x

Iklan

Rofiq al Fikri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agenda "Men-Suriahkan Indonesia" Di Balik #2019GantiPresiden

Membongkar agenda sebenarnya dari gerakan inkonstitusional #2019GantiPresiden

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sejak hari Minggu, (26/8/2018) kelompok oposisi yang berada di ketiak gerakan #2019GantiPresiden terus berteriak di media sosial seolah mereka sedang dizhalimi regime karena aksinya yang menebar kebencian itu ditolak warga dan tidak mendapat izin aparat keamanan. Mereka hingga saat ini terus mencari simpati di dunia maya.  

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apa yang dilakukan mereka sebenarnya hanya untuk meredam masyarakat luas yang sudah muak dengan gerakan mereka. Masyarakat yang menolak gerakan itu ada di daerahnya karena jelas-jelas gerakan yang isinya hujatan kebencian dan provokasi bahkan cenderung ke arah fitnah terhadap pemerintah.

 

Bayangkan saja, dalam setiap orasinya di panggung Gerakan #2019GantiPresiden, Neno Warisman selalu menyebut warga yang tidak bergabung dengannya merupakan orang yang dzalim. Orang yang mendukung pemerintah dicap kaum kafir Quraisy saat perang Uhud. Pantas saja warga tidak terima dan menolak mereka.

 

Pengamat Politik UNAIR Airlangga Pribadi menilai orasi Neno itu menunjukkan sempitnya wawasan, tendensi kebencian, dan dungu. “Memangnya mereka yang menolak ganti presiden itu kafir quraisy? Memangnya mereka musuh-musuh Islam?” Itu sangat aneh, karena pendukung JKW pun muslim, bahkan cawapresnya pun ulama, Ketua MUI, K.H. Ma’ruf Amin.  

 

Mardani inisiator Gerakan #2019GantiPresiden teriak-teriak demokrasi terancam karena kebebasan berekspresi mereka dihalangi, padahal mereka lah yang justru melanggar demokrasi itu sendiri. Mereka tidak menerima perbedaan pendapat dengan menyeru aksi massa untuk membenci orang yang tidak sepaham dengan mereka.

 

Mantan Ketua MK Jimmly Ashidique mengatakan, kampanye #2019GantiPresiden merupakan kampanye menyebar kebencian. Menurutnya, seharusnya gerakan itu mempromosikan hal-hal positif, tidak usah menjelekkan calon lain yang tidak disukai.

 

Kalau dianggap aparat tidak netral karena tidak memberi izin deklarasi gerakan #2019GantiPresiden di Surabaya, sebenarnya tidak juga. Buktinya, selama ini pendukung JKW dan aparat kepolisian tidak mempermasalahkan setiap ada deklarasi dukungan atau relawan Prabowo-Sandi.

 

Deklarasi gerakan #2019GantiPresiden memang menjadi sangat aneh karena pasangan capres dan cawapres sudah jelas ada. Kalau mereka ingin mengganti Jokowi di Pilpres nanti, kenapa mereka tidak deklarasi dukungan ke Prabowo-Sandi? Ada dua kemungkinan besar, satu mereka tidak puas dengan Prabowo atau memang mereka mau mengganti sistem demokrasi (kepresidenan) dengan khilafah.

 

Untuk kemungkinan pertama, itu bahkan diamini oleh Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief yang mengatakan “Masih berlanjutnya deklarasi ganti Presiden di tengah Partainya sudah mendukung resmi, kesan yang saya tangkap kader PKS sebagai inisiatornya gak yakin Prabowo-Sandi menang. Di balik #2019GantiPresiden ada kader PKS, pertanyaan apakah PKS tidak cocok dengan capres pilihannya?”

 

Kalau dilihat dari perilaku pemilih PKS, itu memang sangat masuk akal. Survei Alvara Research bulan ini mengatakan, dari semua parpol pendukung BoSan, pemilih PKS yang paling sedikit ingin merekomendasikan kepada orang lain agar memilih Prabowo.

 

Sementara itu, dari data A1 kemungkinan kedua justru yang mengerikan. #2019GantiPresiden sebenarnya ditunggangi oleh kader HTI (organisasi yang sudah terlarang di Indonesia karena ingin mengganti Pancasila dengan sistem khilafah). Itu bisa dilihat dari peserta aksi di mana PKS dan HTI all out menjadi peserta.

 

Selama aksi, spanduk #2019GantiPresiden yang dilengkapi dengan simbol HTI pun menjadi bukti. Bahkan, di sebuah video Mardani senyum saja ketika pemimpin HTI meneriakkan “ganti sistem” (NKRI), mereka kompak mengkampanyekan ganti presiden.

 

Banser NU di lapangan benar-benar bersikeras menghadang aksi tersebut karena di lapangan dengan nyata-nyata mereka melihat agenda kelompok HTI dalam gerakan tersebut.

 

Skenario mereka, terus membuat kekacauan, sengaja memaki aparat (bahkan ada yang dicakar) agar tercipta kerusuhan. Setelah kerusuhan tercipta, mereka akan bersikap seolah-olah sebagai korban. Kondisi masyarakat chaos dan mereka gerakan pro khilafah akan masuk dengan bebas.

 

Perlu diingat, perpecahan dan perang saudara di Suriah yang terjadi saat ini diawali oleh gerakan #2011GantiPresiden (Bassar Al Assad). Juga atas nama demokrasi dan kebebasan berpendapat, mereka awalnya melakukan aksi setiap hari Jumat dengan mempolitisasi agama dan masjid.

 

Gerakan itu mengakibatkan perang antar masyarakat. Akibat krisis itu lebih dari 470 ribu jiwa tewas, dan lebih dari satu juta terluka. Sementara 85% mereka yang masih hidup harus kehilangan pekerjaannya dan seperlima angkatan kerjanya terpaksa mencari uang dari perang, seperti dengan menjarah dan menculik.

 

Pola yang sangat persis diperlihatkan oleh Gerakan #2019GantiPresiden. Mereka melakukan kegiatan di hari Minggu dengan isu yang masih sama, politisasi agama. Saat dilarang polisi agar tidak terjadi konflik dengan warga yang menolak gerakan itu, mereka ngotot untuk terus ada di lokasi sambil memaki-maki petugas dan masyarakat yang menolaknya.

 

Kerusuhan dengan sesama masyarakat memang itu tujuan mereka agar ada kesempatan kelompok pro khilafah itu menunjukkan bahwa sistem demokrasi sudah rusak, sehingga khilafah jalan keluarnya. Kalau mereka mau demokrasi, kenapa mereka tidak mengendorse Prabowo-Sandi? Mereka benar-benar ingin mengganti presiden dengan bentuk lainnya.

 

Hal itu sangat didukung fakta bahwa Abu Jibril merupakan Ketua Presidium #2019GantiPresiden dan Penyokong Aksi Terorisme di Indonesia.

 

Gerakan yang tentu saja sangat inkonstitusional, karena ingin mengganti dasar negara. Sadar dengan itu, dari awal Mardani terus menerus membentenginya dengan mengatakan itu gerakan yang konstitusional. Kalau mereka yakin konstitusional, seharusnya mereka tidak perlu mengatakan gerakannya konstitusional.

 

Mereka selalu meneriakan, #2019GantiPresiden itu dijamin oleh konstitusi melalui UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 22 ayat 3. Namun mereka tidak membaca dengan utuh UU tersebut, karena bunyi sebenarnya dalam menyampaikan pendapat harus memperhatikan ketertiban umum.

 

"Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronikdengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.

 

*Aparat kepolisian tidak memberikan izin deklarasi #2019GantiPresiden karena berdasarkan UU Pasal 6, No.9/1998. Dalam pasal itu, aparat bisa membubarkan atau tidak memberi izin acara jika penyampaian pendapat menimbulkan permusuhan,kebencian, dan berpotensi terjadinya bentrokan antara masa yang pro dan yang kontra.* Polisi juga belajar dari deklarasi-deklarasi sebelumnya, di mana mereka melihat betul orasinya berisi ujaran kebencian, provokatif, dan menjurus fitnah.

 

Sebenarnya ujaran-ujaran penistaan, penghinaan, pencemaran nama baik kepada pemerintah dalam orasi #2019GantiPresiden pun perbuatan pidana. Hal itu tercantum di Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, dan Pasal 316 dan 207 KUHP.

 

Perlu digarisbawahi, Polisi tidak memberi izin bukan tanpa alasan atau bukan karena tidak netral, melainkan karena banyak warga yang menolak dan agar tak terjadi bentrokan fisik. Buktinya di beberapa daerah sebelumnya saat deklarasi #2019GantiPresiden di mana tidak ada kelompok warga yang menolak, polisi tetap memberi izin (contohnya di Solo saat mereka deklarasi di depan Markobar).

 

Dan di setiap deklarasi relawan Prabowo-Sandi aparat tidak pernah ada yang melarangnya, warga yang tidak pro Prabowo pun tidak ada yang mempermasalahkannya. Jadi, memang sengaja mereka menginginkan terjadinya chaos. (duplikasi awal perang saudara Suriah).

 

Buktinya apa? Minggu depan 2 Agustus 2018 mereka kembali akan menggelar deklarasi di Solo, Jateng basis pendukung Jokowi. Mereka sudah tahu bakal ada penolakan, tetapi mereka tetap akan memaksa agar tercipta chaos lagi seperti yang hampir terjadi di Surabaya.

 

Aneh kan, kalau hanya deklarasi, di Solo kan sudah, kenapa mau deklarasi di sana lagi?

 

Mereka PKS dan HTI memilih jalur itu dengan menunggangi gerakan #2019GantiPresiden karena mereka sudah berhitung, jika bertarung secara fair di Pilpres 2019 mereka akan kalah karena calon mereka BoSan tidak cukup kuat.

 

Oleh karena itu, mereka akan mencoba menempuh jalan lain, yaitu menciptakan chaos di masyarakat, menciptakan perang saudara agar agenda khilafah HTI bisa kembali mendapat ruang (karena di era Jokowi mereka dibubarkan).

 

Yang kita hadapi bukanlah sekadar ajang Pilpres 2019, melainkan upaya mempertahankan keutuhan negara. Jangan biarkan Indonesia “diSuriahkan” oleh mereka! Dukung aparat menjaga demokrasi negeri ini dari serangan kaum mereka yang sebenarnya sangat anti demokrasi.

 

Oleh : Rofiq Al Fikri

Koordinator Jaringan Masyarakat Muslim Melayu

 

Ikuti tulisan menarik Rofiq al Fikri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB