x

Iklan

Elsa Malinda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Korupsi Ada Karena Kompromi

Praktek korupsi terus berlanjut karena adanya kompromi dari orang di sekitar

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampai tahun 2018 berakhir, kasus korupsi masih wara-wiri di berbagai media. Hal ini menandakan korupsi masih menjadi permasalahan yang terdapat di pusat maupun daerah. Beberapa kasus korupsi yang mendapat banyak perhatian selama tahun 2018 di antaranya terdapat nama Setya Novanto, mantan Ketua DPR yang terbukti melakukan korupsi e-KTP. Ada pula Gubernur Nonaktif Jambi, Zumi Zola, yang divonis 6 tahun penjara dan denda 500 juta. Hak politiknya dicabut selama 5 tahun. Selain dua nama terkenal itu pada bulan Desember 2018 ada kasus korupsi oleh Kepala Desa (Kades) berinisial FH (60) di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. FH menilap uang sebanyak 700 juta.

Sebenarnya kejahatan korupsi bukan hal baru sebab budaya negatif ini sudah ada sejak dulu dan sulit dihilangkan. Seperti kata wartawan tersohor, almarhum Mukhtar Lubis pada tahun tujuh puluhan. Gerakan untuk membasmi korupsi sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Orde Lama, namun tidak berhasil sebab tidak adanya komitmen negara khususnya para pejabat untuk melawan korupsi. Hal ini terus berlanjut sampai sekarang.

Penyebab mengapa tindakan korupsi masih terus terjadi sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Ada banyak teori yang menjelaskannya: Klitgaard, Ramirez Torrez, Jack Bologne (GONE), Vroom, dan kebutuhan Maslow. Meski ada beragam teori, dapat disimpulkan bahwa alasan pelaku melakukan korupsi disebabkan karena adanya kekuasaan. Orang-orang yang memiliki kebutuhan dan keserakahan akan menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang selagi ada kesempatan dan merasa hukuman yang didapat tidak setimpal atau malah tidak takut tertangkap sama sekali.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Orang yang berkuasa memiliki pengaruh besar. Oleh sebab itu tanpa pengawasan yang sepatutnya akan menimbulkan celah kejahatan. Koruptor bahkan tidak dihukum sebagaimana mestinya selama dibui dikarenakan mereka masih memiliki kuasa yang bisa mengendalikan penjara. Dilansir dari theconversation.com, jumlah koruptor mungkin hanya 4.552 dari 248.690 tahanan atau 1.8% dari total narapidana di Indonesia. Namun kemampuan mereka memengaruhi bagaimana penjara dikelola jauh lebih besar dari angka 1.8% tersebut. Para koruptor ini dapat mendapatkan fasilitas mewah, hingga bepergian ke luar penjara dengan izin berobat sampai berminggu-minggu karena ada praktek suap di sana.

Melihat kasus korupsi ini ada di mana saja, bahkan sampai di penjara sekali pun, sudah saatnya semua pihak bergerak untuk menghentikan budaya negatif ini. Seperti apa yang dikatakan oleh wakil ketua KPK, Saut Situmorang dalam Rilis Survei Nasional: Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia pada bulan Desember 2018 lalu, korupsi bisa diatasi dengan zero tolerance. Artinya setiap orang tidak boleh berkompromi terhadap bentuk korupsi apa pun. Oleh sebab itu adanya bilik pengaduan untuk masyarakat yang ingin melaporkan tindakan korupsi di sekitarnya merupakan sebuah langkah yang baik.    

Ikuti tulisan menarik Elsa Malinda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler