x

Iklan

Febrianto Edo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2019

Senin, 27 Mei 2019 18:31 WIB

Meraba Semiotik, Usai Pilpres

Mari kita akhiri ini semua, merangkul dalam genggaman ibu pertiwi. Akhiri, segala macam diksi yang menyakitkan itu (baca; cebong dan kampret). Akhiri segala bentuk polarisasi kode wacana yang membelah anak bangsa. Mari kita saling mengingatkan, bicara Indonesia yang maju akan datang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilpres dan pemilu serentak sudah usai. Parade rokonsiliasi sebuah ajakkan merajut tenun kebangsaan, perlu dibumikan. Kita tidak bisa menafikan, saban hari, pasca pilpres dan pemilu serentak, tensi politik menguat, terutama antar- kedua kubu presiden dan wakil presiden. Wajah media sosial kita yang penuh hasutan, hoaks merajai diskursus publik.

Mari kita akhiri ini semua, merangkul dalam genggaman ibu pertiwi. Akhiri, segala macam diksi yang menyakitkan itu (baca; cebong dan kampret). Akhiri segala bentuk polarisasi kode wacana yang membelah anak bangsa. Mari kita saling mengingatkan, bicara Indonesia yang maju akan datang.

Tak dapat disangkal, kode dalam wacana menjadi komoditas politik kelompok elite. Dunia maya riuh, berbagai macam kode pun berserakkan. Publik menangkap ampas wacana elite politik atau makna kode yang bersifat statis dan tertutup. Ketegangan pun terjadi di media sosial, kesalahan menangkap kode yang dikomodifikasi sedemikian rupa oleh aktor tertentu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk itu, Eco dalam Semiotics Philosophy of Language (1984), dikutip Lechte (2001), tanda itu tidak mewakili sesuatu yang lain (dalam kamus), namun perlu ditafsirkan. Artinya, interpretant menurut Peirce, yang menghasilkan semiosis yang tidak terbatas. Dengan kata lain, Eco menawarkan sebuah pembaruan dan penyegaran dalam ilmu semiotika, dimana, pemaknaan kode bukan hanya bersifat statis dan tertutup melainkan terbuka dan dinamis.

Di sini, sangat jelas kita lihat bagaimana elite masing-masing pasangan calon presiden saat berdiskusi di televisi atau saling berwacana di media. Kode yang mereka sematkan, sering tertutup, tidak menyampaikan apa adanya sebagai realitas kepada publik. Sehingga, publik menangkap kode yang terbuka, saat mereka berwacana-kode saat tampil depan media atau berselancardi media sosial.

Semiotics of Chaos

Persis semiotics of chaos, di mana semiotika yang dikembangkan oleh Derrida sebagai salah satu pemikir post-strukturalisme lebih mampu mengakomodasi dinamika, ketidakpastiaan, gejolak dan kegelisahan-kegelisahan yang yang mencirikan budaya chaos- bagi Derrida (2001:24). Dimana, “kegelisahan merupakan akibat dari cara tertentu yang diimplikasi dalam permainan, ditang kap oleh permainan, menjadi seperti semula sejak awal dipertaruhkan dalam permainan”.

Ada misi politik pribadi atas kelompok terselubung di balik tudung politis yang mereka kenakan. Tak boleh terpesona dengan ekspresi, lambang komunikasi yang mereka sematkan. Kita mesti masuk ke kedalaman untuk membongkar aneka skenario yang kerap menggelinding mimpi publik untuk hidup aman dan damai.

Proses informasi yang cepat dan bisa diakses oleh siapa saja menjadi pisau yang membahayakan bagi siapa saja. Seperti apa yang kita saksikan, polarisasi pasca pilpres dan pemilu serentak. Jangankan rakyat biasa, politisi kita yang notabene orang teruji secara intelektual dan nilai-nilai moral dalam masyarakat ikut bagian dari polarisasi tersebut.

Tak ada yang wacana dan simbol bergerak di ruang hampa di balik gerakan, aktivitas, pembicaraan dan wacana mereka . Kita mesti menguliti secara tajam pisau tafsiran kritis terhadap laku politik paradoksal dan patologis yang mereka sematkan dalam pola pikiran dan rasa kepada publik.

Di dalam positions, Derrrida juga menemukan bahwa, kita tak bisa lagi terpaku pada makna atau petanda (signified) yang transeden, yang melampaui bentuk ungkapan atau penanda (signifier). Bedanya bentuk ungkapan dan makna kini cendrung mengapung (floating).

Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo, dalam kebanyakan artikel yang dibangun, semakin menyeruak di internet dan dunia maya . Klaim kemenangan antar dua pasangan calon presiden dan wakil presiden terus bergulir. Tindakan people power adalah sikap untuk mendelegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), menggelinding media online maupun media sosial.

Fenomena simbol bukanlah hasil dari kegagalan pribadi. Dan tidak terbatas pada salah satu ujung spektrum  politik. Sebaliknya, otoritas menentukan kemenangan presiden dan wakil presiden adalah KPU, bukan klaim sepihak dengan basis argumentasi yang lemah. Tetapi, memberikan pencerahan kepada masyarakat sesuai aturan perundang-undang yang berlaku. Bukan wacana yang menghasut masyarakat untuk melakukan tindakan people power.

Hubungan antara makna yang pasti (signified atau signifier) memang penting untuk kasus-kasus tertentu , namun untuk kasus-kasus yang lain, yang ditemukan hanyalah ungkapan yang berbeda-beda dengan makna yang berbeda-beda pula. Inilah yang di sebut trace oleh Derrida (Piliang,2001,310). Ini pulalah yang diamati tanda elite kita, yang disebut sebut sebagai semiotics of chaos, “semiotika ketidakberaturan”, kata Jacques Derrida.

Dengan kata lain, permainan kode simpatisan Prabowo maupun Jokowi, setelah pencoblosan larut dalam komodifikasi kode dalam setiap wacana yang disemburkan kepada masyarakat, tanpa memperhatikan kualitas demokrasi, dimana didalamnya membahas hal-hal substansial ketimbang sensasional.

Dengan kata lain, substansial yang mengedepankan rekonsiliasi antar sesama anak bangsa dan merangkul dalam semangat kekitaan. Kedua simpatisan presiden dan wakil presiden menunjukan kedewasan politik dan ikut perundang-undang berlaku.

Homo Semiotik

Ada banyak komentar dinding media sosial baik, Facebook, Twiiter, Instagram, pengagum cebong atau kampret berdebat, kalau pasangan calon mereka lah yang paling unggul. Saya hanya tertawa terlentang dengan ekspresi yang khas sambil mengurut tangan sendiri. Ekspresi ini sebenarnya, saya dapat di perkuliahan Komunikasi, dimana manusia adalah homo semioticus (Zoest, 1993).

Untuk itu, Ernest Cassier dan Susane Langer menyebutnya sebagai animal simbolicum. Ia berargumen animal dan homo lebih dekat dengan orang yang menyukai ilmu-ilmu alam dan teori evolusi. Karena bagi Caessier fungsi dan kebutuhan simbolisasi manusia dijabarkan sebagai ciri khas manusia dan sekaligus keagungan (Noerandi 2001:1).

Artinya saya menyalurkan pesan simbolik kepada kawanku, cebong dan kampret. Kalau apa mereka pergunjingkan itu tak mendidik,.cendrung menghasut, penuh sensasional.

Dengan kekayaan budaya, Indonesia patut berbangga karena menanamkan budaya kesopanan dan etika yang tinggi antar sesama manusia.Nilai budaya perlu dibumikan lagi di etalase politik negeri. Sehingga, kode animal simbolicum atau simbolisasi kebinatangan antar anak bangsa perlu diakhiri, dengan memperkuat nilai-nilai budaya yang ada dalam bumi Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Febrianto Edo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler