x

Seorang pekerja menurunkan kelapa sawit dari sebuah truk di pabrik kelapa sawit di Salak Tinggi, di luar Kuala Lumpur, Malaysia, 4 Agustus 2014. [REUTERS / Samsul Said / File Foto]

Iklan

Salsa Vira

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Oktober 2019

Rabu, 2 Oktober 2019 20:43 WIB

Antara Kalimantan dan Elaeis

Akankah kita merusak alas Kalimantan demi Elaeis?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat Sri Mulyani Singgung Kebakaran Hutan di Acara Sawit. Judul itulah yang tertera pada laman salah satu media online pada 3 Mei 2017 silam. Artikel itu membahas tentang menteri keuangan, Sri Mulyani yang hadir di acara peluncuran buku Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit dan mengingatkan perihal industri kelapa sawit yang masih disorot dunia lantaran berbagai persepsi negatif. “Indonesia sebagai pemain besar di dunia harusnya bisa menjawab, bahwa kita memiliki kegiatan ekonomi yang sustainable secara lingkungan, menyejahterakan tidak hanya petani tapi juga seluruh masyarakat”, ujarnya. Lalu muncul pertanyaan, benarkah sawit menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat?

Kelapa sawit atau tumbuhan yang memiliki nama latin Elaeis ini adalah penyumbang devisa terbesar bagi perekonomian Indonesia, bahkan pada tahun 2017 mencapai angka 300 triliun. Hal ini juga sejalan dengan produksi dan luas lahan sawit yang tiap tahunnya terus meningkat hingga pada tahun 2018 mencapai 14396,5 ribu ton. Barang-barang yang kita gunakan setiap hari seperti sabun, sampo, pasta gigi, minyak goreng, dan sabun cuci merupakan segilintir dari beragam jenis barang yang dapat dihasilkan oleh tumbuhan kelapa sawit.

Kalimantan merupakan surga kedua kelapa sawit sekaligus bencana pertama hutan alam Indonesia. Pembukaan lahan kelapa sawit yang kerap menggunakan cara pembakaran didukung tanah yang umumnya berjenis gambut, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kebakaran hutan di Pulau Kalimantan. Cara pembakaran banyak dipilih oleh masyarakat maupun perusahaan karena lebih cepat dan murah dibandingkan dengan cara lain. Biaya yang diperlukan untuk membuka lahan dengan cara pembakaran hanya sebesar 800 ribu rupiah per hektar sedangkan dengan cara yang legal adalah sebesar 3 juta rupiah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tanah gambut sendiri merupakan jenis tanah yang sangat mudah terbakar terutama pada musim kemarau. Gambut mengandung sisa-sisa tumbuhan yang tertimbun. Sehingga saat terjadi kebakaran, api menjalar di bawah permukaan sehingga sulit terdeteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sangat sulit di padamkan, bahkan baru bisa padam setelah diguyur hujan yang intensif.

Luas area perkebunan sawit di Kalimantan terus meningkat tiap tahunnya. Data lima tahun terakhir yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata luas perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan bertambah sebesar 380 ribu hektar tiap tahunnya atau bertambah sekitar 6 kali lebih besar dari luas Kota Jakarta. Kebakaran hutan dan lahan pun tak dapat terelakan. Kebakaran yang terparah di Kalimantan terjadi pada tahun 2015. Si jago merah melalap habis 957 ribu hektar hutan dan lahan yang ada di bumi borneo.

Setiap tahunnya kebakaran hutan selalu melanda,  akibatnya kabut asap juga selalu menyelimuti langit Kalimantan. Tentunya tahun ini juga bukan pengecualian. “libur kabut asap” yang sudah menjadi agenda tahunan di sekolah-sekolah juga kembali terulang. Beberapa kota yang mengalami dampak kabut asap yang cukup parah seperti Pontianak dan Palangkaraya menghentikan sementara aktivitas kegiatan belajar mengajar di sekolah guna menekan seminimal mungkin paparan kabut asap kepada siswa.

Penyakit Saluran Pernapasan Akut (ISPA) juga menjadi momok bagi masyarakat Kalimantan. Setiap tahun akan ada peningkatan jumlah pasien yang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebagai akibat dari udara yang telah tercemar oleh polusi kabut asap. Contohnya saja yang terjadi di Kalimatan Barat, menurut Dinas Kesehatan setempat hingga pekan ke-32 terjadi 3002 kasus ISPA. Bagaimana tidak, kualitas udara di Kalimantan rata-rata sudah mencapai kondisi yang  berbahaya. Bahkan kualitas udara di Kota Sampit, Kalimantan Tengah sempat mencapai angka 1030 pada 15 September 2019.  

Jarak pandang yang semakin berkurang juga menyebabkan terganggunya aktivitas penerbangan. Beberapa penerbangan domestik menuju Kalimantan sempat ditunda akibat jarak pandang yang hanya mencapai 200 meter. Tentunya berbagai dampak kabut asap sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan sangat mengganggu aktivitas masyarakat dan mengganggu roda perekonomian daerah.

Pemerintah tentunya tidak hanya berpangku tangan. Berbagai upaya preventif dan rehabilitatif pun telah dilakukan. Beberapa perusahaan sawit di Kalimantan telah disegel oleh KLHK karena telah terbukti melakukan pembakaran hutan dan lahan.  Dana bermiliar-miliar pun telah dikucurkan pemerintah untuk mengatasi kebakaran yang terjadi. Bahkan Bank Dunia memperkirakan penanganan bencana kebakaran hutan dan kabut asap pada tahun 2015 telah menimbulkan kerugian senilai 221 triliun rupiah, nilai yang lebih besar dua kali lipat dibanding biaya rekonstruksi Provinsi Aceh pasca tsunami 2004 silam. Jadi, akankah kita merusak alas Kalimantan demi Elaeis?

 

Ikuti tulisan menarik Salsa Vira lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB