x

Iklan

j sumardianta

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kepingan Surga di Dunia Nyata

Di dusun Thekelan, satu keluarga bisa terdiri dari 3 generasi beda agama yang hidup rukun. Surga toleransi di Jawa Tengah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kepingan Surga Dunia Nyata

Oleh:

J. Sumardianta*

Sekelompok burung merpati hidup bahagia di atap sebuah kuil vihara. Kuil direnovasi untuk menyambut pesta malam bulan purnama. Semua merpati pindah ke bangunan gereja. Rombongan merpati lain yang lebih dahulu menetap menerima pendatang baru dengan sangat baik. Natal sudah mendekat. Gereja dipercantik. Semua merpati harus pindah tempat lain.

Beruntung burung-burung itu menemukan naungan baru di masjid. Grup merpati lain yang sudah lama menetap di masjid menyambut mereka dengan senang hati. Menjelang ramadan masjid dicat ulang. Semua merpati terbang ke vihara yang pernah ditempati sebelumnya.

Suatu hari merpati menyaksikan bentrokan komunitas di dekat pasar. Komunitas itu terlibat tawuran dan keributan. Merpati kecil bertanya kepada ibunya, "Siapakah yang gaduh itu? Ibu menjawab, “Mereka manusia". Merpati kecil bertanya lagi, "Mengapa manusia berselisih satu dengan yang lain?" Ibunya mengatakan, "Orang-orang yang pergi ke vihara disebut Budhis, ke gereja disebut Kristen, ke masjid disebut Muslim."

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Merpati kecil itu makin penasaran, "Mengapa begitu? Ibunya menjelaskan, “Saat di kuil kita dipanggil merpati, berada di gereja kita disebut merpati, dan di masjid, kita tetap merpati. Pula mereka mestinya disebut manusia ke manapun pergi."

***

Fabel merpati merupakan ilustrasi tepat guna menggambarkan ironi mahkluk yang merasa paling sempurna bernama manusia. Garis batas (identitas) portabel, yang dibawa ke mana-mana berupa suku, agama, dan ras menyekat hakikat kemanusiaan. Identitas ideologis mestinya diwaspadai dampak destruktifnya. Semangat saling mengasihi akan membuat hidup menjadi lebih memanusiawi.

Kisah merpati yang rukun saling menghormati mendapatkan bukti nyata dalam keseharian hidup masyarakat Dusun Thekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Warga dusun yang terletak di lereng Gunung Merbabu ini legenda hidup saling menghargai dan menghormati.

Satu rumah terdiri tiga generasi. Kakek-nenek Budhis. Ayah-ibu Kristen. Anak-cucu Muslim. Toleransi lintas generasi dimulai sejak dari rumah. Tak ada keributan soal iman dan keyakinan. Warga dusun memiliki kebiasaan bediang. Berkumpul di dapur mengelilingi tungku pagi hari buat menghangatkan badan dari udara pegunungan yang bikin menggigil. Pun buat membicarakan persoalan-persoalan kerumahtanggaan maupun kemasyarakatan.

Warga Thekelan mayoritas petani sayuran. Bangunan Vihara, Masjid, dan Gereja dibangun secara gotong royong, baik dana maupun tenaga, secara swadaya. Ramah, polos, dan murah hati merupakan sikap natural warga yang diperagakan dalam kehidupan sehari-hari. Thekelan dijuluki kepingan surga di dunia nyata. Banyak kalangan dari pelbagai penjuru tanah air berkunjung dan menginap di Thekelan buat menghirup dan menyesap segarnya toleransi. Ruang publik di Thekelan terasa sangat manusiawi.

***

Lembaga Riset Yayasan Islamicity Index, sebagaimana ditulis Denny JA dalam artikel “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Manusiawi” (2018), ingin melembagakan ruang publik berdasarkan kitab suci Al Quran. Nilai-nilai seperti keadilan, kemakmuran, pemerintahan bersih, dan penghormatan pada manusia diturunkan dalam index.

PBB, masih menurut Denny JA, mengembangkan World Happiness Index untuk menguji kemajuan sebuah bangsa dengan membentuk UN Sustainable Development Solution Network (SDSN). Kemajuan sebuah negara tak bisa diukur dengan kemajuan ekonomi melulu. Negara harus mampu membuat warganya merasa bahagia. Agar bahagia, tak hanya kebutuhan dasar dan pendidikan terpenuhi. Pun tercipta pula ruang sosial yang penuh dengan trust dan tolong menolong.

Pada dasarnya nilai terbaik Islam, sebagaimana agama lain, jika diuniversalkan, sama dengan aneka nilai manusiawi yang dirumuskan Islamicity Index dan World Happiness Index. Nilai Islami itu ternyata juga nilai  manusiawi.  Ruang publik universal yang bisa dinikmati semua manusia, apapun agama dan keyakinannya. Ruang publik manusiawi itulah yang setiap hari diwujudnyatakan warga Thekelan.

Desa Mojowarno, Kabupaten, Jombang Jawa Timur juga sudah lama membangun ruang publik manusiawi. Jelang Lebaran warga Kristen mempercantik dan merias eksterior desa. Sebaliknya warga Muslim melakukan hal serupa jelang Natal. Pun warga Dusun Buneng, Desa Boro, Kecamatan Selorejo Kabupaten Blitar. Saat hari besar Budha, semua warga, apapun agama mereka, kerja bakti mendukung perayaan. Juga saat jelang akhir bulan Ramadhan. Berkat ruang publik manusiawi, di Thekelan, Mojowarno, dan Buneng, hak beragama sesuai dengan keyakinan setiap warga dijunjung tinggi sebagai hak asasi paling dasar.***

*J Sumardianta, penulis buku Mendidik Generasi Z dan A (2018), bermukim di Yogyakarta.

Ikuti tulisan menarik j sumardianta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu