x

Tim Jokowi dan Prabowo Tunggu Rekap

Iklan

Untung Widyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Debat Capres, Soal Lingkungan - Energi dan Kuasa Oligarki

Jokowi dan Prabowo tidak membahas soal perubahan iklim dalam debat capres yang kedua. Oligarki menjerat lingkaran kekuasaan kedua calon presiden tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Mengapa Bapak Joko Widodo tetap mengangkat Bapak Luhut Panjaitan sebagai Menko Kemaritiman yang membawahi sektor pertambangan dan energi, serta  mempercayakan Luhut mengurusi isu kehutanan, yaitu perkebunan sawit. Bukankah langkah Bapak Jokowi itu  menyebabkan Bapak Luhut Panjaitan melanggengkan konflik kepentingan sebagai pemegang saham PT Toba Sejahtera yang memiliki bisnis pertambangan batu bara dan PLTU, serta memiliki jaringan ke industri kehutanan/perkebunan?   Jika Bapak Jokowi terpilih lagi, apakah tetap akan mengangkat Luhut Panjaitan dan politikus lain dari partai pendukung Bapak yang memiliki saham di perusahaan batubara dan perkebunan, untuk menjadi menteri?”

“Jika terpilih sebagai Presiden Indonesia, apakah  Bapak Prabowo bersedia menjual saham pribadi Bapak di grup bisnis Nusantara yang berusaha di bidang perkebunan, tambang, kelapa sawit, dan batu bara.  Untuk Bapak Sandiaga Uno, jika terpilih jadi  Wakil Presiden Indonesia, apakah bersedia memaksa  PT Adaro Energy dan PT Berau Coal (dua perusahaan batubara dimana Bapak memiliki saham) untuk memulihkan lingkungan yang rusak di sekitar tambang di Kalimantan dan daerah lainnya?”

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

*****.

 

Saya membayangkan dua pertanyaan tersebut diajukan oleh panelis Debat Calon Presiden (Capres) yang kedua, pada Minggu 17 Februari 2019.   Para panelis adalah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, Rektor ITS Joni Hermana, Rektor IPB Arif Satria, Sudharto P Hadi (pakar lingkungan Undip), Irwandy Arif (ahli pertambangan ITB), dan Ahmad Agus Setiawan (pakar energi UGM).

Ternyata dua pertanyaan nakal kepada  Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto itu tidak ditanyakan pada debat yang mengangkat lima topik, yaitu tentang energi, pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastruktur. Sejatinya, dua pertanyaan tersebut saya ambil dari rilis hasil kajian  bertajuk Coalruption – Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara pada 16 Desember 2018.   

Kajian itu dilakukan #Bersihkan Indonesia, yaitu koalisi dari Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), ICW, Auriga dan lainnya.  Koalisi organisasi masyarakat sipil ini bertujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk aktif mendorong perubahan kebijakan energi, ekonomi dan lingkungan.

Mereka menantang pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk mengumumkan rencana konkrit menuju Indonesia yang berdaulat energi dan tidak merusak lingkungan. Mereka mendesak calon presiden untuk menyetop penggunaan batubara sebagai sumber energi. Ternyata dalam debat selama dua jam di Hotel Sultan, Jakarta tidak ada komitmen dari Joko Widodo dan Prabowo Subianto soal ini.

Ada empat alasan yang disampaikan koalisi #Bersihkan Indonesia. Pertama, pembakaran batu bara berpengaruh terhadap risiko memburuknya kesehatan warga. Kedua, tambang batu bara meninggalkan ribuan lubang yang dibiarkan tanpa pemulihan sehingga mencemari sumber air dengan logam berat. Ketiga,  konsesi pertambangan batu bara mengancam seperlima tanah produktif yang berpotensi mendukung agenda ketahanan pangan Indonesia. Keempat, biaya sosial dari emisi gas rumah kaca (GRK) PLTU batu bara dua kali lipat lebih tinggi dari ongkos energi terbarukan.

Dalam kajiannya tersebut, #Bersihkan Indonesia menyoroti korupsi politik dalam bisnis pertambangan batubara. Bahan bakar fosil ini menjadi sumber pendanaan partai  dan kampanye politik di pusat dan daerah sejak 20 tahun terakhir.

Koalisi #Bersihkan Indonesia menemukan pemain kunci di industri batubara yang memainkan peranan penting dalam pemilihan presiden 2019, baik di tim kampanye Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Para calon dan tim inti kampanye berbisnis dan terkait dengan sektor batubara.

KPK dan organisasi masyarakat sipil mencatat adanya kenaikan tajam jumlah izin pertambangan saat kampanye pilkada atau segera setelah pilkada selesai.  Relasi kotor antara bisnis dan politik seperti disorot koalisi #Bersihkan Indonesia juga tidak tampak solusi atau penyelesaiannya dalam visi-misi Jokowi dan Prabowo Subianto.

 

Visi-Misi Lingkungan Joko Widodo dan Prabowo Subianto

Pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah menyerahkan dokumen visi-misi kepada  KPU pada September 2018. Judul dokumen pasangan nomor urut satu (Jokowi-Ma’ruf) adalah “Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong.” Sementara yang diajukan pasangan nomor urut dua (Prabowo-Sandi) adalah “Empat Pilar Mensejahterakan Indonesia: Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi.”

Ada sembilan butir misi pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin.  Yaitu (1) meningkatkan kualitas manusia Indonesia; (2) menciptakan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing; (3) melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan; (4) mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan; (5) memajukan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa;

Lalu, (6) menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya; (7) memberikan perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga; (8) mengelola pemerintahan yang bersih, efektif, dan tepercaya; serta (9) membangun sinergi pemerintah daerah dalam kerangka Negara Kesatuan.

Joko Widodo menetapkan tiga strategi besar untuk mencapai visi-misi yang terkait isu lingkunganm tersebut. Yakni pengembangan kebijakan tata ruang terintegrasi, mitigasi perubahan iklim, serta penegakan hukum dan rehabilitasi lingkungan hidup.  Pada strategi pertama dilakukan dengan cara melanjutkan kebijakan Satu Peta untuk menghindari tumpang tindih penggunaan ruang, dan program kedua adalah mengendalikan dan mengawasi kepatuhan pelaksanaannya serta menindak tegas penyimpangannya.

Sejumlah program menjadi bagian dari strategi kedua, mitigasi perubahan iklim. Yaitu mencegah kebakaran hutan; menanam kembali lahan-lahan kritis; mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) berbasis potensi setempat serta ramah terhadap lingkungan; melanjutkan konservasi lahan gambut; mengurangi emisi karbon dan meningkatkan transportasi massal ramah lingkungan; meningkatkan pendidikan konservasi lingkungan yang berkelanjutan dengan melibatkan komunitas masyarakat adat; serta memperbanyak hutan kota dan ruang terbuka hijau.

Untuk mencapai strategi ketiga, dilakukan melalui empat program. Pertama, merehabilitasi kerusakan lingkungan untuk menjamin daya dukung lingkungan secara berkelanjutan termasuk rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi laut, serta daerah aliran sungai (DAS). Kedua, meningkatkan efektivitas pengelolaan dan pengawasan limbah B3 serta percepatan pembangunan pusat pengolahan limbah B3 secara terpadu.

Ketiga, menegakkan hukum dengan tegas terhadap tindakan perusakan lingkungan. Keempat, mempercepat upaya pencegahan dan rehabilitasi lingkungan akibat sampah plastik serta mendorong berkembangnya industri daur ulang.

Bagaimana dengan visi-misi dan program pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang terkait dengan isu lingkungan dan energi serta sumber daya alam?  Visi pasangan ini adalah  “Terwujudnya Bangsa dan Negara Republik Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, relijius, berdaulat, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian nasional yang kuat di bidang budaya serta menjamin kehidupan yang rukun antarwarga negara tanpa memandang suku, agama, ras, latar belakang etnis dan sosial berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Ada lima misi pasangan nomor urut dua ini.  Pertama, membangun perekonomian nasional yang adil, berkualitas, dan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia melalui jalan politik-ekonomi sesuai pasal 33 dan 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, membangun masyarakat Indonesia yang sehat, berkualitas, produktif, cerdas dan berdaya saing dalam kehidupan yang aman, dan rukun, damai bermartabat serta terlindungi oleh jaminan sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi.

Ketiga, membangun keadilan di bidang hukum yang tidak tebang pilih dan transparan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia melalui jalan demokrasi yang berkualitas sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keempat, membangun kembali nilai-nilai luhur kepribadian bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, bermartabat, beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia (sesuai UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat 3). Kelima, membangun sistem pertahanan dan keamanan nasional secara mandiri yang mampu menjaga keutuhan dan integritas wilayah Indonesia.

Pasangan Prabowo-Sandi menetapkan 18 Program Aksi dimana ada 7 program yang terkait dengan bidang ingkungan. Antara lain mencegah dan menindak tegas pelaku pencemaran lingkungan dan pembakaran hutan serta melindungi keanekaragaman hayati flora dan fauna sebagai bagian dari aset bangsa. Lalu, mendorong semua usaha kehutanan dan produk turunannya untuk mendapatkan sertifikat pengelolaan hutan yang diterima pasar global.

Selain itu, merehabilitasi hutan-hutan yang rusak guna melestarikan alam dan satwa liar. Berikutnya, merehabilitasi daerah aliran sungai dan sumber air.  Mendorong usaha pertambangan yang ramah lingkungan, dan menertibkan pertambangan liar.  Mendorong penggunaan kantong plastik yang berbahan nabati dan ramah lingkungan. Terakhir, memperbaiki tata kelola perdagangan satwa liar dengan mengedepankan pada perlindungan satwa langka, serta mengundang partisipasi yang lebih besar dari sektor swasta dalam usaha-usaha konservasi.

 

Analisis Pakar dan Aktivis Lingkungan

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima dokumen visi-misi kedua pasangan calon presiden-wakil presiden.  Hampir lima tahun ini, pasangan petahana, Joko Widodo, telah menerapkan janji kampanyenya pada saat pemilihan presiden 2014. Publik dapat melihat janji kampanye tersebut dengan realisasi di lapangan serta dengan janjinya kembali untuk lima tahun ke depan.

Pengamat lingkungan, Jalal, membandingkan kedua dokumen tersebut.  “Joko Widodo memiliki keunggulan mutlak dibandingkan Prabowo Subianto,” kata Jalal yang aktif sebagai Reader on Corporate Governance and Political EcologyThamrin School of Climate Change and Sustainability. Jalal mencatat lima keunggulan itu.

Pertama, Jokowi melihat hubungan ekonomi dan daya dukung lingkungan sebagai keniscayaan apabila pembangunan hendak dibuat berkelanjutan.  Kedua, secara implisit, hubungan antara ekonomi, sosial dan lingkungan, muncul ketika Jokowi menjelaskan program perhutanan sosial. “Perhutanan sosial sama sekali tidak muncul pada visi-misi Prabowo Subianto,” kata Jalal, dalam kolomnya di mongabay.com.

Ketiga, Jokowi menganut model keberlanjutan paling mutakhir, yaitu nested, sementara Prabowo cenderung pada model keberlanjutan pilar, yang merupakan model paling tua. Keempat, Jokowi  menempatkan tata ruang sebagai strategi pertama untuk mencapai kelestarian lingkungan. Prabowo Subianto tidak menyinggung soal tata ruang dalam visi-misinya. Kelima, cakupan strategi dan program lingkungan Jokowi lebih lengkap dibandingkan dengan Prabowo. Tiga strategi dan tiga belas program Jokowi memang mengelola permasalahan lingkungan paling penting yang dihadapi Indonesia kontemporer.

Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan Thamrin School menilai kedua pasangan calon presiden-wakil presiden belum serius menyikapi laporan soal perubahan iklim terbitan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/ IPCC) akhir 2018.

Para ilmuan yang tergabung dalam IPCC menyebutkan, dengan tingkat kepercayaan tinggi pemanasan global akan mencapai 1,5 derajat Celcius antara 2030 dan 2052, yaitu sekitar satu dekade dari sekarang. Kalau pemanasan global terus berlangsung dengan laju saat ini, dibanding suhu pra-industri, kegiatan-kegiatan manusia ditaksir menyebabkan pemanasan global antara 0,8 hingga 1,2 derajat Celcius.

“Bukan akan kiamat seperti yang disampaikan beberapa pihak, ibarat berjalan dengan ranjau, jika ini dibiarkan ranjau akan makin banyak, Karena itu perlu adaptasi,” kata  Sonny Mumbunan, anggota ALMI dan aktivis di Thamrin School, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa 13 Februari 2019.

Sonny, yang menjadi peneliti di Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia, menjelaskan laporan IPCC mengandung sejumlah perihal penting yang akan mempengaruhi makhluk hidup. Selain itu menentukan perikehidupan manusia serta pengorganisasian masyarakat dunia dan Indonesia di masa datang.

Sonny Mumbunan mengatakan, siapapun yang terpilih jadi presiden mau tak mau akan menghadapi tantangan waktu 12 tahun yang disebut dalam laporan IPCC. Ia merupakan batas waktu Bumi menuju pemanasan global pada 1,5 derajat Celcius.

Penilaian senada disampaikan Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia Tjokorda Nirarta Samadhi. Menurutnya, paparan pasangan Jokowi-Maaruf dan Prabowo-Sandiaga masih belum menyentuh pada pemahaman lingkungan yang penting dalam upaya pembangunan rendah karbon. Bahkan, konsep pembangunan ini belum menjadi dasar kuat dalam rencana pembangunan yang tertuang dalam visi-misi kedua kubu.

”Pembangunan Indonesia berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang dihitung makro, belum memasukkan koreksi-koreksi keterbatasan lingkungan,” kata Nirarta kepada wartawan di Jakarta pada Selasa 13 Februari 2019.

Untuk itu, kata Nirarta, pada calon pemimpin Indonesia, diharapkan memiliki pemahaman mendasar bagaimana mengimplementasikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat dengan peka lingkungan.

Hingga kini, pemerintah belum menerbitkan peraturan presiden soal perencanaan pembangunan rendah karbon. Aturan ini bisa membantu pemerintah periode selanjutnya mengimplementasikan pembangunan rendah karbon melalui RPJMN.

Berdasarkan laporan IPCC, setiap negara diharapkan melakukan langkah agresif untuk mengurangi emisinya. Salah satunya adalah mengurangi secara drastis penggunaan bahan bakar fosil, termasuk batubara. ”Apakah ini realistis? Mungkin jika berhenti sama sekali tidak realistis. Transisinya seperti apa, itu tantangan berat dalam bentuk kebijakan pembangunan,” kata Nirarta.

 

Perubahan Iklim, Degradasi Lingkungan dan Jeratan Oligarki

Indonesia telah meratifikasi Paris Climate Agreement (Kesepakatan Iklim Paris) 2015 untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. Dalam dokumen Niat Kontribusi Nasional (National Determined Contribution/NDC), Indonesia memasang target bisa menurunkan emisi hingga 29 persen pada 2030 atau hingga 41 persen dengan bantuan internasional. Target itu diharapkan datang dari lima sektor, yakni kehutanan (17,2 persen), energi (11 persen), pertanian (0,32 persen), industri (0,1 persen), dan limbah (0,38 persen).

Pada 21 November 2018, Climate Transparency initiative mengeluarkan laporan tahunan Brown to Green Report 2018.  Ini merupakan kemitraan internasional dari 14 organisasi dan para ahli di bidang perubahan iklim dan energi di negara-negara G-20.

Brown to Green Report berisi tentang penilaian kinerja negara-negara G-20 dalam melakukan transisi menuju ekonomi rendah karbon dalam mencapai target Kepakatan Paris dan menjaga temperatur bumi tidak lebih dari 2°C dan diusahakan hingga 1,5°C.

Laporan tersebut menyebutkan kinerja Indonesia dinilai menurun, karena semakin besarnya ketergantungan pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara.  Subsidi untuk batu bara semakin meningkat. Namun di sisi yang lain, subsidi atau dukungan pendanaan untuk pengembangan energi terbarukan belum menunjukan perkembangan yang signifikan.

Emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia meningkat hingga hampir tiga kali lipat antara tahun 1990 dan 2015 (+196%), dan laju peningkatannya diperkirakan akan semakin bertambah hingga tahun 2030. Saat ini, emisi GRK dari sektor kehutanan dan energi menyumbang porsi yang dominan pada keseluruhan emisi GRK Indonesia.

Emisi GRK Indonesia diperkirakan akan meningkat hingga 1,573 dan 1,751 MtCO2e pada 2030 (di luar sektor kehutanan). Proyeksi emisi ini tidak sejalan dengan target Kesepakatan Paris, sebaliknya emisi gas rumah kaca meningkat menuju kenaikan suhu antara 3°C dan 4°C.

Sektor-sektor yang menggunakan energi merupakan penyumbang terbesar emisi CO2 dari total emisi GRK nasional. Indonesia mencatat peningkatan emisi CO2 sebesar 18 persen sepanjang 2012-2017, yang disebabkan karena meningkatnya emisi dari pembangkitan listrik, sektor industri, dan sektor transportasi. Kebijakan sektoral Indonesia dianggap masih tidak konsisten dengan target Kesepakatan Paris, terutama berkaitan dengan penggunaan energi batu bara, efisiensi energi di bidang industri, dan deforestasi.

Brown to Green Report juga mengevaluasi sektor kehutanan Indonesia dimana saat ini belum memiliki target nasional yang diterapkan untuk meraih nol deforestasi. Memang pada 2011 diberlakukan moratorium terhadap penebangan di daerah yang tak terganggu (undisturbed areas) yang berlaku hingga November 2019.  Namun Indonesia masih menghadapi begitu tingginya tingkat deforestasi, yang sebagian besar didorong oleh industri bubur kertas dan kelapa sawit.

Mengapa kinerja pemerintah Indonesia dinilai lemah dalam mengatasi perubahan iklim ? Mengapa kerusakan lingkungan dan merosotnya keanekaragaman hayati terus terjadi di berbagai daerah di Tanah Air?  Apa yang menjadi kendalanya? Apakah pasangan calon presiden-wakil presiden Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno memberikan solusi yang tepat mengatasi permasalah tersebut?

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut kita bisa analisis melalui pendekatan ekonomi politik yang diajukan Richard Robison dan Vedi R Hadiz serta Jeffrey Winters.  Mereka terkenal dengan teori oligarki untuk mengamati bangunan ekonomi politik dan relasi kekuasaan pemerintah dan bisnis di Orde Baru dan sesudahnya. 

Menurut Vedi, Orde Baru dibangun dan bertujuan untuk melindungi kepentingan  bisnis oligarki kapitalis keluarga Presiden Suharto dan rekan-rekannya, serta militer sebagai pengawal kepentingannya. Oligarki merupakan struktur kekuasaan yang mengekspresikan fusi kekuatan politik birokrasi dan ekonomi.  Suharto merupakan pusat Oligark yang ditopang penuh oleh konglomerat/taipan seperti Sudono Salim dan Bob Hasan.   Dia dikelilingi Oligark-oligark kecil yang memburu rente, memonopoli dan korupsi.

Kekuasaan Orba merupakan cerminan bagaimana predator politik di sekeliling Presiden Suharto saling berebut pengaruh untuk mendapatkan keuntungan dalam lembaga negara dan pembangunan nasional.  “Dengan mengontrol lembaga-lembaga Departemen Kehutanan, Departemen Perdagangan, Bulog, dan Pertamina – para birokrat politik yang berkuasa dapat membagi-bagikan lisensi perdagangan, kredit bank negara, konsesi-konsesi kehutanan, dan kontrak-kontrak pasokan. Hubungan tersebut bersifat simbiosis, dimana akses kepada perekonomian ditukarkan dengan dana-dana yang digunakan untuk tujuan-tujuan politik atau pribadi. . Dana-dana bagi yayasan yang disediakan oleh kalangan bisnis bank-bank negara itu digunakan untuk mendanai Golkar, dan menanamkan investasi pada usaha-usaha bisnis pribadi Suharto.” (Hadiz, 2000).

Setelah Suharto tumbang dari kekuasaannya pada 1998 akibat krisis ekonomi, oligarki di Indonesia bertransformasi. Mereka menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema neoliberalisme, misal demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Oligarki dengan beragam cara mampu bertahan dan kembali menjadi pemain utama dalam dunia bisnis di Indonesia.

Hilangnya Suharto sebagai patron politik, membuat para Oligark harus menjadi pemain dalam politik secara langsung guna mempertahankan kekayaannya. Partai yang memerlukan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan kontestasi pemilu mambawa para Oligark bisa menjadi petinggi partai. Bahkan ada yang membentuk partai politik. Pengusaha Murdaya Poo masuk ke PDI Perjuangan. Istrinya, Siti Hartati Murdaya kemudian menjadi pengurus Partai Demokrat.  

Bagi konglomerat dari etnis Cina yang tidak terjun ke politik praktis, namun mereka mendanai partai politik atau politikus berpengaruh.  Selain pebisnis Cina, pengusaha pribumi, yang dulunya mendapat dukungan Orde Baru juga terlibat secara langsung dalam politik, seperti Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie di Partai Golkar. Untuk menggerakkan partai, banyak politisi yang menjadi pemburu rente atau menggunakan dalam tender proyek pemerintah atau pengaruhnya mendapatkan perizinan di industri kehutanan, perkebunan dan energi.  

Dengan desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi patronase yang terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya sebagian kekuasaan yang ke daerah. Apalagi karena adanya pemilukada yang membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan ini pun bisa secara langsung maupun tidak langsung.

 

Desentralisasi Lahirkan Orang Kuat Lokal  

Seperti di Thailand dan Filipina, desentralisasi memunculkan “orang kuat lokal.” Joel S. Migdal  menjelaskan kekuatan pengaruh dari sosok ini bersumber dari terbentuknya segitiga akomodasi yang dibangun oleh aliansi “orang kuat lokal” bersama aparat birokrasi negara di tingkat lokal dan politisi di tingkat lokal.  Sosok ini  berhasil menempatkan diri berada diantara rakyat dengan sumber daya yang vital seperti tanah, kredit dan pekerjaan. “Orang kuat lokal” memiliki kemampuan memberikan jaminan kestabilan politik di tingkat lokal dan melakukan kontrol sosial atas rakyat setempat. Mereka juga memiliki kemampuan dalam memobilisasi rakyat.

Di Banten, kita mengenal sosok Tubagus Chasan Sochib yang memadukan kekuatan politik Golkar, kekuatan milisi jawara dan jaringan bisnis keluarga. Anak-anaknya ada yang menjadi gubernur (Ratu Atut), wali kota dan bupati di Banten.  

Di Kalimantan Tengah, marga Narang berhasil menguasai posisi strategis melalui kekuatan politik PDI Perjuangan dan bisnis distribusi minyak. Agustin Teras Narang menjadi gubernur, Atu Narang (Ketua DPRD Kalimantan Tengah), Asdy Narang (anggota DPR RI) dan Aries Narang (Ketua DPRD Palangkaraya).

Orang kuat lokal lainnya di Kalimantan Tengah adalah Abdul Rasyid AS. Dia memiliki bisnis perkebunan sawit (Sawit Sumbermas Sarana), tambang dan lainnya. Nama Rasyid pernah mencuat saat bisnis kayunya dituding para aktivis lingkungan telah menjarah kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalteng.  Dengan kekayaan 805 juta dolar AS (sekitar Rp 10 triliun), Rasyid berada di posisi ke-41, orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes tahun 2014. Keponakan Abdul Rasyid, yaitu Sugianto Sabran terpilih sebagai Gubernur Kalimantan Tengah pada 2017.

Di Kalimantan Selatan, kita mengenal sosok Haji Andi Syamsuddin Arsyad, atau sering dikenal dengan Haji Isam yang berasal dari Batulicin, Tanah Bambu. Dia memiliki Jhonlin Group, sebuah perusahaan utama dari PT Jhonlin Air Transport, PT Jhonlin Marine and Shipping, dan PT Jhonlin Bratama. Masing-masing perusahaan tersebut mempunyai bidang masing-masing, seperti pertambangan batubara dan transportasi. Kabarnya, dalam sebulan pendapatan Haji Isam dari tambang batubaranya  mencapai Rp 40 miliar.

Haji Isam sempat menjadi Ketua Dewan Penasehat PAN Kalimantan Selatan. Namun mundur. Berdasarkan surat keputusan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin tertanggal 19 Agustus 2018, nama Andi Syamsuddin Arsyad tercatat menduduki posisi wakil bendahara. Kabarnya dia dipilih karena dekat dengan petinggi PDI Perjuangan.  Belakangan, struktur Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf berubah. Nama Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam tidak ada lagi.

Di Riau, kita mengenal Saleh Djasit, Rusli Zainal dan Annas Maamun. Ketiganya adalah mantan Gubernur Riau yang ditangkap KPK karena kasus korupsi.  Rusli Zainal terlibat korupsi penerbitan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) di Kabupaten Pelalawan, Riau. Sementara Annas Maamun dalam kasus suap alih fungsi lahan.

Di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur ada  Syaukani Hassan Rais. Sosok terkenal ini menjabat Bupati Kutai Kertanegara dan terpidana kasus korupsi, salah satunya penyalahgunaan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas).  Rita Widyasari, anak Syaukani, yang terpilih sebagai Bupati, menjadi narapidana kasus suap pemberian operasi untuk keperluan inti dan plasma perkebunan kelapa sawit.

Di setiap provinsi atau kabupaten lainnya, terdapat orang-orang  kuat lokal yang merupakan Oligark. Beberapa peneliti Institute of Asian Studies yang berbasis di Hamburg, Jerman melakukan penelitian mengenai demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru. Temuan riset mereka menjelaskan bahwa desentralisasi memberikan efek samping meningkatnya korupsi di daerah, meningkatnya politik uang, meningkatnya konsolidasi oligarki lokal, meningkatnya penggunaan sektarianisme dan kebangkitan primordialisme. Melalui intimidasi, diskriminasi dan kekerasan politik, desentralisasi berhasil dimanfaatkan oleh oligarki elit lokal. Oligarki elit lokal tersusun dari birokrat karir, pengusaha kaya, politisi partai dan anggota DPRD.

Sistem politik oligarki di pusat dan daerah ini berdampak pada kerusakan lingkungan di berbagai daerah.  Pada Januari 2011,  London School of Economics (SE), Massachusetts Intitute of Technology (MIT) dan South Dakota State University (SDSU) menerbitkan hasil riset bertajuk The Political Economy of Deforestation in the Tropics.  Riset itu dilakukan oleh Robin Burgess, Matthew Hansen, Benjamin Olken, Peter Potapov, dan Stefanie Sieber.

Penelitian itu mengaitkan antara meningkatnya otonomi lokal dengan naiknya angka deforestasi antara tahun 1998 hingga 2009.  Para peneliti melihat bahwa siklus pemilihan kepala daerah di Indonesia sebagai sumber utama deforestasi ini. Para politisi di wilayah-wilayah yang memiliki hutan tropis, cenderung bergantung secara finansial kepada para penebang hutan, pengembang  perkebunan dan para petambang untuk mendanai kampanye mereka. Semakin gencar kampanye, maka semakin besar hutang para politisi kepada para perusak hutan ini.

Kesimpulan ini didapat berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan di berbagai 'zona hutan' di daerah-daerah kabupaten baru, yang meningkat pesat dari hanya sekitar 291 menjadi 498  sejak gerakan desentralisasi tahun 1998 hingga 2009. Para peneliti menemukan bahwa provinsi yang dipecah ke dalam kabupaten baru meningkatkan insiden deforestasi di provinsi tersebut sekitar 7,8%.

Para peneliti menemukan bahwa pembalakan liar meningkat pada saat kampanye dan proses  pilkada berlangsung, namun berkurang drastis setahun setelah pilkada selesai, dan berganti dengan konversi hutan yang meningkat, untuk pertambangan maupun perkebunan. Perubahan dari pembalakan liar ke penebangan yang legal dinilai sebagai sebuah langkah balas budi dari  para kandidat yang menang atas dukungan para pebisnis kehutanan terhadap kampanye dan telah memuluskan langkah mereka ke tampuk kekuasaan.

"Kami menyimpan sebuah ‘siklus penebangan politik’ dimana pemerintah lokal menjadi lebih  permisif terhadap pembalakan liar menjelang pilkada," ungkap peneliti. "Kami menemukan  bahwa di wilayah-wilayah yang dilarang dilakukan penebangan meningkat sekitar 42% setahun sebelum pilkada berlangsung ... pembalakan liar ini kemudian turun secara drastis sekitar 36% di tahun pemilihan dan tidak diketahui kelanjutannya setelahnya," kata tim peneliti. Di wilayah konversi, ujar tim peneliti, mereka menemukan kenaikan penebangan sekitar 40% di tahun pemilihan umum dan peningkatan sebesar 57% di tahun berikutnya setelah pemilihan.

Kasus kebakaran hutan dan lahan yang menaikkan emisi gas-gas rumah kaca Indonesia juga tidak lepas dari faktor politik lokal. Hal ini terlihat dari hasil riset berjudul “Ekonomi-Politik Kebakaran Hutan dan Lahan” yang dilakukan CIFOR di Riau sejak 2013.

Peneliti CIFOR, Herry Purnomo menjelaskan timnya menemukan 20 pihak terkait persitiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015.   Distribusi keuntungan mengalir pada mereka yang ikut menebas dan menebang hutan atau lahan, pengurus kelompok tani, oknum aparat desa dan kecamatan, tim pemasar lahan, dan pengklaim lahan. Namun mereka hanyalah pihak-pihak yang mendapat keuntungan paling kecil.

Keuntungan ekonomi terbesar atau 85 persen dari arus kas yang mengalir justru jatuh ke tangan perusahaan/pengembang perkebunan dan para elit lokal, seperti kepala daerah, oknum pejabat pemerintah, dan pengurus kelompok tani. Para pihak yang mendapatkan keuntungan ekonomi, terutama para elit lokal dan korporasi, bekerja layaknya “kejahatan yang terorganisir.”

Ada kelompok-kelompok yang menjalankan tugas berbeda, seperti mengklaim lahan, mengorganisir petani yang melakukan penebasan atau penebangan atau pembakaran, sampai tim pemasaran dan melibatkan aparat desa. Pemilik lahan bisa saja kerabat penduduk desa, staf perusahaan, pegawai di kabupaten, pengusaha, atau investor skala menengah dari Jakarta, Bogor, atau Surabaya. Masing-masing kelompok yang melakukan aktivitas pembukaan lahan akan mendapat persentase pemasukan sendiri. Rata-rata pengurus kelompok tani mendapat porsi pemasukan besar, antara 51-57 persen. Sementara kelompok petani yang menebas, menebang, dan membakar hanya mendapat porsi pemasukan yang sebetulnya paling kecil, yaitu hanya 2-14 persen.

Temuan lain dari studi CIFOR selama tiga tahun di Riau, adalah adanya hubungan antara kebakaran dan Pilkada. Herry menjelaskan, pihaknya mengumpulkan data dari NASA selama 15 tahun untuk seluruh wilayah Kalimantan dan Sumatera. “Kami menemukan bahwa satu tahun atau beberapa bulan sebelum Pilkada dilaksanakan, jumlah titik panas sangat tinggi,” kata Herry Purnomo.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat jumlah hutan dan lahan yang terbakar pada 2015 mencapai luasan hingga 2,61 juta hektar (ha) yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia (32 provinsi), kecuali Provinsi DKI Jakarta dan Kepulauan Riau (Kepri). Sedangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melaporkan ada sekitar 2,4 juta ha hutan dan lahan yang habis terbakar.

Catatan resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada karhutla dan kabut asap yang terjadi pada rentang Juni sampai Oktober 2015, menyebutkan bahwa dampaknya per 28 Oktober 2015  mengakibatkan sebanyak 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut).

Bank Dunia melakukan riset dan menemukan bahwa nilai total kerusakan dan kerugian dari karhutla 2015  sebesar Rp 221 triliun atau setara dengan 1,9 persen dari PDB atau dua kali lebih besar dari anggaran dana untuk rekonstruksi Aceh pasca-tsunami tahun 2004.

Bank Dunia mencatat bahwa kebakaran hutan tersebut berdampak hebat terhadap delapan provinsi di Indonesia, yaitu Jambi, Riau, Sumsel, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan Papua.

Ada 10 bidang kerugian yang dialami delapan provinsi tersebut, yakni pertanian, lingkungan, kehutanan, manufaktur dan pertambangan, perdagangan, transportasi, pariwisata, kesehatan, pendidikan, hingga alokasi dana untuk pemadaman kebakaran.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menjelaskan kasus kebakaran hutan dan lahan 2015 yang menyeret korporasi, setidaknya 11 kasus perdata—sudah vonis hukum—dengan total harus membayar Rp18,9 triliun tetapi belum eksekusi.

Leonard meminta, pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-Maruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno menunjukkan komitmen menindak kejahatan korporasi di sektor lingkungan.  “Kami ingin mengingatkan kepada siapapun nanti presiden dan wakil, bisa tegas jalankan eksekusi hukum,” katanya kepada wartawan pada 15 Februari 2019. Meenurutnya, kerugian hutan, lingkungan, dan kekaragaman hayati karena korporasi sangat masif. Kerusakan lingkungan ini, katanya, mengancam ratusan ribu bahkan jutaan orang.

Koalisi #Bersihkan Indonesia menyoroti elite politik di kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan konflik kepentingan politik yang besar di bisnis batubara. Di kedua kubu pasangan terdapat relasi bisnis dengan politik di sektor pertambangan batubara. Mereka menggunakan struktur lama oligarki politik: istana, militer, dan partai politik. Mereka juga menggunakan lanskap baru yaitu desentralisasi dengan bekerja sama dengan elite dan orang-orang kuat lokal.

“Coalruption atau korupsi batubara telah dan sedang menghancurkan kesejahteraan Indonesia,” tulis koalisi #Bersihkan Indonesia. Praktik ini mencemari lingkungan, mematikan, merusak reputasi dan melemahkan demokrasi Indonesia melalui praktik korupsi politik. Mereka menyerukan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk mengakhiri ketergantungan kepada komoditas tersebut untuk masa depan Indonesia yang lebih baik: energi dan politik yang bersih.  

Dari visi-misi dan jalannya Debat Capres Kedua, ternyata Jokowi dan Prabowo tidak berani berjanji memutuskan hubungan dengan para Oligark yang berada di lingkarannya.  Padahal Oligark di pusat dan daerah  yang selama ini melakukan perusakan lingkungan dan jadi predator ekonomi. Keduanya juga tidak membahas soal perubahan iklim yang telah menjadi isu global dan bencana bagi umat manusia.

Apa yang harus dilakukan? Publik harus terus menekan pemerintah dan partai untuk mengubah sistem politik yang oligarki.  Selain itu menuntut pemerintah secara serius melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pada sisi lain, warga harus melakukan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana di daerahnya masing-masing.

 

Untung Widyanto [untungwidyanto@yahoo.com]

Wartawan, peneliti, pengajar dan anggota the Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ).

Ikuti tulisan menarik Untung Widyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB