x

Iklan

Saufi Ginting

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

MENULIS ITU GAMPANG

Tuangkan gagasan yang ada di otak melalui jemari, tak hanya melalui mulut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Hal utama dalam menulis adalah ketekunan. Tulis apa saja yang ingin ditulis. Saban hari. Saban waktu. Begitu di dapat sebuah ide yang terekam dalam otak dari lakon yang baru saja dijalani, sesegera mungkin pindahkan ia ke jari jemari. Jangan pindahkan ke mulut. Berat. Biar Dilan saja!. Kalau Cuma pindah ke mulut ia akan jadi menguap begitu saja. Atau malah menjadi ghibah yang tak tentu arah.

          Jangan berlama lakon yang telah terekam di otak mu itu terbiarkan menjadi beku. Segera pindahkan ke wadahnya. Ambil gawaimu, ambil laptop mu, ambil pulpen dan bukumu, ambil apa saja yang bisa dijadikan bahan untuk menuangkan apa yang barusan kau dapat itu menjadi sebuah tulisan. JANGAN BIARKAN MENGUAP!    

          Apakah itu berat? Bisa jadi. Bagi yang belum terbiasa, yang suka berangan-angan menjadi penulis, maka apa yang terekam di otak akan sangat berat untuk sesegera mungkin dipindahkan pada tempatnya. Tapi kalau tekun dilakukan, Insya Allah akan bisa menjadi sebuah ingatan dan catatan yang kelak bisa digunakan kemudian hari.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

          Ingat, setelah kau tulis, apapun itu. Tak perlu kau koreksi kata-katanya. Tak perlu kau koreksi kalimatnya. Tak perlu kau koreksi tanda-tanda bacanya. Tak perlu kau sunting hasil tulisan mu itu. Biarkan saja. Simpan. Buatkan tanggal dan waktu, kapan dan dimana kau membuat tulisan itu, bila perlu.

          Biarkan ia seperti aslinya. Ada masanya nanti kau sunting naskahmu. Tugasmu saat ini, menempatkan apa yang baru saja menempel di otakmu itu ke dalam wadah yang tepat. Bisa saja wadah yang akan kau tempatkan itu salah. Apa misalnya tempat yang salah itu? Salah satunya mulutmu. Otakmu sudah menyimpan hasil lakon itu, kita sebut IDE BESAR. Tapi ide besar itu tak perlu kau cakapkan, ia akan hilang menguap, atau kemungkinan lainnya teman yang mendengar uapan ide besarmu itu malah yang menempatkan dengan baik ide mu itu dalam wadah yang baik.

          Itulah catatan sederhana yang kutulis sebagai ingatan untuk ku. Hari ini pukul 12.00 tanggal 11 Februari 2019, aku menulis yang ketiga kalinya. Paragraf sebelumnya adalah hasil kesimpulanku terhadap ide tulisan pertama dan tulisan kedua yang kutulis pada waktu pagi jam enam dan jam 8 sebelum dan selepas aku mengantar Alul dan Kahfi sekolah.

          Ini tulisan ketiga, dalam rangka melatih kembali apa yang ada diotakku. Ide-ide besar yang ada dalam otakku harus ku tempatkan pada wadah yang tepat. Tidak sekedar cakap-cakap saja. Akhirnya menguap. Sekali lagi, catatan ini kubuat dalam rangka untuk melatih kembali intuisi menulisku.

          Sejujurnya aku tak pernah menulis artikel atau catatan dalam paragraph yang banyak sekali. Status-status yang kubuatpun di fesbuk, harus berulang kali ku revisi dulu baru berani ku unggah di fesbuk. Sebab aku khawatir tulisan yang ku unggah di fesbuk itu tak bermanfaat, dan tak layak baca. Bayangkan aku sudah khawatir tak layak baca. Kalau memang kau merasa tak layak baca, tapi kau tetap ingin menulis. Ya TULIS saja dulu. Sebanyak-banyaknya. Seperti yang kubilang di atas tadi.

          Tuangkan saja sebanyak yang kau suka hasil lakon dalam otakmu tadi ke dalam wadah yang tepat, yaitu tulisan. Segera. Jangan biarkan ia mengendap dan membeku. Akan terlalu lama menunggu cairnya.

          Kembali ke cerita fesbuk tadi. Bila kau sudah bisa membuat status di fesbuk. Itu sudah menjadi modalmu untuk menulis. Kau sudah punya modal untuk menuangkannya dalam jemarimu hingga kau tuliskan dalam media sosial. Pesanku lakukan terus, berulang-ulang, tapi idemu yang orisinil. Kembangkan. Biarkan ia mengalir. Jangan berharap like and share. Jangan hiraukan itu. Tulis saja.

          Tapi pesanku tuliskan yang baik-baik saja. Baiknya lagi sebelum kau menulisnya lagi di fesbuk, simpankan dulu di program pengolah kata (ms.wod) di gawaimu, di laptopmu, di komputermu, atau segera kau ungga juga di blog pribadimu. Ingat di fesbuk akan sulit bagimu mencari kembali tulisan yang pernah kau tulis setahun lalu, bila kau membutuhkannya dengan cepat. Kayaknya aku pernah menulisnya kemarena di fesbuk, tapi kapan ya, dimana ya, kata kuncinya apa ya. Nah jadi repot kan.

          Nah itu cerita tentang media sosial. Kesimpulanku ketika kau menulis di media sosial, segera simpan atau pindahkan ke laptop, ke wadahmu sendiri yang dapat kau panggil dengan cepat.

          Aku menulis ini, karena kualami. Jangan berkhayal dalam menulis. Itu pesanku. Buat data sendiri. Buat kartu panggilmu bila kau ingin tulisan itu agar dapat kau pindahkan segera ke dalam bentuk tulisan utuh. Misal ketika kau sedang membaca tulisan ilmiah, catat dalam satu catatan penting, tanggalnya, sumbernya, penulisnya, kegiatannya, dan poin penting dari catatan itu. Bisa jadi meskipun ia telah berlalu 10 tahun kemudian, masih relevan dengan kehidupan sekarang.

          Hal ini terbukti berdasarkan pengalaman Prof. Ghufron Ibrahim dalam menulis artikel-artikel di media massa. Ketika masih kuliah di kota kelahirannya, ia rajin sekali mengutip pendapat-pendapat dari sebuah buku, artikel koran, berita dan sebagai. Kemudian pada sepuluh tahun kemudian ia ‘panggil’ lagi tulisan itu. Hingga menjadi sebuah tulisan utuh dan masih relevan dengan masa sekarang. O ia aku kenal prof. Ghufron dan cerita di atas pada waktu ikut pelatihan Bimbingan Teknis Tenaga Literasi tingkat Nasional di Jakarta pada bulan Juli 2018 yang diadakan oleh Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

          Menyenangkan bukan menulis itu. Bayangkan ini tulisan ketiga yang kutulis berdasarkan tips yang baru saja kutulis di atas. Ini sudah delapan ratus empat puluhan kata. Sebentar lagi ia akan mencapai seribu kata. Mengenai seribu kata ini, adalah standar aku menulis tanpa jeda dalam sekali duduk. Artinya ketika aku menulis, targetku harus mencapai seribu kata. Bila perlu lebih.

          Bila tak selesai seribu kata karena ada sesuatu dan lain hal penyebabnya, maka ia harus segera kusimpan saja, dan melanjutkan tulisan yang lainnya di file berikutnya.

          Aku menulis sudah lama lo, awalnya sejak sekolah dasar. Pada waktu itu tulisan ku yang pertama kutulis di buku catatan sekolah di kelas VI. Aku menulis puisi. Sayangnya puisi itu entah dimana sekarang. Berikutnya aku terus menulis puisi hingga aku menulisnya dalam beberap buku. Bayangkan aku bisa menulis pusi dalam buku. Imajinasiku waktu itu, buku catatan yang kutulisi puisi itu adalah sebuah buku layaknya yang terbit dari sebuah penerbit.

          Pada saat itu, menulis puisi dalam sebuah buku dengan catatan tangan sudah luar biasa sekali efeknya ke hati. Semakin banyak puisi yang kutulis. Hingga sekarang buku-buku itu masih kusimpan. Kubaca berulang dari tulisan awal sejak masuk SMP, hingga aku menikahpun masih ada, tentu saja, tulisan pertama dengan terakhir kali aku menulis puisi di buku lainnya hasilnya berbeda. Diksinya berbeda. Bahkan temanyapun berbeda-beda.

          Tapi seiring berjalan waktu, aku tak lagi menulis di buku, tapi aku langsung mengetik di komputer. Hingga tak Nampak lagi seni menulisnya. Tapi ini lebih memudahkan saja, tak perlu ada coretan sana sini. Tinggal delete saja bila tak berkenan. Begitulah caraku menulis puisi. Sekarang aku punya beberapa kumpulan puisi yang sudah diterbitkan oleeh penerbit. Tak lagi menjadi imajinasiku.

          Maksudku, bila tahunan aku menulis apa saja yang aku lakoni dalam bentuk paragraph demi paragraph,dan ditulis dengan ketekunan saban hari, saban waktu, yakinlah ia akan menjadi bermanfaat. Bisa saja ia menjadi puluhan buku yang layak diterbitka hingga menjadi amal jariyah bagimu.

          Untuk sementara jangan menghayal mau jadi penulis puisi, cerpenis, novelis atau sebagainya. Ini tips berikutnya seiring aku menulis catatan ini. Ga usah menghayal mau jadi apa pada bagian kepenulisan itu. Tulis saja. Tuangkan dijemarimu. Setelah ia mahir, baru bentuklah ia. Berikan bumbu lainnya. Jangan hanya kau jadikan ia tempe goreng. Jadikan ia aneka tempa yang enak dimakan.

 

Saufi Ginting/Pegiat Literasi Asahan, Sumut

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Saufi Ginting lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB