x

Api mambakar lahan milik warga di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu, 22 September 2019. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah menetapkan status tanggap darurat bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) hingga 30 September 2019. ANTARA

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 4 Oktober 2019 19:32 WIB

Kepada Hutan, Mari Menjadi Hobbit Muda dan Bukan Saruman

Kerusakan ekologi terjadi di mana-mana. Penyebabnya banyak hal. Dua diantaranya soal ketidakpedulian masyarakat serta lemahnya pengawasan dari pemerintah. Ini betul-betul memilukan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alkisah dalam film The Lords of The Rings: The Two Towers (2004) diceritakan hiduplah ratusan bangsa Ent di hutan belantara Tuckborough dan Buckland. Bangsa itu terdiri dari banyak pohon. Mulai dari pohon ek hingga kacang. Pemimpinnya bernama Treebeard. Mereka awalnya hidup harmonis. Baik di sesama pohon. Begitu pula dengan manusia.

Namun, semua berubah tatkala Saruman, pemimpin Isengard, melakukan eksploitasi hutan di sisi selatan untuk memuluskan ambisinya menguasai dunia. Dia menyuruh Orc (pasukan Saruman) untuk menghancurkan hutan-hutan yang menjadi tempat tinggal bangsa Ent.

Awalnya, Treebeard tidak menyadari kejadian itu. Hingga akhirnya, dua Hobbit muda, yakni Merry dan Pipin mengajak Treebeard beranjak dari utara ke selatan. Sesampai di sana, alangkah terkejutnya Treebeard melihat pepohonan yang rusak. Ia marah lantas mengumpulkan pohon-pohon untuk perang dengan Saruman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagaimana hasilnya? Saruman kalah telak. Kerajaannya rata dengan tanah. Setelahnya, dibantu pasukan Hobbit, Bangsa Ent bahu membahu membangun kembali peradaban yang telah luluh lantak. Terutama menancapkan batang baru sebagai proses regenerasi bangsa itu.

Nyata Adanya

Penggalan film di atas boleh jadi fiktif. Tapi, jika kita berpikir sejenak, apa yang digambarkan dalam cerita itu sedang menimpah seluruh belahan bumi. Terjadi krisis ekologi berkepanjangan. Di Riau dan Kalimantan beberapa waktu lalu hanya segelintir contoh dari masifnya pengrusakan hutan.

Ini patut kita renungkan bersama. Meskipun bangsa Ent diasosiasikan sebagai makhluk yang bisa melawan, setidaknya fenomena tanah longsor, polusi udara, dan banjir adalah bukti perlawanan balik dari alam di dunia nyata. Sudah tak terhitung kerugian dan korban jiwa dari bencana alam tersebut. Itu hanya karena hutan yang dieksploitasi. Bagaimana dengan fenomena lumpur Lapindo, kebocoran minyak, dan lain sebagainya?

Kita sebaiknya merenungi kembali awal penciptaan manusia. Menurut agama Samawi, tumbuhan (salah satunya pohon) pertama kali hadir sebelum manusia diciptakan. Itu dimaksudkan agar kelak manusia bisa mengelola, juga merawatnya. Dalam bahasa sederhana, manusia dan pohon harus hidup berdampingan.

Sama seperti yang dilakukan oleh Hobbit muda di akhir cerita. Mereka menata kembali hutan yang rusak. Tujuannya agar alam kembali asri. Harmoni kehidupan terjalin di antara sesama makhluk hidup. Baik di sesama pohon. Juga antara pohon dan manusia. Itu semua bisa dimulai dari sikap peduli.

Kita bisa mencontoh seperti yang dilakukan oleh warga di Basking Ridge, New Jersey, AS. Sebagaimana yang diberitakan oleh Harian The Washington Post (dilansir dari Harian Kompas, 5/2018), ada sebatang ek putih yang sakit. Kondisi pohon itu membuat seluruh warga kota prihatin. Dokter spesialis tumbuhan pun turun untuk memeriksa pohon dan tanah di sekitarnya. Tujuannya menyelamatkan tanaman yang sudah berusia 227 tahun tersebut.

Berbeda dengan di AS, Surabaya juga punya cerita. Selama peliputan di Surabaya, saya kerap melihat siswa sekolah menanami pohon seperti tabebuya, kamboja, hingga ruella tegak di sepanjang jalur pedestrian. Siswa juga mengerangkengnya dalam pagar mini. Supaya si pohon terhindar dari bahaya yang ada di sekitarnya. Tak ketinggalan, setiap hari mereka juga memupuk dan memberi air. Harapannya, pohon tersebut bisa menjadi paru-paru kota.

Lantas yang jadi pertanyaan, apakah semua orang memiliki sikap peduli seperti itu?

Yang Hilang

Bagi saya pribadi, yang hilang dari kita sekarang ini salah satunya nilai kepedulian. Era globalisasi dengan doktrin kapitalisme nya telah membutakan manusia. Teori Adam Smith yang berbunyi dengan modal sedikit-dikitnya, untuk mencapai untung sebesar-besarnya masih terus dianut. Coba saja lihat beberapa waktu lalu ada warga yang terciduk aparat membakar hutan di Riau. Saat ditanyai, dia mengaku dibayar oleh perusahaan seharga Rp. 600 ribu sekali aksi. Miris.

Pemerintah pun berdalih telah melakukan pemeriksaan kepada beberapa perusahaan. Cerita lama. Mereka menyebut telah menjatuhi hukuman pidana. Baik berupa kurungan atau pun denda. Namun, sanksi itu tak pernah menyentuh pucuk pimpinan. Layaknya de javu, kejadian tersebut kembali berulang. Seolah-olah, pengrusakan hutan dianggap sepele. Seolah-olah, hutan hanya dianggap ladang perasan.

Paham itu lah yang dikenal dengan antroposentrisme. Yakni doktrin yang menganggap bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia. Sederhananya, tidak ada hubungan antara sebatang pohon dengan seorang manusia. Cara pandang itu lah yang terus berkembang dari masa ke masa. Sehingga melahirkan perilaku destruktif.

Ayo kita tengok data. Berdasar analisis satelit Lansat 8, tutupan hutan di Jambi misal, tersisa 900 ribu hektare, dari luasan 2,054 juta hektare. Bahkan sepanjang tahun 2012-2016, tutupan hutan Jambi hilang sekitar 189.125 hektare atau setara delapan kali lapangan bola per jam. Mirisnya lagi, dalam kurun waktu satu setengah dekade terakhir, luas hutan Sumatera hilang hampir dua juta hektare. Menurut peneliti, mayoritas hutan dibakar untuk kepentingan korporat dan pembangunan infrastruktur (Mongabay, 20 Maret 2016).

Yang Dirugikan

Fenomena di atas tentu memiliki dampak negatif yang kontinu. Teolog Brazil Leonardo Boff dalam Cry of the Earth, Cry of the Poor bahkan menyebut bahwa kerusakan ekologi berdampak sangat buruk khususnya pada kaum papa (sengsara/miskin). Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan telah menumpulkan kemampuan alamiah kaum papa bertahan hidup dari alam (Boff, 1997: 108). Tak ketinggalan, flora dan fauna juga bisa habis tak bersisa.

Boff mengingatkan pentingnya untuk menanggulangi krisis ekologi. Selain untuk menjaga kelestarian lingkungan, juga bagian dari upaya mempromosikan kepentingan kaum papa, miskin, serta generasi muda di masa mendatang.

Menurutnya, tidak perlu banyak usaha yang signifikan. Semua bisa dimulai dari diri sendiri. Cerita yang terjadi di New Jersey dan Surabaya merupakan contoh kecil yang patut ditiru. Di hulu, pemerintah perlu menggencarkan reboisasi. Payung kebijakan juga harus ditegakkan. Tangkap dan edukasi para perusak hutan. Sebab, mereka juga korban. Korban dari ketidaktahuan manfaat sebatang pohon.

Pesan saya, jangan lagi ada Saruman-Saruman berikutnya. Tapi sebaliknya, kita harus menjadi Hobbit muda yang peduli pada alam beserta isinya. Ini semua demi bumi kita hari ini, esok, dan nanti.

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB