x

Iklan

Iqbal Fardian Husni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menakar relasi Islam Sosialisme & Kapitalisme

Pernakah, anda menghubungkan, apakah Islam dan Marxisme memiliki kesamaan ? Mungkin kita merasa tidak pantas Marxisme di persamakan dengan Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Pernakah, anda menghubungkan, apakah Islam dan Marxisme memiliki kesamaan ? Mungkin kita merasa tidak pantas Marxisme di persamakan dengan Islam. Jelas berbeda dan sudah pasti bertentangan. Dalam tataran teologis mungkin kita sepakat. Bertolak belakang dan bisa jadi kita akan langsung mengatakan tidak mungkin bisa dipersatukan. Akan tetapi jika kita dalam tataran ide tentang kesejahteraan bagi masyarakat mungkin saja terdapat beberapa kesamaan tujuan. Tulisan ini bukan berniat mencari cari persamaan tanpa dasar. Tulisan ini sebenarnya merupakan hasil renungan penulis selama mengikuti perkuliahan Sejarah pemikiran Ekonomi, di Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Jember.

Esensi pemikiran flsafat Marx adalah materialism historis dan sosialisme adalah muara imajinasinya. Terlepas bahwa imajinasi Marx tentang masyarakat tanpa kelas hingga kini belum terwujud tetapi pemikiran dan flsafat marx masih menjadi rujukan para pemikir modern maupun postmodern. Maka seperti apa yang pernah disampaikan Engels, bahwa sebagian besar manusia adalah Marxist dan sebagian lainnya Marxian dan pengkritik Marx.  Para pengkritik Marx dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pengkritik Marx yang sangat sisnis karena bersifat reduksionis dan mengambil langkah langkah yang terlalu sederhana dengan mengamati kenyataan empiris bahwa revolusi proletariat tidak pernah terjadi dan prediksi marx tentang keruntuhan kapitalisme tidak pernah terbukti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sedangkan pembela Marx berpendapat bahwa revolusi proletariat tidak pernah menunjukkan hasilnya adalah pendapat yang absurd. Kemenangan total memang masih belum terwujud, namun bagi para pengikutnya kemenangankemenangan itu pada akhirnya akan terwujud. Herbert Mercuse seorang flsuf new left juga mengkritik Karl Marx yang dianggap meleset prediksinya dengan tidak terwujudnya komunisme melalui revolusi proletar karena Marx tidak mengantisipasi sebuah kenyataan sejarah bahwa kapitalisme semakin memperbaiki diri. Mercuse memandang bahwa masyarakat yang hidup pada masanya sangat berbeda dengan masyarakat Marx abad 19. Persoalan yang dihadapi Marx adalah kemiskinan kaum buruh, sementara persoalan bagi masyarakat industri Barat sekarang adalah kesejahteraan (af?uence).

Dalam bukunya Johnson, menyampaikan bahwa Marx dianggap gagal melihat pertumbuhan suatu kelas menengah yang secara politik dianggap dominan. Perkembangan itu mematahkan argumentasinya bahwa karena kapitalisme berkembang maka struktur sosialnya semakin lama semakin terbagi ke dalam dua kelas yang saling bermusuhan (yaitu pemilik alat produksi kapitalis dan buruh proletar. Penilaian Marx selanjutnya berkaitan dengan buruh yang semakin rendah martabatnya, pada dasarnya mencerminkan penilaian subjektifnya sendiri mengenai hal tersebut dan bukan penilaian yang diberikan oleh pekerja-pekerja itu sendiri. Dalam penilaian itu Marx benarbenar mengungkapkan sikap borjuisnya yang konservatif. Marx mengasumsikan bahwa pekerjaan industri, atau pekerjaan yang dibutuhkan sekedar untuk mempertahankan hidup secara fsik, tidak dapat memberi kepuasan atau mengembangkan diri. Penilaian ini berlaku sebagaii satu penilaian subyektif yang mencerminkan keinginan Marx sendiri, namun pada dasarnya itu hanya penilaiannya, bukan penilaian dari kaum buruh.

Kritik terhadap Marx yang dimaksud adalah kritik terhadap pandangannya bahwa sejarah itu bersifat bendawi atau materialisme sejarah sebagai salah satu teori pokoknya Marx, sehingga tidak mengkritisi Marxisme. Sebelum mengkritisi ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bahwa Marx sendiri tidak semarxis pengikutnya, terkadang pada pernyataan tertentu Marx sendiri memberikan catatan penting tentang pandangannya. Diantarnya pada suatu kesempatan menyatakan: bahwa “Saya tidak se-Marxis anda, saya adalah Marx bukan Marxis”. Kritik yang patut disampaikan mengenai kelestarian suatu teori, teori tentu dasarnya empirik, namun sejarah materi tidak selamanya berlaku untuk masa kini dan mendatang, sehingga teori harus sebagai premis apriori sebagai hasil serangkaian kerja ilmiah logis. Metode ilmiah demikian tidak terpenuhi pada sejarah materi. Mengenai teori tentang masyarakat sebagai dasar (infrastruktur) adalah ekonomi (ekonomi basis) dan bagian lainya bangunan atas (superstruktur) yang dikategorikan nilai, ideology, politik dan budaya, tidak selamanya benar, karena ekonomi sebagai basis tidak selamanya mendahului superstruktur. Adakalanya nilai budaya sejumlah falsafah, kepribadian, gagasan, pandangan dan nilai agama atau ideologi keagamaan maju mendahuli zamannya.

Marx telah berhasil menyusun tipologi masyarakatnya berdasarkan asumsi metrialisme sejarah.  Kritik terhadap materialisme sejarah identik dengan kritik untuk materialisme, yaitu kekuatan produksi dalam masyarakat juga merupan hasil akal manusia, sebagaimana pemikiran masyarakat (realitas sosial) adalah hasil dari kekuatan produksi. Kritik lain bahwa dalam sistem produksi (lama) dapat juga mengembangkan corak kebudayaan yang lain.  Demikian pula kelompok yang hidup di bawah kondisi ekonomi dan budaya sama, ternyata dapat menganut sistem pemikiran yang berlainan.

Kritik lain terhadap pandangan Mark yang menyatakan dialektika pada sejarah bukanlah suatu klaim penjelasan paling benar, sebab tesis, antitesis dan sintesis dalam sejarah itu senantiasa terjadi. Demikian pula tidak selamanya tahap baru sejarah akan lebih tinggi dari tahap sebelumnya. Sering pula ada masa disintegrasi. Pandangan tesis, antitesis dan sintesis dalam sejarah ada tendensi kurang mengkaji perbedaan dan akan mereduksi kejadian atau peristiwa sejarah. Pandangan materialisme sejarah (dialektika) sering digunakan atau pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan, padahal dapat saja perubahan sejarah  (kekuatan produksi bahan) dalam masyarakat dapat dilakukan secara damai.

Kritik dari pandangan agama (Islam) berkaitan dengan konsep materialisme sejarah (masyarakat), telah ditegaskan dalam Al Quran bahwa masyarakat terpolarisasi antara masyarakat miskin (tertindas, lemah, terampas) dan kaya (penindas, para tiran, angkuh, mewah, berlimpah, klik penguasa). Kemudian polarisasi masyarakat dimensi ruhaniah antara orang beriman (tauhidullah, taqwa, saleh, syuhada) dan masyarakat tidak beriman atau kafirun (termasuk musyrik, fasik, mufsid, togut). Hal tersebut Islam membenarkan adanya realitas kesadaran kelas, sebagai hukum sosial. Namun tidak mutlak bendawi atau materi penentu sejarah. Keberhasilan gerakan moral Islam atau yang membangun masyarakat adalah dari kalangan tertindas atau dhuafa, syahid, kelas massa/ummah.  

Demikian jelas tampaknya bahwa pemikiran sejarah materi terbantahkan oleh sejarah kehidupan manusia itu sendiri sebagai sunatullah atau hukum sosial. Masyarakat dalam Al Quran digambarkan sebagai masyarakat ideal. Masyarakat adalah sebagai ummatan wahidah (masyarakat yang satu), ummatan wasathan (masyarakat pertengahan), ummatan muqtashidah (masyarakat terpuji, tidak berlebihan), khairi ummah (masyarakat yang baik, unggul), Baldatun thoyibah (negeri yang musyawarah anti kekerasan). Gambaran masyarakat ideal menunjukkan tidak ada masalah dalam pengaturan nilai, norma dan juga pengaturan spiritual dan material. Semuanya sudah ada aturan yang jelas, sehingga tidak ada gambaran masyarakat sebagai produksi dari sejarah materi. Masyarakat dalam pandangan Islam bukan hasil proses dan mekanisme sosial budaya materi, tetapi materi dan ruhani sama-sama dibangun, sehingga menghasilkan masyarakat ideal.

Jika ketiganya diersandingkan, kapitalisme, sosilisme dan Islam sesunggunya bagimana jarak  kedekatan ideology atas ketiganya, apakah Islam itu lebih dekat dengan sosialisme atau kapitalisme ? kedekatan Islam dan sosialisme yang dianut oleh banyak pengamat  dibantah secara serius oleh Maxime Rodinson, Islam and Capitalism, yang menyatakan bahwa sesungguhnya dunia Islam justru sangat dekat dengan kapitalisme. Rodinson meminjam kerangka teori sosiologi Max Weber yang menemukan bahwa sangat mungkin aspek-aspek kesadaran religious Protestantisme berpengaruh terhadap perkembangan dan kemunculan kapitalisme. Kendati pada tahap selanjutnya kapitalisme menjadi sangat berpengaruh terhadap perkembangan agama itu sendiri.

Beberapa cendikiwan muslim Indonesia menilai bahwa memang ada kecenderungan masyarakat muslim menolak sistem kapitalisme. Hampir semua wacana yang berkembang di dunia Islam awal abad ke-20 menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tidak kompatibel bahkan anti-tesa terhadap kapitalisme. Islam didefinisikan justru dekat dengan sosialisme. Muhammad Iqbal, filsuf Islam asal Pakistan, bahkan menyebut Islam adalah varian dari sosialisme itu sendiri: “Islam is Bolshevism Plus God.” HOS Tjokroaminoto menulis buku yang diberi judul “Sosialisme Islam.” Mohammad Hatta dan M. Rasyidi menulis artikel di majalah Panji Masyarakat dengan judul “Islam dan Sosialisme.” Tokoh Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara, mengeluarkan istilah “sosialisme religius.

Menurut Rodinson, kapitalisme harus dibedakan dalam dua kategori: kapitalisme sebagai institusi dan kapitalisme sebagai mentalitas. Dari kedua kategori ini, kapitalisme muncul dalam tiga bentuk: kapitalisme komersial, kapitalisme finansial, dan kapitalisme industrial. Masyarakat Muslim, menurut Rodinson, datang pada konteks masyarakat Arab yang mempraktikkan kapitalisme komersial. Tidak heran kemudian jika bahasa perdagangan akan sangat mudah ditemui dalam al-Qur’an, misalnya “Hal adullukum ‘al? tij?rah” (Maukah engkau kuberi tahu tentang perdagangan?) (QS. al-Shaff [61]:10)

Dalam sejarah  Islam awal, Kapitalisme Awal, yang disebut juga sebagai Kapitalisme Komersial, sudah hadir di Mekah. Elite Mekah adalah sebuah kelas pedagang yang memerintah dalam sistem plutokrasi. Dalam pembahasan Rodinson, suku Quraisy adalah suku yang memiliki privilege dan atas dasar itu mereka mengakses kekuasaan Di Mekah, Islam lahir dalam konteks masyarakat kapitalis komersial semacam itu. Dalam Kapitalisme Komersial semacam itu terjadi juga transaksi-transaksi finansial yang berpusat di Mekah yang berbasis riba. Namun Islam datang mengoreksi sistem riba dengan sistem zakat yang berdimensi sosial.

Karena itu, Islam sulit dipisahkan dengan sistem kapitalisme. Meski Islam melahirkan koreksi-koreksi etis tertentu, norma-norma Islam sebagai agama sejalan dan tidak menghambat perkembangan ekonomi. Dengan terbentuknya negara kekhalifahan, negara ikut serta mengintervensi ekonomi, misalnya dengan penarikan zakat dan pajak, pembentukan griya arta (bait alm?l) untuk kepentingan sosial serta menyediaan dana untuk melancarkan perdagangan.

Ini tentu berbeda dengan sikap gereja Katolik di Abad Pertengahan Eropa yang menilai perdagangan sebagai pekerjaan yang tidak patut dilakukan oleh kaum Kristiani. Pedagang disamakan atau disejajarkan dengan pencuri. Sebagaimana dipercaya dalam mitologi Yunani Kuno, dewa kaum pedagang yeng bernama Hermes, juga dewa kaum pencuri. Ajaran gereja memusuhi usaha-usaha mencari kekayaan material karena dianggap sebagai pemujaan terhadap Dewa Mammon. Ajaran-ajaran seperti itu tidak ada pada Dunia Islam Abad Pertengahan. Bahkan pada awal perkembangannya, Islam dipeluk oleh anak-anak muda kelas pedagang. Nabi sendiri dan istrinya adalah pedagang. Sahabat-sahabat Nabi paling awal, kemudian menjadi pedagang kaya. Menantu Nabi, Usman bin Affan, adalah seorang pedagang yang kaya raya dan mendermakan kekayaannya untuk perkembangan Islam. Itulah penjelasan dari pandangan Rodinson bahwa ajaran Islam tidak memusuhi dan merusak Kapitalisme Komersial. Bahkan Islam menyuntikkan etos ekonomi pada masyarakat Madinah.

Jika Kristen punya etika protestan yang menjadi spirit kapitalisme di Eropa barat sebagaimana yang diketemukan Max Weber dalam The Protestant Ethics And The Spirit of Capitalism (1937), maka Islam juga punya etos bisnis yang bahkan menurut Perter L Bernstein, mengungguli etos bisnis bangsa mana pun di dunia ini. (Bernstein, 2000).

Penulis :

M.Iqbal Fardian

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Jember

 

Ikuti tulisan menarik Iqbal Fardian Husni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu