x

Jam tangan antik Patek Philippe

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 8 Maret 2020 08:16 WIB

Belajar Menghargai Waktu

Menghargai waktu masih jadi perangai yang susah diterapkan di Indonesia. Bahkan oleh institusi yang kita anggap bisa jadi teladan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

 

Ada satu kepribadian yang saya yakin hampir seluruh masyarakat Indonesia susah melakukannya. Yakni, tepat waktu. Tepat waku dalam janjian. Tepat waktu datang ke suatu acara. Tepat waktu bangun. Tepat waktu beribadah. Dan lain-lain. Kita memang lebih suka terlambat bangun, telat janjian, atau tidak on time menghadiri acara/ibadah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya termasuk kesal jika ada orang yang tidak datang ke suatu acara dengan tepat waktu. Atau, saya sangat geram ketika ada penyelenggara suatu acara tidak memulai kegiatan dengan on time. Pengalaman seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari sebagai jurnalis—profesi yang saya jalani.

Belum lama ini, ada kegiatan yang diselenggarakan oleh suatu lembaga. Saya dikabari kalau acara dimulai pukul 09.00. Namun, setelah dua jam berlalu, acara tak kunjung dibuka. Raut wajah saya berubah. Semula senang jadi kesal. Saya menggerutu dalam hati. Liputan menjadi tak mengenakkan. Sudah membuang-buang waktu, acara lain yang hendak diliput terkendala karenanya.

Sekarang kita bayangkan. Waktu dua jam jika digunakan untuk berolahraga sudah membakar banyak kalori. Begitu pula dengan membaca. Banyak halaman buku yang bisa dihabiskan. Saya yakin ini lah problem terbesarnya. Kita abai memikirkan dampak jangka panjang dari sifat buruk ini.

Tidak hanya ke orang yang merasa dirugikan, tapi bagi penyelenggara itu sendiri. Di kemudian hari, mereka dicap sebagai panitia yang tidak tepat waktu. Jika acara dibuat lagi, saya saya berani bertaruh, banyak yang tidak datang. Atau kalau pun datang, peserta memilih terlambat. Mereka berpandangan kalau acara bakal terlambat juga untuk dimulai.

Konsekuensi

Belajar menghargai waktu tampaknya masih menjadi hal langka di negeri ini. Bahkan, pemerintah yang kita harapkan menjadi teladan juga berlaku demikian. Sekarang saksikan, di mana acara yang diselenggarakan pemerintah berjalan tepat waktu? Saya rasa tidak ada. Kalaupun ada, hanya segelintir. Itu pun sangat sangat kecil.

Padahal, tak jarang pemerintah itu mengusung tema kejujuran, disiplin, hingga integritas dalam setiap programnya. Ternyata saat di lapangan, hal sebaliknya justru terajdi. Mereka sendiri lah yang melanggar komitmen tersebut.

Ini patut menjadi perhatian. Impact ke generasi muda menjadi yang terpenting. Kelak mereka akan menjadi pemimpin. Jika anak-anak muda ini menyaksikan kelakuan para pemimpinnya seperti itu, secara tak langsung, ada input negatif yang masuk ke mereka. Alhasil, jangan salahkan kalau generasi muda berlaku demikian juga di masa mendatang.

Tidak hanya berdampak ke aktivitas di rumah. Tak menutup kemungkinan juga di sekolah. Anak menjadi pribadi yang tidak displin. Datang terlambat. Saat jam istirahat, mereka tidak langsung masuk ke kelas. Muaranya bisa ke sikap berbohong. Mereka mencari seribu alasan mengapa terlambat datang ke sekolah atau tidak masuk ke kelas tepat waktu. Yang terparah, siswa menganggapnya sudah biasa.

Sekolah memang punya peran penting untuk mengajarkan perangai jujur, disiplin, dan tepat waktu ke siswa. Guru harus memberikan teladan. Di samping itu, pihak keluarga juga perlu melakukannya. Sebab, sebagian waktu anak dihabiskan di keluarga. Rumah harus menjadi tempat memupuk tanggung jawab. Bahkan dalam hal kecil seperti menghargai waktu.

Lantas, bagaimana dengan pemerintah?

Meniru Jepang

Pendidikan kakter berbasis keteladanan harus ditonjolkan oleh instansi pemerintahan. Apapun jenisnya. Tidak cukup hanya dengan kata-kata. Harus ada tindakan yang jelas. Dan itu merupakan persoalan kesadaran dan konsisten. Namanya sadar, ada nilai emosional yang dibangun. Emosi itu berbentuk rasa bersalah saat tidak datang tepat waktu dan  berpikir dampak di masa mendatang. Sedangkan konsisten harus terus berkelanjutan.

Disiplin dan tepat waktu adalah kunci kesuksesan. Kalimat ini tak hanya bualan semata. Jepang menjadi bukti sahih. Lihat saja jam kereta yang berangkat. Selalu on-time. Mungkin dari ribuan jam keberangkatan, hanya satu dua yang terlambat. Jika keterlambatan terjadi, mereka akan meminta maaf. Masinis di kereta api akan mendatangi penumpang satu per satu lantas menunduk. Jika kesalahannya besar dan fatal, pimpinan akan mengundurkan diri secara sukarela.

Bagaimana di Indonesia? Justru berbanding terbalik. Kita merasa tidak bersalah sedikit pun ketika tidak tepat waktu dalam suatu kegiatan. Enjoy saja ketika tidak tepat waktu mengantar penumpang. Bahkan, tak ada rasa empati untuk sekadar minta maaf ke orang-orang yang telah  kita rugikan. Dengan senang dan riang, kita  berlalu begitu saja. Seolah tak ada masalah yang terjadi. Kalau sudah begini, di mana urat malu kita?

Maaf, saya agak emosi menuliskan hal ini. Sebab, problem ketidakdisplinan dan ketidaktepatwaktuan itu semuanya berangkat dari ketidakpedulian. Misalnya begini. Kita sudah mengabari seseorang untuk bertemu di hari tertentu. Namun, ketika hari H ada pembatalan secara sepihak. Atau ketika kita sudah berjanji jumpa jam 10.00, kita malah datang jam 12.00. Bagaimana perasaan anda jika berada di posisi yang dirugikan?

Kita harus mulai berani berbenah. Sifat ini tak baik bagi keberlangsungan hidup manusia. Tak hanya memiliki dampak jangka pendek, kepribadian ini lah yang bisa menghancurkan peradaban. Peneliti besar Francis Fukuyama dalam bukunya The Last Man and The End Of History menerangan kalau bangsa-bangsa Asia Tenggara, Asia Barat, dan Asia Tengah  diprediksikan masih menjadi negara yang berkembang/terbelakang dalam beberapa dekade ke depan.

Salah satunya disebabkan perangai yang tidak displin dan tidak tepat waktu. Hal itu sangat berbeda jika dibandingkan dengan negara Jepang, Cina, atau Korea yang memiliki disiplin yang kuat dengan etos kerja yang tinggi. Mereka juga diikat dengan budaya Konfucianisme yang menjunjung rasa tanggung jawab dan menghargai waktu. Sifat ini lah yang membawa kebahagian bagi masyarakatnya.

Filsuf Jerman Schopenhauer menyebutnya sebagai ‘tiadanya kesengsaraan’. Janjian datang jam 02.00. Mereka akan tiba tepat pukul 02.00. Tidak sekadar bualan. Penghargaan ke waktu memang sangat tinggi. Dan penghargaan itu lah yang sangat sulit ditemukan di bumi pertiwi.

Kita butuh usaha keras untuk menghancurkan perangai ini. Selain dari eksternal, perlu usaha secara personal untuk mengubahnya. Generasi milenial memiliki tantangan berat di masa mendatang. Khususnya menjelang masa bonus demografi. Orang tua harus peka sejak sekarang. Begitu pula sekolah dan pemerintah. Saya yakin, jika mau berbenah dan dibenahi, niscaya bangsa kita akan maju dalam tiga dekade ke depan. Maka, pesan saya, mulai lah belajar menghargai waktu.

 

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler