Ketika Isi Berita Kalah Populer dari Kolom Komentar

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lebih seru membaca kolom komentar. Judul yang mengangkat salah satu kubu politisi saat ini bakal mengundang perdebatan.

Ada yang berubah kala membaca postingan berita mainstream di linimasa media sosial. Saya kok nggak tertarik klik isi beritanya. Lebih seru membaca kolom komentar. Judul yang mengangkat salah satu kubu politisi saat ini bakal mengundang perdebatan. Tapi sebatas di kolom komentar. Anehnya lagi, hampir semua yang berkomentar itu tidak membaca isi berita.

Mungkin ini salah satu efek dari perubahan di zaman teknologi gawai yang semakin maju. Kita bebas memberikan tanggapan di mana pun, kapan pun kita mau. Bebas. Apalagi bagi manusia tanpa kejelasan, akun media sosialnya saja bodong. Makanya dia bebas ngomong apa saja. Nggak takut sedikitpun.

Di berbagai kolom komentar berita online sudah seperti ruang debat kusir. Menembus batas norma kesopanan. Kalimat kasar penuh makian terlontar dari mereka yang punya kuota. Semudah menggerakkan jemari. Dan diksi-diksi itu terbang melayang di udara. Menyambar hati banyak orang. Melukai pendukung lainnya.

Boleh jadi, netizen yang mengeluarkan kata-kata tak pantas itu lagi tiduran di kasur empuk. Mungkin juga lagi duduk santai di warung kopi. Sambil menyeruput kopi atau teh hangat. Menebar senyum indah sembari membaca tanggapan di kolom komentar. Dengan sengaja membuat onar. Lalu menertawakan orang-orang yang berselisih paham selanjutnya.

Akun-akun media sosial tidak jelas itu mungkin dibayar mahal untuk memecah kita. Mengumpat dengan kasar. Lalu tertawa girang. Dapat bayaran mahal pula. Enaknya sama mereka. Kita yang gontok-gontokan.

Kebebasan ini mungkin sudah melewati batas. Ah, saya kok jadi sok bijaksana begini, ya. Manis sekali kalimat-kalimat ini, hehehe. Tapi saya nggak pernah memberi komentar kasar, kok. Suer dah. Sedih juga membaca kolom komentar yang penuh nada-nada hujatan seperti itu. Masing-masing membela junjungannya mati-matian. Terpancing provokator akun penyebar fitnah.

Jadi, sebenarnya ini salah siapa?

Bingung juga sih lihatnya. Pihak admin yang memposting berita online itu kan bisa menyaring komentar netizen. Tapi kan nggak seru lagi? Justru kolom komentar itu menjadi semacam ring tinju. Arena pertarungan para pendukung garis keras.

Yang lucu dan menggemaskan itu melihat komentar orang-orang yang tidak membaca artikel beritanya, tetapi langsung nimbrung di kolom komentar. Memberi petuah atau langsung memberi hukuman/judgement. Sebatas membaca judul. Tak tahu-menahu tentang topik perbincangan. Kalau orang sini bilang asbun. Asal bunyi. Kalau di Makassar bakal dapat julukan Sotta alias sok tahu. Benar atau tidak urusan belakang. Yang jelas bunyi dulu. Hehe.

Saya kok mikirnya begini. Sebaiknya pihak mimin alias admin menyaring komentar-komentar yang bernada negatif itu. Ini memang berat. Butuh ketegasan dari pihak media. Di sini nih yang bakal jadi bukti kalau pihak media itu netral. Nggak ikut-ikutan mendukung salah satu calon di pemilu. Emang masih ada media yang netral saat ini? Serius nanya.

Meski sekilas  seperti mengungkung kebebasan berpendapat, tetapi menyaring komentar berbau kasar dan tak pantas itu bisa jadi solusi. Ini sebagai salah satu bentuk perlindungan kepada generasi muda. Karena media sosial zaman now itu tak hanya diakses oleh orang dewasa. Anak-anak pun sudah bebas berinteraksi di dunia maya dengan modal gawai dan kuota data.

Makanya jangan hanya menyalahkan anak-anak kita yang sudah pintar ngomong kasar. Itu tidak terjadi begitu saja. Tidak secara instan. Boleh jadi mereka korban keserakahan generasi sebelumnya. Kok keserakahan sih? Iya, serakah kata-kata kasar, hahaha.

Jadi bagaimana nih? Saya kok jadi bingung sendiri.

Kira-kira mau nggak perusahaan media itu menyaring kolom komentar? Meski bisa menggerus minat netizen untuk mengklik berita yang diposting. Ini penting nih. Generasi milenial dan generasi Y semakin besar populasinya. Mau jadi apa mereka jika setiap hari menyantap bahasa kasar dan tidak beretika di media daring.

Puncak bonus demografi sudah di pelupuk mata. Anak-anak muda bakal lebih banyak jumlahnya di negara kita. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bonus demografi akan terjadi antara tahun 2020 hingga 2030. Pada masa itu, jumlah penduduk usia produktif diperkirakan sebesar 70 persen. Rasio ketergantungan mencapai titik terendah yaitu 100 orang usia produktif menanggung 44 orang usia tidak produktif.

Nah, sekarang yang mesti menjadi perhatian, kira-kira generasi bonus demografi itu bakal seperti apa kalau setiap kali membuka media sosial, dibumbui dengan kalimat yang tidak sopan? Huft, ngeri juga ya. Kalau tidak diantisipasi saat ini dengan regulasi, bisa jadi mereka akan menjadi generasi yang hilang. Jauh dari adat-istiadat yang dianut bangsa. Mereka bisa menciptakan kebiasaan baru dan menjadi budaya baru yang disepakati.

Tidak kebayang kalau hari-hari tua kita nanti dipenuhi oleh kata-kata bernada kasar. Yang keluar dari mulut generasi zaman now. Yang salah siapa? Trus, mestinya kita harus bagaimana? Ah, saya tambah bingung.

Kalau di kolom komentar berita Indonesiana dan Koran Tempo, nggak ada komentar kasar dan mengumpat, kan?  

Penulis : Muhammad Aliem, Esais yang bekerja di Badan Pusat Statistik Kabupaten Barru

 

Pernah dimuat di Blog Pribadi di https://catatanaliem.wordpress.com/2018/11/29/ketika-isi-berita-kalah-pamor-dari-kolom-komentar/

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Muhammad Aliem

Pegawai BPS Kab.Barru

0 Pengikut

img-content

Kisruh Data dan Minimnya LIterasi Statistik

Senin, 11 November 2019 20:09 WIB
img-content

Komunikasi Politik Presiden dalam Memilih Menteri

Selasa, 22 Oktober 2019 19:30 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
Lihat semua