x

Iklan

Arif Rudi Setiyawan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Unsur Budaya Jawa untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Budaya Jawa memiliki kaidah dasar yang dapat diterapkan untuk mengatasi radikalisme dan terorisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Unsur Budaya Jawa untuk Menangkal Radikalisme dan Terorisme

Oleh: Arif Rudi Setiyawan

 

A.        Faktor-Faktor Konflik

Dalam artikel berjudul “Musyawarah sebagai Basis Prosedur Resolusi Konflik yang dimuat di situs Indonesiana.tempo.co, pada tanggal 18 September 2018,” penulis menyitir pendapat John Burton yang menyebutkan bahwa konflik di antara umat manusia terjadi akibat adanya dorongan untuk berjuang pada seluruh tataran sosial dalam usaha manusia memenuhi kebutuhan primordial-universalnya, yaitu kebutuhan rasa aman, identitas, pengakuan dan pembangunan (Teori Kebutuhan Manusia). Kali ini, kami akan mencoba menggambarkan satu-persatu faktor yang terindikasi melahirkan konflik antara Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) berhadapan dengan negara. Selanjutnya penulis ingin memaparkan pula unsur-unsur budaya Jawa yang layak menjadi pedoman sebagai penangkal radikalisme dan terorisme yang muncul dari faktor konflik itu.

Berikut ini adalah empat faktor konflik yang diderita JAT mengacu pada Teori Kebutuhan Manusia:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Kebutuhan Rasa Aman

Dalam buku Tadzkiroh I pada butir 4, Ustadz Abu Bakar Baasyir menuliskan nasihat kepada para pemimpin negara untuk bertaubat dan menaati perintah Allah agar mengatur negara dengan hukum Allah secara murni dan kaffah agar selamat dari siksa neraka. Pernyataan tersebut menunjukkan keinginan adanya pemenuhan kebutuhan rasa aman. Buku Tadzkiroh merupakan pernyataan sikap yang menggambarkan cita-cita dan perjuangan organisasi itu. JAT bercita-cita agar umat Islam selamat dari azab dan siksaan Allah baik di dunia maupun akhirat dengan cara memperjuangkan tegaknya syariat Islam dan menjalankan perintah Allah dengan mengatur negara secara murni dan kaffah. Ustadz Abu bakar Baasyir sebagai pemimpin kelompok JAT, meyakini bahwa rakyat dalam negara yang tidak diatur dengan hukum Islam maka amal ibadahnya sia-sia.

2. Kebutuhan Identitas

Kelompok JAT merasa memiliki identitas yang berbeda dengan orang-orang yang tidak satu pemahaman dengan mereka, di samping itu mereka tidak cocok dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan hidup berbangsa dan bernegara. JAT menghendaki umat Islam-lah yang memimpin negara, umat beragama lain akan dilindungi dan dinaungi dalam hukum Islam. Kelompok tersebut menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam sedunia dalam satu khilafah. Identitas keislaman itulah yang diperjuangkan dengan pengorbanan besar sekalipun.

3. Kebutuhan Pengakuan

JAT menginginkan umat Islam diakui sebagai pemimpin. Pengelolaan negara harus dilakukan berdasarkan hukum Islam yang diakui sebagai hukum dasar negara. JAT menekankan bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Tuhan yang dipastikan kebenarannya, oleh karena itu negara harus didasarkan pada hukum Islam. Pancasila bukan pilihan terbaik, karena hanya bersumber dari pikiran manusia, Pancasila belum-lah final, masih dapat diubah dan diperdebatkan. Dalam negara yang mayoritas beragama Islam, JAT menyayangkan bukan hukum Islam yang diakui dan digunakan untuk mengelola negara.

4. Kebutuhan Pembangunan

JAT melihat bahwa negara demokrasi tidak membawa kemakmuran bagi masyarakat. Demokrasi justru telah menjadi penyebab perpecahan, perselisihan dan ketidakadilan. Keadilan dapat diwujudkan manakala umat Islam membangun masyarakat dengan ekonomi Islam yang adil dan merata. Menurut JAT, negara demokrasi menyuburkan ideologi kapitalisme yang materialis. Islam mengajarkan bahwa mereka dan apa yang dimilikinya adalah milik Tuhan. Umat Islam diberi amanat sebagai khalifah untuk mengelola bumi berdasarkan kehendak Tuhan.

Setidaknya faktor-faktor di atas adalah kebutuhan primordial-universal kelompok JAT yang ingin dipenuhi, oleh karena itu selalu mereka perjuangkan setiap saat. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan itu dapat mengakibatkan ketidak-stabilan sosial, menurut Burton pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan semacam itu  tidak dapat ditawar.

B. Ide untuk Menanggulangi Terorisme

John Burton menyatakan: “Konflik tidak dapat diselesaikan dengan kekuatan bersenjata dan juga negosiasi antar-pihak yang bertikai. Resolusi konflik tidak berakhir di meja negosiasi namun merupakan suatu proses untuk menciptakan suatu struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia.”

Petikan di atas adalah konsep tentang bagaimana resolusi konflik seharusnya dijalankan. Belajar dari pengalaman penanggulangan terorisme di masa lalu, sesuai dengan konteks waktu dan tantangan zaman, pada awalnya pemerintah berusaha menyelesaikan fenomena itu dengan pendekatan kekuatan bersenjata, pada batasan tertentu pendekatan itu berhasil. Secara fisik terorisme dapat ditekan, akan tetapi ternyata tidak dapat menyelesaikan hingga ke akar persoalan. Misalnya, ketika pemerintah berhasil mengatasi pemberontakan oleh kelompok DI/TII. Secara fisik kekuatan kelompok itu sudah berhasil dieliminasi, akan tetapi tidak demikian secara ideologi. Bahkan, kelompok yang muncul pada awal kemerdekaan juga telah menjadi benih bagi kemunculannya kelompok-kelompok baru yang memiliki ideologi dan cita-cita serupa.

Saud Usman (2015), memberikan penilaian yang menarik sebagai berikut: “Dulu ada DI/TII ada GAM bermacam-macam, tapi tujuannya sama, khilafah. Dari waktu ke waktu, dari era ke era ini berlangsung terus, berbagai upaya pemerintah dalam rangka untuk mengantisipasinya toh belum ada solusi yang tepat. Kita bisa lihat orde lama pendekatan militer gagal, orde baru pendekatan militer gagal....”

Di era reformasi upaya penggunaan kekuatan senjata pun dilakukan, misalnya pada penyergapan di Jantho Aceh, penangkapan terduga teroris atau buron teroris dan peristiwa-peristiwa terbaru lainnya. Pemerintah juga menggunakan kekuatan senjata ketika menangkap terduga teroris perencana bom di Cirebon. Namun, terdapat perbedaan antara penggunaan senjata pada era ini dengan di masa sebelumnya, pendekatan itu digunakan terbatas sebagai upaya penegakan hukum dan pemenuhan keadilan.

Ide untuk menangkal radikalisme dan terorisme dari waktu ke waktu perlu untuk selalu disempurnakan. Munculnya gagasan yang menawarkan penanggulangan terorisme dengan Pendekatan Penyelesaian Masalah(Problem Solving Approach) dengan mengajak kelompok radikal untuk bersama-sama bekerja memenuhi kebutuhan masing-masing, atau memulai suatu proses untuk menciptakan struktur baru yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, saat ini terdengar masih asing. Namun hal itu tidak-lah mustahil dilakukan sebab konsep deradikalisasi pun pada mulanya juga terdengar asing, seperti yang disampaikan mantan ketua BNPT Saud Usman ketika memperkenalkan konsep deradikalisasi yang disalah-pahami oleh masyarakat Barat. Dalam seminar di Jakarta pada bulan Desember 2015, beliau mengatakan:

"Di era reformasi inilah kita menemukan suatu konsep, yaitu konsep deradikalisasi, akan tidak selesai masalah itu pengalaman kita, tapi harus diikuti dengan bagaimana pendekatan kultur budaya kita ke depan. Itu juga pada awalnya konsep ini kami bawa ke Eropa, di berbagai negara saat itu orang kita (BNPT) dianggap mendukung teroris. Dan kami katakan bahwa kami korban teroris, bisa dikatakan, kita lihat ada akar masalah yang harus diselesaikan tidak semata-mata menganggap teroris, tapi apa sih permasalahannya, apa motivasinya? Pertama dendam, rasa ketidakadilan, kesenjangan sosial, kemiskinan dan dampak-dampak daripada otonomi yang tidak pro-rakyat, ada diskriminasi dan yang ingin membentuk khilafah. Mereka sedikit, tapi diperparah oleh berbagai akar masalah tadi yang belum terselesaikan...."

C. Unsur Budaya Jawa

Agar upaya penanggulangan radikalisme dan terorisme semakin efektif, diperlukan adanya kaidah fundamental yang sudah teruji untuk menjadi landasannya. Penulis menilai bahwa ada unsur-unsur budaya Jawa layak untuk digunakan sebagai fundamen untuk menangkal faktor penyebab radikalisme dan terorisme. Ahmad Adaby Darban (2004), menuliskan bahwa dalam  budaya Jawa ada beberapa kaidah dasar untuk meredam konflik, yaitu:

1. Prinsip Rukun

Rukun adalah keserasian hubungan sesama manusia secara horizontal dengan upaya mewujudkan dan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis, yaitu selaras, tenang, tenteram, bersatu, dan saling membantu. Prinsip ini dapat mengikat masyarakat selalu dalam keadaan harmonis meskipun memiliki perbedaan kebutuhan maupun latar belakang. Kelompok radikal akan sulit lahir dari masyarakat yang rukun.

2. Prinsip Hormat

Prinsip hormat berkaitan dengan pemeliharaan keharmonisan dalam hierarki sosial, yaitu adanya usaha menempatkan orang lain pada kedudukannya (statusnya), seperti misalnya dengan kedua orang tua, guru, kyai, pemimpin dan tokoh yang dihormati. Dalam kehidupan bernegara prinsip hormat dapat berkaitan dengan penghormatan terhadap negaranya. Seseorang yang menghormati bangsa dan negaranya akan timbul nasionalisme. Prinsip hormat juga terkait dengan kemauan menghargai pendapat pihak lain yang berbeda sehingga akan menangkal seseorang dari radikalisme.

3. Tepa Selira

Tepa selira adalah usaha untuk tidak melakukan tindakan yang dapat menganggu ketenteraman dan perasaan orang lain. Dengan tepa selira orang akan berusaha melakukan tindakan sambil mempertimbangkan perasaan dan posisi psikologis orang lain. Konsep ini berusaha menjaga ketenteraman batin orang lain. Dengan tepa selira, akan timbul kehati-hatian dalam bertindak sehingga tidak akan saling menyakiti.

4. Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah

Artinya kerukunan akan menjadikan kuat, sedangkan konflik akan menjadikan perpecahan. Dalam masyarakat Jawa, konflik adalah perbuatan tercela yang harus dihindari. Sebaliknya kerukunan, kebersamaan, persatuan dan persaudaraan harus diwujudkan untuk membuat kekuatan dalam hidup bermasyarakat. Ungkapan kata ini menunjukkan bahwa kerukunan akan menumbuhkan kekuatan dan persatuan sedangkan pertikaian, konflik akan menimbulkan perpecahan dan kerusakan.

5. Ngalah Gedhe Wekasane

Ungkapan ini artinya adalah mengalah besar penghargaannya. Konsep mengalah (ngalah) tidak berarti kalah, akan tetapi ada kesengajaan tidak mengadakan perlawanan, demi masa depan yang lebih baik atau lebih besar manfaatnya. Apabila pihak-pihak yang berkonflik menyadari besarnya manfaat mengalah tentu tidak akan muncul benih konflik yang bermanifestasi menjadi radikalisme dan terorisme.

6. Aja Dumeh

Ungkapan ini diperuntukkan bagi orang-orang yang sedang mendapat kekuatan, kekuasaan, kekayaan, kesempatan, dan berbagai kelebihan lain yang akan menjurus ke tingkah laku merugikan. Tingkah laku itu antara lain, sombong, merendahkan orang lain, serta men-zalimi orang lain. Ungkapan ini mirip dengan istilah “adigang-adigung-adiguna” yang tepat ditujukan kepada pemerintah khususnya dalam menanggulangi radikalisme dan terorisme agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak sewenang-wenang. Tepat pula ditujukan kepada kelompok masyarakat atau ormas agar tidak ingin menang sendiri dan menolak pihak lain.

7. Sing Sabar, Subur

Ungkapan “sing sabar, subur” artinya orang yang sabar akan sejahtera dan selamat sehingga terhindar dari konflik. Tidak boleh gegabah dalam menyelesaikan masalah, tidak boleh atau mengambil jalan pintas melalui prosedur yang tidak benar dalam mengusahakan sesuatu. Berlaku sabar harus dilakukan dengan prosedur yang benar, sehingga akan membuahkan hasil yang baik tanpa menimbulkan benturan.

8. Rembug Bareng

Rembug bareng artinya adalah musyawarah bersama. Dalam memecahkan persoalan atau memutuskan sesuatu terkait kepentingan khalayak, musyawarah mufakat sebaiknya selalu dilakukan. Musyawarah dapat menghasilkan keputusan yang memuaskan sebagian besar warga masyarakat, sehingga dapat meredam kemungkinan munculnya konflik.

Beberapa unsur kebudayaan di atas merupakan prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa yang layak diterapkan sebagai kaidah dasar untuk menangkal radikalisme dan terorisme. Nilai-nilai luhur yang sudah teruji tersebut dapat mendukung proses untuk menciptakan struktur yang kondusif bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia sehingga radikalisme dan terorisme dapat diatasi.

Ikuti tulisan menarik Arif Rudi Setiyawan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB