x

Iklan

Mahmud

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Oktober 2019

Rabu, 30 Oktober 2019 19:23 WIB

Fenomena Politik di Bima: Menyongsong Pilkada 2020

Ada fenomena yang menarik dari figur-figur yang digadang-gadang maju menjadi calon Bupati dan calon Wakil Bupati Bima.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebentar lagi kita akan melaksanakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) untuk periode 2020-2025 dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia. Tidak terkecuali di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Menyambut hal itu, pesta demokrasi rakyat untuk memilih pemimpin, akhir-akhir ini mulai ramai-ramai dibicarakan. Kandidat-kandidat mana yang mempunyai figur dan mempunyai kemampuan untuk membangun Bima lima tahun kedepan. Siapa yang digadang-gadang maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima periode 2020-2025 mendatang.

Beberapa figur mulai muncul dipermukaan. Secara terang-terangan, ada yang mengkampanyekan dirinya, maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima. Figur-figur ini mulai mencari partai koalisi dan mencari pasangan dengan kandidat lain dan figur lain untuk dapat memenangkan pemilu 2020 mendatang di Bima.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ada figur atau kandidat yang latar belakang pengusaha, ada figur atau kandidat yang latar belakang akademisi, dan ada figur atau kandidat yang latar belakang politisi (sengaja saya tidak menyebutkan namanya), kesemuanya mempunyai trek record dan kemampuannya masing-masing.

Ada fenomena yang menarik dari figur-figur yang digadang-gadang maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima tersebut, terutama yang digembor-gemborkan oleh media, dalam hal ini media tertentu, yang punya hubungan dengan figur-figur tersebut. Sedikit digambarkan dan di poles, dalam bahasa saya, ditinggikan.

Sementara itu, beberapa partai politik di Bima, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan partai Nasional Demokrat (Nasdem), mengusung kadernya sendiri untuk maju menjadi calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima. Dan bahkan tidak menuntut kemungkinan berkoalisi dengan partai politik lain. Seiring berjalannya waktu, sambil menunggu kongsi, perubahan politik sangat mungkin terjadi dalam waktu sekejap, dan itu akan merubah peta politik di Bima.

Berbeda dengan apa yang terjadi di masyarakat akar rumput, terutama di masyarakat Bima pada umumnya, lebih khusus masyarakat awam yang tidak paham dengan dunia politik dan media sosial.

Sejauh ini belum ada figur-figur atau kandidat-kandidat atau calon Bupati Bima dan calon Wakil Bupati Bima yang turun langsung di lapangan untuk melakukan sosialisasi secara langsung dengan masyarakat di Bima. Hal ini berbeda dengan yang digambarkan oleh media di atas, padahal konsumsi masyarakat di Bima terhadap media sosial sangatlah rendah.

Selain itu, ada yang memprediksi bahwa incumbent atau petahana akan tumbang. Mengingat, selama satu periode kepemerintahan, incumbent atau petahana selama ini tidak memberikan kemajuan yang signifikan untuk pembangunan di Bima, baik pembangunan suprastruktur maupun pembangunan infrastruktur. Tetapi, perlu di ingat bahwa politik tidak seperti matematika. Politik itu identik dengan perubahan. Dalam politik tidak ada yang tidak berubah. Hanya perubahanlah yang tidak berubah. Itulah rumus politik.

Sementara itu, incumbent atau petahana, perlu diketahui oleh oposisi, mempunyai “modal” dan “kompas” yang lengkap. Modal dan kompas itulah yang menjadi senjata atau amunisi oleh incumbent atau petahana untuk memenangkan pemilu 2020 mendatang.

Pertama, incumbent atau petahana mempunyai power (kekuasaan). Sewaktu-waktu dalam kondisi tertentu, power itu bisa saja digunakan oleh incumbent atau petahana untuk mempengaruhi elektoral pemilih. Tetapi, disini incumbent atau petahana terjebak dengan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Di sinilah power itu menjadi bom waktu bagi pemerintah itu sendiri. Selanjutnya, oposisi bagaimana memainkan kesempatan itu.


Kedua, dengan power itu, incumbent atau petahana bisa saja menekan pemilih, terutama Aparatur Sipil Negara (ASN). Psikologi pemilih seolah-olah berada di bawah bayang-bayang petahana.

Sebagai akibat dari perpolitikan itu, terjadinya rotasi dilingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pemerintahan sangat terbuka lebar. Fenomena politik semacam inilah sangat dekat dengan kultur politik di Bima.

Ketiga, pemerintah, dalam hal ini incumbent atau petahana memilki medianya sendiri. Media ini berfungsi meng-framing isu-isu baru, melancarkan propaganda-propaganda, dan membangun manuver-manuver politik baru, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan politik di Bima. Hal ini tidak bisa di mungkiri bahwa politik itu menghendaki perubahan linear dengan arus politik itu sendiri.

Keempat, incumbent atau petahana memiliki Aparatur Negara (Polisi-TNI). Dalam waktu, apabila diperlukan, bisa dijadikan oleh pemerintah sebagai alat untuk memenangkan pemilu. Hal ini bisa dilihat pada pemilu 2019 kemarin, bagaimana keterlibatan Polisi dan TNI pada Pilpres dan Pileg 2019 lalu? Tidak menuntut kemungkinan hal yang sama akan terjadi di Bima.


Kelima, penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), sangat mungkin berkompromi, dan memanipulasi data pemilih hingga menentukan siapa pemenang Pemilu.

Mengutip Joseph Stalin, “Orang-orang yang memberikan vote (suara) tidak menentukan hasil dari Pemilu. Namun, orang-orang yang menghitung vote (suara) itulah yang menentukan hasil dari Pemilu".

Keenam, incumbent atau petahana memiliki modal yang besar dan itu dimiliki oleh incumbent atau petahana, baik modal sendiri maupun modal dari "anggaran daerah". Dengan berbagai cara, bisa dilakukan untuk memodali biaya Pemilu dan biaya kampanye untuk memenangkan pemilu 2020 mendatang.

Dengan demikian, incumbent atau petahana di sinilah menjadi pemain caturnya. Pemilih dan oposisi menjadi bidak caturnya. Tetapi, bukan berarti kemudian oposisi, dalam arti sebaliknya, lemah dan serba kekurangan. Oposisi tentu mempunyai caranya sendiri, strategi, dan taktiknya sendiri serta pembacaan kemungkinan kemenangan. Dari sinilah oposisi mulai menyusun strategi dan taktiknya.

Sementara itu, kecenderungan pemilih, terutama masyarakat Bima. Umumnya, cenderung pada pemilih feodal dan monarki. Bibit-bibit politik seperti inilah yang masih hidup di Bima. Di sinilah oposisi harus pandai-pandai membaca psikologi pemilih untuk meningkatkan elektoral pemilihnya.

Ikuti tulisan menarik Mahmud lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB