau malah sengaja menulikan telinga serta membutakan matanya melihat banyaknya ketimpangan semacam itu?

Ah ya, sepertinya mental ‘nederlander’ masih melekat, di kepala para elit kita, yang melukai makna hari pendikan nasional, dengan mempertontonkan kebodohan-kebodohan tak bernalar, serta menyuruh rakyat untuk menirunya.

Tujuan pendidikan, menurut Soewardi Soerjaningrat, adalah tentang memanusiakan manusia lain, tentang humanisme, yang seharusnya dimulai dari para pemimpin kepada rakyatnya. Namun sepertinya, para pemimpin kita lupa, tentang kata humanisme, yang segala sesuatunya adalah bukan tentang kepentingan mereka sendiri.

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu