x

Direktur Jendral Haji dan Umroh Kementerian Agama Republik Indonesia, Anggito Abimanyu. Tempo/Aditia Noviansyah

Iklan

Anggito Abimanyu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelajaran dari Sepuluh Tahun Pasca Krisis Global

Sepuluh tahun yang lalu, krisis global 2008 bermula dari ketidakpampuan nasabah mengembalikan kredit perumahan (subprime mortgage), kemudian menjadi macet,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pelajaran dari Sepuluh Tahun Pasca Krisis Global

Dr. Anggito Abimanyu

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dosen UGM Yogyakarta

 

Bagi kita di Indonesia, krisis moneter (krismon) 1998 jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan krisis gobal 2008. Krisis moneter 1998 berpusat di perbankan dan sektor keuangan Indonesia, sementara episentrum krisis global 2008 ada di AS dan Inggris. Krisis global 2008 terasa di AS dan di Eropa, terutama perlambatan ekonomi dan naiknya PHK. Yang mungkin tidak kita ketahui adalah apabila krisis gobal 2008 tidak tertangani, sedahsyat apa dampak pada ekonomi Indonesia.

Sepuluh tahun yang lalu, krisis global 2008 bermula dari ketidakmampuan nasabah mengembalikan kredit perumahan (subprime mortgage), kemudian menjadi macet, terjadi bank gagal dan merembet menjadi krisis pada lembaga-lembaga terkemuka dunia. Lehman Brother adalah sebuah lembaga investasi keuangan dunia yang menjadi korban kredit macet tersebut dan akhirnya bangkrut.  Sebanyak 12 lembaga keuangan besar lainnya diselamatkan melalui talangan atau bailout oleh Kementerian Keuangan dan Bank Sentral AS. Di Inggris lembaga keuangan investasi besar seperti Northern Rock juga bangkrut.

G20 melakukan penyelamatan melalui intervensi kebijakan moneter Bank Sentral dan fiskal Pemerintah. Jumlahnya jika disetarakan dengan uang, tidak tanggung-tanggung, yakni setara dengan 5% dari PDB dunia. Bank Sentral di seluruh dunia menurunkan suku bunga sekitar 300 bps atau 3%, dan kementerian keuangan dunia melakukan stimulus melalui defisit APBN nya masing-masing hingga 2% dari PDB. Tata Kelola di lembaga keuangan diperbaiki. Lembaga multilateral seperti IMF, ADB dan Bank Dunia ditambah modal agar berperan sebagai stabilisator. Untuk memastikan pelaksanaannya, seluruh presiden dari 20 negara, petinggi lembaga multilateral diundang ke Washington dan London pada tahun 2008 untuk menandatangani deklarasi kesepakatan pemimpin dunia. Dalam pertemuan tahunan ADB di Bali tahun 2009, para pemegang saham menyetujui penambahan modal ADB untuk pencegahan krisis di Asia.

Stimulus global tersebut memang berhasil meredakan krisis global. Nilai mata uang dunia mulai stabil, inflasi menurun, sektor keuangan mengalami kecukupan modal,  penurunan suku bunga bank sentral dan  stimulus fiskal mendorong pertumbuhan ekonomi.  

****

Secara berkala minimal 3 tahun pasca krisis seharusnya stimulus global dikurangi, artinya suku bunga mulai dinaikkan dan stimulus fiscal dikurangi, dan regulasi sektor keuangan diperlonggar. Jika tidak dilakukan pemulihan maka sektor keuangan akan sulit bernafas dan kembali mengalami krisis, sementara dengan defisit fiskal, beban utang negara akan melebihi ambang batas aman.

Meskipun dalam Deklarasi Pemimpin Dunia dinyatakan bahwa exit strategy yakni penyesuaian suku bunga Bank Sentral dan penurunan Defisit Fiskal dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan waktu yang tepat, namun dalam pelaksanaan tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Setiap kali akan ada pengumuman kenaikan suku bunga AS atau Fed Fund Rate, reaksi pasar selalu negatif. Kalau tidak jadi dinaikkan, tidak mengembalikan ke posisi keseimbangan awal.

Reaksi negatif pasar terjadi di hampir seluruh pasar keuangan dunia. Namun magnitude atau tingkat gejolaknya tergantung pada kondisi ekonomi makro di masing-masing negara. Kenapa Indonesia termasuk negara yang terkena dampak yang cukup dalam dibandingkan negara-negara peer (setara)? jawabannya karena kondisi makro ekonomi kita tidak sekuat mereka. Inflasi Indonesia masih cukup tinggi, neraca transaksi berjalan negatif menyentuh ambang batas, pertumbuhan impor lebih cepat dibanding ekspor, kecukupan cadangan devisa belum aman. Kredibilitas kebijakan Bank Sentral juga sering tidak diikuti otoritas yang lain. Saat ini suku bunga 7DRR Bank Indonesia sudah naik lebih dari 100 bps (1%), kenaikan suku bunga penjaminan LPS baru 50 bps (0,5%).

Dampak situasi global bukan hanya masalah eksternal tetapi ada unsur ketahanan dalam negeri yang menjadikan dampak negatif lebih serius dibandingkan negara lain.

Pemerintah sudah mengumumkan kebijakan perbaikan keseimbangan eksternal, termasuk menekan impor dan mendorong ekspor antara lain melalui kebijakan bea masuk dan perpajakan.  Pengalaman terdahulu menunjukkan kebijakan tersebut tidak cukup efektif, karena perpajakan bukan instrumen untuk mengurangi tekanan neraca pembayaran. Kebijakan DHE (Devisa Hasil Ekspor) untuk mampir ke sistem keuangan Indonesia belum efektif karena DHE yang dimaksud dari minyak dan gas tidak tunduk pada kebijakan tersebut. Kenaikan harga BBM untuk mengurangi impor dianggap tidak populer.

Mudah-mudahan pemerintah sadar bahwa kebijakan sulit harus diambil untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia sebelum terlambat…….

 

 

Ikuti tulisan menarik Anggito Abimanyu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu