x

Cover buku Krisis Kebebasan

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 21 September 2019 18:46 WIB

Kebebasan dalam Absurditas Manusia

Renungan tentang kebebasan yang dikumpulkan dari berbagai tulisan, wawancara dan surat-surat Albert Camus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Krisis Kebebasan

Penulis: Albert Camus

Penterjemah: Edhi Martono

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tahun Terbit: 2013 (cetakan kedua)

Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia                                                       

Tebal: xviii+ 174

ISBN: 978-979 -461-863-9

Tema kebebasan adalah tema yang sangat sering disentuh oleh Camus. Meski manusia itu absurd, namun manusia harus memberontak dan menikmati kebebasannya. Manusia harus terus-menerus memperjuangkan kebebasannya yang absurd ini. Buku ini adalah kumpulan dari berbagai surat, tulisan dan wawancara Albert Camus. Tulisan-tulisan dengan tema kebebasan ini dikumpulkan sehingga kita bisa menarik benang merah pemikiran Camus tentang tema kebebasan. Camus mendiskusikan kebebasan dalam kasus bagaimana (peradaban) Eropa harus dibangun, negara dan kebebasan, peran cendekiawan dan seniman (termasuk sastrawan), pangan dan hukuman mati.

Salah satu bahasan tentang kebebasan adalah tentang kebangsaan (Eropa). Manakah yang harus dibangun oleh Eropa? Apakah Aropa yang jaya tetapi dibangun di atas darah dan kekangan (Jerman yang kemudian harus dibaca sebagai Nazi) atau Eropa sebagai rumah tempat tinggal jiwa yang selama dua puluh abad ini telah mengalami petualangan kemanusiaan yang tidak ada bandingnya (hal. 19). Melalui surat-surat yang ditulisnya tentang masa Nazi Jerman berkuasa, Camus membahas tema cinta negara dan cinta kemanusiaan dalam mendefinisikan Eropa. Melalui lima surat yang ditulisnya, ia menolak bangsa yang besar yang dibangun dari darah dan kepalsuan. Seharusnyalah sebuah bangsa (Eropa) dibangun berdasarkan intelektualitas, pengetahuan, akal budi dan keberanian untuk membela kemanusiaan dan bukan dibangun atas kekuatan dan penumpahan darah.

Kita tahu bahwa setelah Perang Dunia I, Eropa dilanda kegairahan untuk mendefinisikan diri sebagai sebuah bangsa besar. Jerman (NAZI) dan Italia (Musolini) berkolaborasi membangun Eropa dengan pedang. Dua negara ini, khususnya Jerman berupaya menyatukan Eropa dengan jalan kekerasan. Kekerasan tentara Jerman melanda hamper semua negara Eropa, termasuk Perancis.

Terus bagaimana caranya melawan kekuasaan yang menumpahkan darah? Tak bolehkan kita juga menegakkan keadilan dengan menggunakan tentara dan pedang? Apakah kita harus ditembak dalam diam? Sepertinya Camus memilih jalan ini. Cerita tentang pemuda yang diangkut dengan truk dan dianggap bersalah kepada negara dan akan dieksekusi adalah ilustrasi yang diberikan oleh Camus dalam buku ini. Sang pemuda yang awalnya sangat ketakutan menghadapi “kedamaian” – karena demikianlah yang dikatakan oleh Pastor tentang kematian, dan sempat melarikan diri; kemudian menjadi tenang dan siap menghadapi kematian (bukan “kedamaian”). Camus menyatakan bahwa selama dua puluh abad Eropa telah berhasil hidup dalam kesabaran dalam penderitaan. Hidup dalam kontradiksi-kontradiksi. Seharusnyalah Eropa tetap pada pilihan yang demikian untuk membangun identitasnya.

Tetapi, bukankah sebuah bangsa membutuhkan pahlawan? Bukankah pahlawan dilahirkan melalui sebuah heroisme? Pahlawan adalah mereka yang keluar tegar dari sebuah peristiwa tragis penuh darah? Mereka yang berjuang atas nama negara (atau bangsa) dengan gagah perkasa? Jika engkau menolak perang, bagaimana mungkin akan ada pahlawan? Bagaimana mungkin sebuah bangsa atau negara berdiri tanpa pilar-pilar orang yang “mengorbankan dirinya” melalui pembelaan itu? Bagi Camus mati dibunuh dengan tetap tersenyum karena menyadari diri sebagai manusia adalah lebih terhormat daripada melawan dengan pedang.

Meski Camus tidak percaya kepada Tuhan, namun ia mengakui bahwa nilai-nilai Kristiani menjadi salah satu bagian yang membentuk Eropa. Itulah sebabnya ungkapan-ungkapan untuk penyelamatan manusia dan kelahiran kembali diambilnya dalam menjelaskan konsepsi tentang bagaimana seharusnya manusia mempertahankan kemanusiaanya. Mereka yang menggunakan kekuasaan dan senjata untuk mencari kemenangan atau mempertahankan diri berarti telah terjerumus kembali kepada dunia binatang.

Bab II berisi Tuisan Camus dalam rangka menyambut kedatangan Presiden Eduardo Santos, Redaktur El Tiempo dari Kolumbia. Melalui tulisan ini Camus mendiskusikan mengapa kebebasan yang dipuja semua orang itu sekaligus ditolak oleh manusia? Camus menjelaskan bahwa kebebasan ditolak bukan karena hak-hak istimewa yang dimilikinya, melainkan karena kewajiban-kewajiban yang melelahkan yang dibawanya (hal. 31). Sebab kewajiban yang dibawa oleh kebebasan adalah untuk menjamin kebebasan pihak lain, sekalipun pihak tersebut tidak sejalan setujuan dengan kita. Kewajiban yang demikian adalah kewajiban yang sungguh sangat melelahkan.

Presiden Eduardo Santos terusir dari Kolumbia karena dianggap menentang penguasa. Bukan hanya diusir dari negaranya, korannya, yaitu El Tiempo juga dibreidel. Eduardo Santos ini sangat unik. Sebab ia adalah pembela kebebasan press yang luar biasa. Saat ia berkuasa, ia membiarkan penerbitan lain yang menentangnya untuk tetap terbit dan tidak mendapatkan tekanan. Adalah lazim bagi pihak yang belum berkuasa secara nyaring meneriakkan kebebasan berbicara. Namun saat mereka ini menjadi penguasa serta-merta menolak kebebasan demi mempertahankan kekuasaannya. Bukan hanya para penguasa yang mengorbankan kebebasan supaya bisa bertahan. Tetapi cendekiawan, patriot, keadilan dan agama pun perlu mengorbankan kebebasan supaya dapat bertahan.

Tapi apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kekebasan oleh Camus? Kebebasan adalah kesempatan untuk mengamalkan hal-hal yang lebih baik dari sebelumnya (hal. 35).

Di bab III Camus memulai tulisannya dengan pertanyaan yang sangat provokatif. Ia bertanya: “Apakah menurut Anda masih ada kemungkinan untuk mengaitkan alasan kebenaran sejati dengan suatu partai, negara, atau organisasi apa pun, dan tetap percaya bahwa partai, negara, atau apa pun, tidak akan mungkin gagal menjalankan misinya?” Pada bab ini Camus menggugat peran negara-negara, termasuk negara kelompok Bandung (Asia-Afrika) yang tidak bereaksi terhadap pembunuhan yang terjadi di Hungaria. Ia kecewa bahwa bangsa-bangsa Asia Afrika yang baru merdeka dan telah menentukan nasip berdasarkan kehendak sendiri, bisa begitu saja melupakan penderitaan penjajahan yang dialami, sehingga tidak berbuat apa-apa terhadap penguasa Hungaria.

Disaat kemanusiaan terancam oleh totalitarian, seperti kasus Perang Spanyol, munculnya Hitler dan Perang Hungaria, para cendekiawan harus berpihak. Berpihak ke mana? Berpihak kepada kemanusiaan. Memang sangat sulit untuk tetap murni berpihak kepada kemanusiaan. Sebab sangat sering terjadi para intelektual memihak kepada satu pihak (biasanya yang tertindas) secara membabi buta dan akhirnya mereka tanpa sadar kecewa karena pihak yang dibelanya ternyata berubah wujud menjadi sang penindas.

Pertanyaan berikutnya adalah: apakah kita berhak membunuh manusia lain dan membiarkan manusia lain terbunuh? Untuk menjawab hal ini Camus menggunakan pandangan absurditas. Jika semua tidak ada makna, maka pembunuhan tidak akan dikatakan benar namun juga tidak salah. Demikian pula dengan bunuh diri. Bunuh diri karena ingin menguasai manusia lain adalah sebuah tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Pada bab berikutnya Camus mendiskusikan tentang seni (termasuk sastra) dan kebebasan. Seniman atau sastrawan haruslah bisa keluar dari nasip jamannya supaya ia bisa mengungkapkan kebebasan. Camus tidak setuju kepada seni untuk kesenangan semata. Sebab seni (dan juga sastra) harus bejalan dalam kegelapan sambil meraba-raba untuk menambah kebebasan manusia. Kesenian akan berhasil apabila karya mampu menggambarkan kebebasan itu sendiri. Hal tersulit bagi seniman dan sastrawan adalah keluar dari jebakan nasip jamannya. Namun harus diakui bahwa seniman dan sastrawan sangat dipengaruhi dengan geografi. Dipengaruhi oleh kondisi dimana ia dibesarkan dan hidup. Seniman yang melarikan diri ke menara gading atau yang terjebak dengan khutbah-khotbah sosial adalah seniman yang menyerah. Seniman hendaknya menyuarakan mereka yang ditinggalkan supaya mereka tetap mempunyai harapan. Seniman harus terus-menerus menanggung penderitaan sekaligus memuja keindahan.

Seniman menghadapi situasi dimana ia harus terus menerus mengemban tugas untuk menyuarakan kebebasan. Pada saat yang sama, seniman juga mempunyai godaan untuk sekedar menghasilkan hiburan. Atau menghasilkan “karya agung” dalam keheningan dan kenyamanan yang tidak berhubungan dengan kebebasan manusia itu sendiri. Tunduk kepada kepentingannya sendiri untuk mencipta sesuatu yang agung. Seni untuk seni. Camus secara bertalu-talu mengingatkan peran seniman dalam peradaban.

Membaca Camus memang sangat sulit. Contohnya apa yang dikemukakan dalam bab delapan ini. Di bab delapan, Camus membahas Pangan dan Kebebasan. Namun tulisan di bab ini tak banyak bicara tentang pangan dan kebebasan. Ia hanya menyinggungnya tak lebih dari sepuluh kalimat. Kebebasan bukanlah hanya bebas dari kelaparan, tetapi juga bebas dari penindasan. Selebihnya Camus malah membahas pentingnya persatuan antara cendekiawan dengan kaum buruh. Jika keduanya terpisahkan, maka kebebasan akan sulit - kalau tidak bisa dikatakan mustahil, untuk diwujudkan.

Dalam hal hukuman mati (bab kesembilan), Camus mengungkapkan ketidaksetujuannya. Pendapat bahwa hukuman mati akan membuat efek jera bagi para calon pelaku berikutnya tidak pernah terbukti.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu