Sikap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto patut dipuji. Ia langsung meminta maaf atas ucapannya mengenai pengungsi gempa di Maluku. Wiranto mengatakan ucapannya tak bermaksud menyakiti hati siapa pun.
"Kalau ada ucapan, kalimat-kalimat yang saya sampaikan, apabila dirasa mengganggu perasaan masyarakat di Maluku atau terdampak, atau dianggap menyakiti hati, itu pasti bukan karena saya sengaja menyinggung masyarakat Maluku. Tapi apabila ada yang tersinggung, ada yang sakit hati, secara resmi, secara tulus saya minta dimaafkan," kata Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Jumat, 4 Oktober 2019.
Ucapan Wiranto yang diprotes
Rupanya sebelumnya, pada 30 September 2019 lalu, Wiranto sempat meminta agar korban pengungsi gempa Maluku agar tak terpengaruh isu hoaks tentang adanya gempa susulan atau tsunami. Ketakutan-ketakutan itu, kata Wiranto, membuat masyarakat menjadi pengungsi. Wiranto kemudian mengatakan hal itu membuat jumlah pengungsi semakin besar dan membebani pemerintah.
Pernyataan ini kemudian mendapat kecaman dari masyarakat, khususnya dari warga Maluku. Mereka menilai Wiranto tak peka dan meminta dia meminta maaf. Bahkan beberapa menuntut Maluku dihapus saja dari Indonesia, karena merasa tak dianggap oleh pemerintah.
Sensivitas pejabat
Langkah Wiranto untuk meminta maaf merupakan sikap yang bijak. Hal ini seharusnya berlaku juga terhadap masyarakat di provinsi lain seperti Papua. Ada kecenderungan pejabat pemerintah pusat kurang peduli atau kurang mempertimbangkan kondisi budaya dan psikologi masyarakat di daerah.
Dalam kasus Papua, bukan cuma insiden ucapan rasisme terhadap mahasiswa Papua pada pertengahan Agustus lalu yang membikin orang Papua marah. Perlakuan pejabat pemerintah pusat dan masyarakat kita terhadap orang Papua selama ini juga menyebabkan mereka merasa kurang dihargai.
Perbaikan ekonomi dan pembangunan infrastruktur penting. Tapi menghargai harkat-martabat orang Papua jauh lebih penting. Hal ini yang sering dilupakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah juga cenderung membiarkan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang masih menimbulkan luka mendalam bagi orang Papua. ***
Baca juga:
Papua Berdarah Lagi, Inilah yang Dilupakan Presiden Jokowi
Ikuti tulisan menarik Ratna Asri lainnya di sini.