x

Papua

Iklan

Yoga Aditya Pratama

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Oktober 2019

Jumat, 25 Oktober 2019 07:36 WIB

Sudah Demokratiskah Kita kepada Papua?

Terdapat perbedaan kepentingan di antara elit pemerintah dan rakyat Papua. Elit ingin pembangunan infrastruktur, rakyat Papua menginginkan kemanusiaan. Tiadanya titik temu dan tulinya telinga pemerintah akan suara-suara Papua adalah bukti tak berjalannya demokrasi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Demokrasi berarti segala hal yang menyentuh semua orang harus diputuskan oleh semua orang juga. Begitulah pembacaan para Sosialis terhadap makna demokrasi seperti yang pernah ditulis Joseph M. Schwartz dalam buku The ABCs of Socialism.

Apabila kita merujuk pada definisi di atas, segala hal yang menyentuh banyak pihak namun diputuskan oleh segelintir orang saja berarti tidak demokratis.

Lalu, apakah pemerintah Indonesia sudah demokratis terhadap Papua? Jawaban pendeknya: belum. Jawaban panjangnya sebagai berikut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para pejabat negara seperti Bambang Soesatyo (Ketua DPR RI) hingga Wiranto (Menkopolhukam), termasuk juga Presiden Jokowi, selalu mengkampanyekan pembangunan infrastruktur di tanah Papua. Presiden mengungkapkan bahwa pembangunan akan berguna bagi daya saing ekonomi dan konektivitas geografis.

Jokowi sedang menggalakkan pembangunan infrastruktur jalan TransPapua sepanjang 4.330 km. Ia pernah menyampaikan bahwa pemerintah akan tetap memegang komitmennya untuk menyejahterakan rakyat Papua melalui pembangunan fisik.  

Tak hanya itu, presiden juga membangun infrastruktur untuk pergelaran PON Papua pada tahun 2020 mendatang. Ia berharap infrastruktur tersebut bersifat berkelanjutan, maksudnya bisa tetap digunakan untuk kepentingan lain setelah PON selesai. 

Bagi Bambang Soesatyo, Jokowi telah mengakselerasi pembangunan di Papua sejak 2014. Wiranto menyebut bahwa infrastruktur di Papua bukan sekadar omong kosong belaka. Ia mencontohkan lapangan udara yang ada di Papua saat ini jauh lebih megah dibanding dengan yang ada di masa lalu.

Akan tetapi, betulkah pembangunan fisik yang benar-benar diinginkan Papua?

Gubernur Papua, Lukas Enembe, memiliki pandangan lain. Dalam program Mata Najwa pada tanggal 21 Agustus 2019 lalu, ia mengungkapkan bahwa “Orang Papua butuh kehidupan, bukan pembangunan” karena menurutnya orang asli Papua tidak menikmati infrastruktur yang telah dibangun.

Elit negara seperti Bambang Soesatyo boleh saja mengklaim kalau pembangunan infrastruktur yang dikerjakan Jokowi adalah bukti bahwa pemerintah “bersungguh-sungguh dalam memberi perhatian lebih kepada Papua.” Namun, klaim tersebut menjadi sia-sia apabila realita menunjukkan hal yang berbeda.

Octovianus Mote, seorang Papua yang pernah berperan penting dalam pergerakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), justru memandang sinis pembangunan infrastruktur Jokowi tersebut. “Itu program kolonial untuk menguasai Papua. Sekarang jalan buat siapa? Untuk mengangkut operasi militer, kah?” katanya.

Ia mengatakan: “Infrastruktur jalan di Papua oleh Jokowi ini adalah program mengambil tanah milik dan kebun orang asli Papua, tempat hidup dan berburu dan meramu obat-obatan, tempat melakukan upacara-upacara adat, gunung-gunung sakral dihancurkan.”

Naftali Pakopa, anggota DPRD Paniai, mengataskan: “Kita Papua harus merdeka lepas dari Indonesia.”

Juru bicara international Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, mengungkapkan kalau ia dan rakyat Papua ingin “mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat” karena baginya Papua saat ini sedang berada dalam kondisi “dijajah Indonesia.” 

Beberapa mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Rasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme melakukan unjuk rasa di depan Istana pada 22 Agustus 2019 lalu. Mereka menginginkan referendum. Bagi mereka, hanya dengan cara itulah tindakan diskriminatif dan rasial serta pelanggaran HAM terhadap masyarakat Papua bisa hilang. “Orang Papua ingin merdeka, bukan otsus, bukan pembangunan,” ujar seorang orator. 

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, mengungkapkan bahwa masalah utama yang dirasakan warga Papua bukanlah infrastruktur, melainkan perihal ketidakadilan dan HAM. Ia pun berharap pemerintah membuka mata untuk persoalan kemanusiaan ini. 

Kesimpulannya adalah kedua pihak —elit pemerintah dan rakyat Papua yang tertindas— memiliki kepentingan dan keinginan yang berbeda. Elit politik ingin pembangunan, rakyat Bumi Cenderawasih ingin kemanusiaan.

Pada dasarnya, keberadaan perbedaan kepentingan adalah hal yang biasa. Namun, ia jadi bermasalah apabila satu pihak memaksakan kehendak dan kepentingannya kepada orang lain yang dianggap inferior tanpa mengindahkan kehendak dan keinginan pihak tertindas tersebut.

Klaim dari pihak pemerintah mengenai pembangunan infrastruktur yang begini dan begitu tidak sejalan dengan keinginan rakyat Papua yang menghendaki kemanusiaan didahulukan. Pemerintah sejauh ini tampak tak mengindahkan persoalan kemanusiaan ini.

Dugaan perilaku rasis yang dilakukan oleh anggota aparat negara di Surabaya kemarin-kemarin menjadi pemantik terjadinya kerusuhan di Papua sana. Hanya gara-gara kata “monyet”, tujuh nyawa orang Papua menghilang. Lalu, apa respon elit pemerintah mengenai hal ini?

Menkopolhukam Wiranto (saat itu) mengungkapkan “Apa sih rasis, apa?” ketika dimintai tanggapan mengenai tindakan rasis di Surabaya tersebut. Orang nomor satu RI, Joko Widodo, merespon agar berbagai pihak “saling memaafkan.” Ia pun mengatakan bahwa “emosi itu boleh tetapi memaafkan lebih baik.”

Parahnya lagi, pemerintah seperti menghindar untuk mengakui bahwa aksi rasis di Surabaya adalah sumber segala kegaduhan di Papua. Menyoal pelambatan koneksi internet, misalnya, Wiranto mengungkapkan bahwa hal itu dilakukan sebagai ‘reaksi’ atas ‘aksi’ rusuh masyarakat Papua. Ia tak melihat aksi rakyat Papua sebagai ‘reaksi’ atas ‘aksi’ rasis di Surabaya.

Pada intinya, terdapat tumpang tindih kepentingan di antara satu pihak dengan yang lainnya. Kukuhnya klaim kepentingan yang berbeda dari kedua belah pihak ini bukti ketiadaan dialog. Tak adanya dialog berarti tak berjalannya demokrasi karena keputusan dan klaim bahwa Papua membutuhkan pembangunan (bukan kemanusiaan) hanya diputuskan oleh segelintir orang, yakni pihak-pihak di lingkaran elit, padahal orang Papua menginginkan kemanusiaan.

 

 

Ikuti tulisan menarik Yoga Aditya Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB