Presiden Joko Widodo akan membentuk dua kementerian baru, yakni Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian investasi. Jokowi menyampaikan rencana itu pada pertengahan Agustus lalu.
Gagasan itu juga mendapat dukungan penuh dari partai penyokongnya, PDIP Perjuangan. Menurut Sekretaris Jenderal partai ini, Hasto Kristiyanto, desain kabinet baru itu senafas dengan stuktur kepengurusan PDIP yang juga memasukan bidang ekonomi kreatif dan digital.
Hanya, Presiden Jokowi harus mengkaji ulang rencana itu karena pembentukan kementerian baru akan mengundang banyak resiko.
1.Mengakibatkan perombakan sejumlah kementerian.
Pembentukan dua kementerian baru akan mengakibatkan perombakan besar lantaran undang-undang mematok jumlah kementerian maksimal 34. Artinya, harus ada penggabungan sejumlah kementerian.
Mengubah dan membikin kementerian baru bukan sekedar mengganti papan nama dan kop surat. Dampaknya luas karena akan menyangkut angggaran, penempatan pegawai, dan tata kerja birokrasi. Inilah yang terjadi ketika Jokowi merombak sejumlah kementerian pada 2014. Saat itu ia melakukan banyak perombakan yang memunculkan sejumlah kementerian hasil penggambungan seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Andaikata kajian lima tahun lalu cukup cermat, Jokowi semestinya tidak perlu merombak lagi sekarang. Keperluan adanya Kementerian Investasi, misalnya, seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak dulu. Pembentukan kementerian baru amat berisiko karena memerlukan waktu untuk menyusun organisasi dan kelengkapan birokrasi. Dalam setahun atau dua tahun, urusan seperti ini terkadang belum beres. Baca juga: Nomenklatur Baru, Kinerja Belum Tentu
2.Mengacaukan program reformasi birokrasi
Perombakan kementerian juga bisa mengacaukan program reformasi birokrasi di banyak kementerian. Kementerian baru otomatis akan mulai dari nol. Kini pun indeks reformasi birokrasi kita masih rendah. Sesuai, penilaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, indeks reformasi birokrasi pemerintah pusat pada tahun ini hanya 72, 15 atau turun dari angka 72,48 pada tahun lalu. Dengan skala penilaian hingga 100, angka itu jelas masih dari memuaskan.
Tak hanya kedodoran dalam soal efektivitas dan efisiensi birokrasi, sejumlah kementerian umumnya juga lemah dalam layanan publik. Jokowi seharus peduli masalah reformasi birokrasi. Apalagi, ia berjanji akan memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia pada periode kedua pemerintahannya.
3.Optimalisasi fungsi ketimbang lembaga baru
Dalam mengelola pemerintahan, optimalisasi pelaksanaan fungsi seharusnya lebih diutamakan dibanding mendirikan lembaga atau kementerian baru yang belum tentu efektif. Urusan investasi dan digital sebetulnya masih bisa ditangani oleh kementerian yang ada. Pendek kata, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,4 sampai 6 persen seperti yang dijanjikan dalam Nacacita Jilid II, Presiden sebetulnya masih bisa mengandalkan struktur kabinet sekarang.
Memilih figur bermutu dan pas untuk setiap pos kementerian merupakan kunci keberhasilan pemerintah Jokowi periode kedua. Urusan ini bahkan lebih penting dan strategis ketimbang keinginan membikin dua kementerian baru.
***
Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.