x

Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas persiapan penyelenggaraan Piala Dunia Bola Basket FIBA Tahun 2023 di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa 18 Februari 2020. Ini menjadi kali pertama ada tiga negara yang menjadi tuan rumah bersama pada ajang Piala Dunia Basket. TEMPO/Subekti.

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Kamis, 27 Februari 2020 15:54 WIB

Mempertanyakan Hakikat Kekuasaan yang Dipegang Jokowi

Kekuasaan di periode kedua tampak melemah. Jokowi lupa mendengar suara rakyatnya.Yang diperlukan masyarakat saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang baik, penegakan hukum, dan meminimalisasi pergesekan sesama masyarakat Indonesia. Sudah saatnya kekuasaan diarahkan ke yang hal yang urgen. Joko Widodo harus menunjukkan power-nya untuk kemaslahatan umat. Itu lah nilai tertinggi dari kekuasaan itu sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Oleh Fajar Anugarh Tumanggor

Suhu pemerintahan Joko Widodo di periode kedua ini cukup bergolak. Sejak dilantik bersama Ma’aruf Amin pada Oktober 2019 lalu, permasalahan silih berganti menerpa. Tak hanya ekonomi, tapi juga dari maraknya inkonsistensi penegakan hukum, kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang berujung menguatnya gerakan resistensi civil society.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari semua permasalahan itu, yang paling kentara tentu saja di ranah kebijakan. Kita menengok akhir-akhir ini pemerintah sesuka hati melempar isu policy ke publik. Sebelumnya ada RUU KUHP dan Revisi UU KPK, Omnibus Law, hingga yang terbaru RUU Ketahanan Keluarga.

Harus kita akui bahwa isu-isu itu membuat publik geger. Mereka meluapkan emosi dengan berbagai pernyataan dan emoticon. Media sosial jadi platform bagi warga untuk berkomentar. Masyarakat pun menggerutu karena menjadi subjek dan objek dari kebijakan yang dibuat. Mulai dari buruh, masyarakat hukum, dan keluarga.

Banyak hal yang diperdebatkan. Tentang dasar dan maksud dari kebijakan itu sendiri. Misalnya RUU Ketahanan Keluarga. Seorang teman membuat status di Instagram-nya. Berisi soal kegelisahan perempuan di masa mendatang. Banyak peraturan yang tercantum di RUU itu seolah mendiskriminasi mereka. “Fix. Pasti banyak wanita yang gak mau menikah”. Begitu kira-kira tulisannya.

Apakah kegelisahan itu salah? Kebijakan sejatinya menghadirkan kebaikan. Itu yang disebut oleh Aristoteles sebagai nilai virtue. Nilai kebajikan itu positif dan berdampak panjang. Lantas bagaimana jadinya kalau RUU Ketahanan Keluarga itu justru membuat perempuan semakin terdiskriminasi? Atau bagaimana pula dengan KPK saat ini setelah revisi disahkan?  Bukankah wewenangnya makin tumpul?

Maka, tak salah kalau mata masyarakat tertuju ke presiden Joko Widodo. Dia tempat untuk berpulang. Kita pasti bertanya apa sebenarnya yang akan dilakukan beliu meredam kondisi itu? Mengapa di periode kedua “kekuasaannya” seolah tak terlihat untuk meredam isu semacam ini? Bukankah masalah tersebut bukan yang pertama? Mengapa kita seolah jatuh ke lubang yang sama?

Oligarki

Kita harus ingat, kebijakan selalu dibuat oleh legislatif dan eksekutif. Maka, berkaca dari struktur pemerintahan, legislatif dikuasai oleh mayoritas pendukung Joko Widodo. Bahkan, kompetitornya di Pilpres 2019 beserta partainya sudah masuk dalam lingkaran istana. Bukankah kekuatan oposisi/penyeimbang makin melemah?

Bayangkan, sebelumnya ada tujuh parpol dengan kekuatan tinggi di parlemen yang mendukung pak Jokowi. Sebut saja PDI P, Golkar, PAN, PKB, Nasdem dan Hanura. Itu belum termasuk dengan jajaran para menteri yang berasal dari partai-partai tersebut. Maka, dengan kekuatan semacam ini, bukankah mudah untuk mencetuskan isu dari sekelompok orang lalu mensahkannya jadi kebijakan? Bukankah lebih mudah juga menyalahgunakan kekuasaan? Lantas bagaimana dengan suara rakyat? Masihkah vox populi vox dei (suara Tuhan suara rakyat) menggema?

Bagaimanapun, pak Jokowi tak hanya didukung oleh parpol. Tapi juga masyarakat. Maka, di titik inilah presiden Jokowi perlu berefleksi. Dia punya kuasa. Namun, itu hanya alat. Tujuan dari kekuasaan sendiri mencapai kebaikan bersama. Ada harapan yang diselipkan masyarakat saat mencoblosnya di Pemilu lalu. Harapan itu diikat dalam satu kontrak sosial. Menurut pandangan J.J Rosseau, kontrak itu adalah kehendak umum. Kehendak itu lah yang menjadi kompas berlangsungnya pemerintahan.

Saya sepakat. Kita bisa mempelajarinya dari aspirasi di media sosial. Coba tengok komentar yang muncul di laman media sosial saat isu seperti RUU KUHP, revisi UU KPK, hingga RUU Ketahanan Keluarga mencuat. Bukankah lebih banyak yang menolak daripada mendukung?

Di periode kedua ini, saya berpesan ke pak Joko Widodo tak hanya sekadar kerja. Tapi kerja atau kebijakan yang dibuat harus tepat sasaran, konsisten, dan tidak merugikan masyarakat. Tidak mudah. Tapi juga tidak sulit. Pemimpin memang menghadapi tantangan berat. Namun, setiap masalah pasti punya solusi.

Solusi itu hanya bisa dilakukan jika dan hanya jika Joko Widodo melibatkan peran civil society. Akhir-akhir ini, suara masyarakat terkesan diabaikan. Maka, tak salah jika mahasiswa bergerak. Mereka melihat ada sesuatu yang tak beres dalam negara ini. Dalam situasi itu lah, Jokowi diuji. Hendak diapakan sebenarnya kekuasaannya? Untuk melindungi kepentingan sekelompok atau kebaikan bersama?

Ada yang Tak Suka

Indo Barometer baru-baru ini merilis survei terbaru 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin ke 1200 responden berusia 17 tahun ke atas. Dari survei tersebut didapati kalau mayoritas warga puas dengan pemerintahan mereka di 100 hari masa kerja. Namun, dari keseluruhan survei, ada 27,4 persen yang tidak puas dengan kepemimpinan Jokowi. Sementara itu, 37,5 persen tidak puas dengan kepemimpinan Ma’aruf. Dari survei yang sama, ketidakpuasan itu berkutat soal ekonomi, lapangan pekerjaan, harga bahan pokok, KKN, dan bencana.

Data  ini mencerminakan kalau sebagian masyarakat Indonesia tidak merasakan dampak dari kebijakan yang dibuat. Pasti ada sesuatu yang salah di sini. Maka, Joko Widodo perlu mengevaluasi apa saja kendala dan berusaha untuk membuat nya lebih baik lagi ke depan. Turun dan melihat langsung warganya hanya usaha kecil. Yang paling penting adalah kebijakan yang dibuat seperti apa untuk jangka panjangnya.

Dia memiliki kekuasaan tinggi yang dilindungi oleh UU. Maka, tidak ada kata takut untuk melakukan hal yang benar. Isu seperti Omnibus Law hingga RUU Ketahanan Keluarga sudah saatnya dihentikan. Kedua RUU ini bertentangan dengan pandangan masyarakat luas. Ada hal-hal yang lebih urgen dari sekadar pembahasan RUU tersebut.

Di akhir kata, penting untuk melihat inisiatif pak Jokowi. Ini sudah periode kedua. Masa terakhir untuk mengabdi. Tak lagi perlu ambisi politis. Yang diperlukan masyarakat saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang baik, penegakan hukum, dan meminimalisasi pergesekan sesama masyarakat Indonesia. Sudah saatnya kekuasaan diarahkan ke yang hal yang urgen. Joko Widodo harus menunjukkan power-nya untuk kemaslahatan umat. Itu lah nilai tertinggi dari kekuasaan itu sendiri.

 

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler