x

Presiden Jokowi (kedua kanan) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) melambaikan tangannya saat tiba di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu, 13 Juli 2019. Kedua kontestan dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 lalu ini bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus dan selanjutnya naik MRT bersama-sama. ANTARA/Wahyu Putro A

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Minggu, 27 Oktober 2019 15:29 WIB

Aroma Simbiosis Mutualis Persekutuan Jokowi-Prabowo

Jokowi dan Prabowo punya pertimbangan, alasan, serta tujuan yang mungkin tidak seluruhnya mereka ungkapkan satu-sama-lain, tapi jelas bahwa ada aroma simbiosis mutualis di antara mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yang benar-benar mustahil itu pun benar-benar terjadi, dan ini dikarenakan persekutuan ganjil itu sama-sama memberi keuntungan bagi Jokowi maupun Prabowo. Apa itu?

Prabowo Subianto telah meruntuhkan anggapan banyak orang—bahkan mungkin semua orang—bahwa ia tidak akan mau menjadi menterinya Jokowi. Kini kita menyaksikan bahwa ‘hal-hal yang dianggap amat sangat mustahil sekali’ itu ternyata benar-benar terjadi. Jika Cak Asmuni dari Srimulat masih sempat melihat kejadian ini, ia mungkin akan berkomentar: “Wah, ini betul-betul hil-hil yang mustahal.”

Para politisi yang terbiasa mengucapkan pemeo klasik yang nyaris mereka hapal di luar kepala, “tidak ada yang tidak mungkin dalam politik” atau “tidak ada lawan dan kawan yang abadi”, kali inipun terkejut. Sembari mungkin ngedumel, politisi koalisi pengusung Jokowi berkata di hadapan para jurnalis seolah-olah tidak ada masalah apa-apa dengan masuknya Prabowo ke dalam kabinet Jokowi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seandainya kita ingat pemeo lain yang juga tak kalah klasiknya, “tidak ada makan siang gratis”, maka kesediaan Prabowo untuk duduk di kursi kabinet sebagai pembantu Presiden itu mungkin saja dilatari pertimbangan dan alasan tertentu. Begitu pula dengan berminatnya Jokowi untuk menampung mantan rivalnya dalam dua kali pilpres tersebut. Faktor Megawati, lewat pertemuannya dengan Prabowo beberapa waktu lalu, niscaya memberi daya dorong tersendiri bagi lahirnya apa yang disebut Tempo sebagai ‘persekutuan yang ganjil’ ini.

Sebagai rakyat yang hanya bisa plonga-plongo menyaksikan para elite bisa melakukan apa saja yang mereka sukai [maksud saya, mula-mula mereka tampak sungguh-sungguh berantem bahkan hingga akar rumputnya ikut serta, tapi kemudian mereka berdua tertawa bersama-sama], kita hanya bisa menduga-duga apa udang di balik batu kesepakatan ganjil kedua orang itu. Kita tidak tahu persis apa udangnya, dari jenis apa dan seberapa besar ukurannya.

Namun, tidak mungkin tidak ada udang hingga Prabowo mau jadi menterinya Jokowi, dan tidak mungkin pula tidak ada udang hingga Jokowi mau menjadikan Prabowo sebagai menteri pertahanannya. Jadi, kedua belah pihak punya pertimbangan, alasan, serta tujuan yang mungkin tidak seluruhnya mereka ungkapkan satu-sama-lain, tapi jelas bahwa ada aroma simbiosis mutualis di antara mereka. Dan, mungkin saja masih ada kartu yang belum mereka keluarkan. Wallahu ‘alam.

Namun setidaknya ada beberapa pertimbangan yang mungkin mereka pikirkan. Dari sisi Jokowi, misalnya. Pertama, dengan merangkul Prabowo, semakin mudah bagi Jokowi untuk menjalankan pemerintahannya karena di luar Istana sudah tidak ada lagi singa yang mengaum dan mengusiknya. Bergabungnya Prabowo menambah kepercayaan diri Jokowi tentang betapa kuat pemerintahannya, sebab yang berada di luar pemerintahan tinggal Demokrat, PAN, dan PKS.

Kedua, karena merasa kuat, Jokowi tidak mempedulikan keberatan sebagian masyarakat terhadap bergabungnya Prabowo dalam kabinetnya, sebagaimana Jokowi mengabaikan keberatan masyarakat terhadap masa lalu Wiranto dan mengangkatnya sebagai Menkopolhukam.

Ketiga, Jokowi ingin menunjukkan betapa hebat dirinya karena mampu membuat Prabowo menjadi menterinya. Atau, bila dilihat dari sisi lain, Jokowi memperlihatkan kebesaran hatinya bahwa bagi dirinya, bekerja sama dengan lawan politikpun tidak masalah. Ia akan bukakan pintu bagi lawan politiknya yang kalah.

Keempat, mungkin Jokowi ingin memberi kesempatan kepada rivalnya dalam pilpres itu untuk mewujudkan visinya, setidaknya dalam isu pertahanan. Jokowi mengatakan, dalam soal pertahanan Prabowo lebih tahu dari dirinya. Jika perkataan Jokowi ini bukan basa-basi, artinya ia memang membutuhkan Prabowo untuk membangun pertahanan Indonesia yang lebih baik.

Bagaimana dari sisi Prabowo? Beberapa pertimbangan yang mungkin ialah, pertama, Prabowo benar-benar merasa prihatin dengan kondisi dan konsepsi pertahanan tanah airnya. Karena itu, apapun caranya—termasuk jika harus jadi menteri dalam kabinet rivalnya di pilpres—ia akan jalani agar visinya dapat ia wujudkan mumpung ada kesempatan.

Kedua, Prabowo mungkin ingin menunjukkan kebesaran hatinya bahwa demi tanah airnya, ia tidak akan peduli dengan anggapan orang bahwa ia telah merendahkan martabat dirinya dengan menjadi menterinya Jokowi. Ia abaikan kritik dan kecaman.

Ketiga, mungkin saja Prabowo punya agenda ke depan yang belum terungkap sekarang. Tidak semua kartu bakal ia bukan sekarang. Misalnya, mungkinkah ia masih ingin kembali mencoba peruntungannya di pilpres 2024? Jabatan menteri pertahanan memberinya peluang untuk menunjukkan bahwa ia layak untuk memimpin rakyat.

Keempat, mungkin saja Prabowo melihat bahwa Jokowi membutuhkan ‘teman’ di tengah tarikan kepentingan partai-partai pengusungnya. Betapapun, Jokowi tidak akan sekedar memandang Prabowo sebagai menterinya, mengingat relasi yang pernah berlangsung di antara mereka. Jokowi niscaya punya penilaian tersendiri terhadap personal maupun kapasitas Prabowo.

Wallahu’alam.

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler