x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Opini Lebih Dipercaya ketimbang Fakta

Dihadapkan pada banjir informasi melalui berbagai saluran, masyarakat sukar membedakan antara opini dan fakta.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Berita palsu alias bohong atau hoax memang membahayakan masyarakat. Di tengah luapan informasi yang membanjiri setiap hari, masyarakat relatif sulit—dan seringkali juga enggan—memeriksa kebenaran sebuah informasi. Sering terjadi informasi yang diterima langsung dianggap sebagai ‘benar’ tanpa verifikasi, tabayyun, ataupun check and recheck. Daya rusak hoax sudah terbukti dalam kasus mutakhir, karena kemampuannya menimbulkan kegaduhan nasional.

Namun hoax bukan satu-satunya bahaya. Ada bahaya lain yang tidak kalah hebat dampaknya, yakni klaim kebenaran—kecondongan untuk mengatakan bahwa ‘saya atau kami yang paling benar’. Klaim ini dikonstruksi melalui opini. Opini yang lantang dan disampaikan berulang-ulang akan memengaruhi pikiran masyarakat. Masyarakat akan mempersepsikan opini ini sebagai logis, masuk akal, dan karena itu benar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana nasib ‘fakta’? Opini yang disebarkan melalui berbagai saluran dan  berulang-ulang akan mampu ‘mengalahkan’ fakta. Fakta-fakta dimanipulasi, disembunyikan, dipotong, dipoles, disambung, dan dilepaskan dari konteksnya. Opini yang disebarkan secara masif dan terus-menerus melalui berbagai saluran, baik televisi, media cetak, radio, internet, maupun media sosial, akan membuat banyak orang percaya bahwa begitulah yang sebenarnya terjadi. Fakta menjadi tidak penting lagi. Fakta tersingkirkan. Yang lebih penting, dan karena itu (dianggap) benar, ialah opini. Dihadapkan pada banjir informasi melalui berbagai saluran, masyarakat sukar membedakan antara opini dan fakta.

Agar opininya terlihat benar dan dapat dipertanggungjawabkan, seseorang akan mengambil bahan dan data dari mana saja dan kemudian mengonstruksi sesuai keinginannya. Ia menarik kesimpulan sesuai kepentingannya.

Dalam bukunya yang terbit pada 2004, The Post-truth Era, Ralph Keyes memopulerkan istilah pasca-kebenaran (post-truth) untuk menggambarkan situasi itu. Ketika pada tahun 2016, tim Oxford Dictionaries menetapkan istilah post-truth sebagai ‘Kata Tahun Ini’, tak lain karena di sepanjang tahun 2016 berbagai opini dikemas sedemikian rupa sehingga masyarakat diyakinkan bahwa yang disampaikan itu adalah kebenaran yang faktual. Menurut tim Oxford, pengemasan opini agar diyakini publik sebagai fakta berlangsung antara lain pada referendum Brexit di United Kingdom dan pemilihan presiden di AS yang dimenangi Donald Trump.

Opini yang digemakan tanpa henti akan mampu mengaburkan yang faktual, sehingga dianggap sebagai kebenaran. Klaim kebenaran yang disebarkan secara masif dan terus-menerus bagaikan air yang menggerus batu dan membuat orang akhirnya percaya bahwa begitulah kenyataannya, memang begitulah yang terjadi meskipun sebenarnya tidak. Terlebih lagi, apabila informasi itu seiring dengan kecondongan emosi, harapan, dan keyakinannya, banyak orang akan cenderung lebih cepat memercayai informasi itu ketimbang bersikap kritis dan memeriksa kebenarannya terlebih dulu. Ketika sebuah opini sesuai dengan kecondongan emosi, harapan, atau keyakinan Anda, Anda akan cenderung tidak memeriksa terlebih dulu apakah opini itu menggunakan dasar fakta yang sebenarnya ataukah sudah diplintir atau diramu.

Filosof AC Grayling mengingatkan bahwa salah satu muatan kunci dalam budaya post-truth ialah keriuhan yang berlangsung di media sosial. Keriuhan ini terjadi karena di dalam wacana yang berlangsung di media sosial terkandung unsur ‘i-bite’, yang artinya opini lebih kuat akan menenggelamkan bukti atau fakta. Ada adagium yang berlaku di era pasca-kebenaran, yakni ‘Pendapatku lebih berharga daripada fakta-fakta.’ Opini yang membanjiri ruang-ruang media sosial mampu mengubah yang salah jadi (dianggap) benar dan yang buruk jadi (dianggap) baik, serta sebaliknya.

Dengan cara itulah, mereka yang berusaha menghegemoni kebenaran bekerja. Bagi mereka, fakta hanyalah bahan dasar yang dapat diubah sesuai kebutuhan dan kepentingan. Opinilah yang harus disajikan. Jika opini berhasil memengaruhi masyarakat, fakta yang benar tidak lagi dianggap penting dan akan dilupakan dengan cepat. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu